Aliran Syi'ah
1.
Pengertian Syi'ah
Syi’ah
(Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Syi'ah
menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni
menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Syi'i (Bahasa
Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali.
Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran
Syi'ah.
Istilah
Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة
Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī شيعي.
"Syi'ah" adalah
bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S.
Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda:
"Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung"
(ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun)[1]
Syi'ah menurut etimologi
bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna:
Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun menurut terminologi
syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama
di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum
muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau.[2]
Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan
bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami
perpecahan mazhab.
Muslim Syi'ah percaya bahwa
Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik
tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad SAW,
dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah. Secara khusus, Muslim
Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Nabi
Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan
setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui
oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah
langsung oleh Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.[3]
Perbedaan antara pengikut
Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara
Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan
hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada
perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak
dipergunakan.
Tanpa
memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah
(juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun
sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat
ini.[4]
2.
Sejarah munculnya Syi'ah
Mengenai
kemunculan syi’ah dalam sejarah terdapat perbedaan dikalangan ahli. Menurut Abu
Zahrah, syi’ah mulai muncul pasda masa akhir pemerintahan Usman bin Affaan
kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pewmerintahan Ali bin Abi Thalib, adapun
menurut Watt, syi’ah baru benar-benar. Muncul ketika berlangsung peperangan
antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan
ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbritase yang ditawarkan
Mu’awiyah. Pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua. Satu kelompok
mendukung sikap Ali (Syi’ah) dan kelompok mendak sikap Ali (Khawarij).[5]
Kalangan
syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengn masalah
penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menlak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin
Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi
Thalib yang berhak mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan Ali
dalam pandangan syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan
Nabi SAW, pada masa hidupnya. Pada awal kenabian ketika Muhammad SAW
diperintahkan menya,paikan dakwah ke kerabatnya, yang pertama menerima adalah
Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang
yang pertama menemui ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu,
sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang luar biasa besar.[6]
Bukti utama
tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm.[7]
Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari
Mekkah ke Madinah di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm. Nabi memilih
Ali sebagai pengantinya dihadapan massa yang menyertai beliau. Pada peristiwa
itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-i
‘ammali), tetapi juga menjadikna Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai
pelindung (wali) mereka. Namun realitasnya berbicara lain.[8]
Berlawanan
dengan harpan mereka, ketika nabi wafata dan jasadnya belum dikuburkan, ada
kelompok lain yang pergi ke masjid untuk menentukan pemimpin yang baru karena
hilangnya pemimpin yang secara tiba-tiba, sedangkan anggota keluarga nabi
dan beberapa sahabat masih sibuk dengan persiapan upacara pemakaman Nabi. Kelompok
inilah yang kemudian menjadai mayoritas bertindak lebih jauh dan dengan sangat
tergesa-gesa memilih pemimpin yang baru dengan alasan kesejahteraan umat dann
memcahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan itu tanpa berunding dahulu
dengan ahlul bait, kerabat, atau pun sahabat yang pada saat itu masih mengurusi
pemakaman. Mereka tidak memberi tahu sedikitpun. Dengan demikian, kawan-kawan
Ali dihdapkan pada suatu hal yang sudah tak bias berubah lagi (faith accomply).[9]
Karena
kenyataan itulah muncul suatu sikap dari kalangan kaum muslimin yang menentanga kekhalifahan dan
kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap
berpendapat bahwa pengganti nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali.
Mereka yakin bahwa semua masalah kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya
dan mengajak masyarakat mengikutinya.[10]
Kaum inilah yang disebut dengan kaum Syi’ah. Namun lebih dari pada itu, seperti
yang dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa
kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sendiri, sehingga mesti diwujudkan.[11]
Perbedaan
pendapat dikalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan sesuatu yang
wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam Islam
yang memang mulai mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan
memperoleh momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib, tepatnya setelah Perang Siffin. Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan
hadits-hadits yang mereka terima dari ahl al-bait, berpendapat bahwa perpecahan
itu sudah mulai ketika Nabi SAW. Wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu
Bakar. Segera setelah itu terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada masa
kepemimpinan Al-Khulafa Ar-rasyidin sekalipun, kelompok Syi’ah sudah ada.
Mereka bergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan
doktrin-doktrin syi’ah kepada masyarakat.
Syi’ah
mendapatkan pengikut yang besar terutama pada masa dinasti Amawiyah. Hal ini
menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini
terdapat ahl al-Bait. Diantara bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan
pengusaha bani Umayyah. Yazid bin Muawiyah, umpamanya, pernah memerintahkan
pasukannya yang dipimpin oleh Ibn Ziyad untuk memenggal kepala Husein bin Ali
di Karbala.[12]
Diceritakan bahwa setelah dipenggal, kepala Husein dibawa ke hadapan Yazid dan
dengan tonkatnya Yazid memukul kepala cucu Nabi SAW. Yang pada waktu kecilnya
sering dicium Nabi.[13]
Kekejaman seperti ini menyebabkan kebagian kaum muslimin tertarik dan mengikuti
mazhab Syi’ah, atau paling tidak menaruh simpati mendalam terhadap tragedy yang
menimpa ahl al-bait.
Dalam
perkembangan selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl-al bait dihadapan
dinasti Ammawiyah dan Abbasiyah, syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya
sendiri. Berkitan dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni
tauhid (kepercayaan kepada kenabian), Nubuwwah (Percaya kepada kenabian), Ma’ad
(kepercyaan akan adanya hidup diakhirat), imamah (kepercayaan terhadap adanya
imamah yang merupakan ahl-al bait), dan adl (keadaan ilahi). Dalam Ensiklopedi
Islam Indonesia ditulis bahwa perbedaan antara sunni dan syi’ah terletak pada
doktrin imamah.[14]
Meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, syi’ah tidak dapat
mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejrah, kelompok ini akhirnya
tepecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan ini terutama dipicu oleh masalah
doktrin imamah. Diantara sekte-sekte syi’ah itu adalah Itsna Asy’ariyah,
Sab’iyah. Zaidiyah, dan Ghullat.
3.
Pokok-pokok Ajaran
Syi'ah
Kaum Syi’ah
memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya
diantaranya yaitu at tauhid, al ‘adl, an nubuwah, al imamah dan al ma’ad.
a. At tauhid
Kaun Syi’ah
juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak
beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di
bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah yang
merupakan sifat yang harus dan tetap ada pada Allah SWT. Sifat ini mencakup
‘alim (mengetahui), qadir (berkuasa), hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik
(cerdik, berakal), qadim azaliy baq (tidak berpemulaan, azali dan kekal),
mutakallim (berkata-kata) dan shaddiq (benar). Sedangkan sifat kedua yang
dimiliki oleh Allah SWT yaitu al-salbiyah yang merupakan sifat yang tidak
mungkin ada pada Allah SWT. Sifat ini meliputi antara tersusun dari beberapa
bagian, berjisim, bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu
dan merupakan tambahan dari Dzat yang telah dimilikiNya.[15]
b. Al ‘adl
Kaum Syi’ah
memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil. Allah tidak pernah
melakukan perbuatan zalim ataupun perbuatan buruk yang lainnya. Allah tidak
melakukan sesuatu kecuali atas dasar kemaslahatan dan kebaikan umat manusia.
Menurut kaum Syi’ah semua perbuatan yang dilakukan Allah pasti ada tujuan dan
maksud tertentu yang akan dicapai, sehingga segala perbuatan yang dilakukan
Allah Swt adalah baik. Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep
keadilan Tuhan yaitu Tuhan selalu melakukan perbuatan yang baik dan tidak
melakukan apapun yang buruk.Tuhan juga tidak meninggalkan sesuatu yang wajib
dikerjakanNya.[16]
c. An nubuwwah
Kepercayaan
kaum Syi’ah terhadap keberadaan Nabi juga tidak berbeda halnya dengan kaum
muslimin yang lain. Menurut mereka Allah mengutus nabi dan rasul untuk
membimbing umat manusia. Rasul-rasul itu memberikan kabar gembira bagi
mereka-mereka yang melakukan amal shaleh dan memberikan kabar siksa ataupun
ancaman bagi mereka-mereka yang durhaka dan mengingkari Allah SWT. Dalam hal
kenabian, Syi’ah berpendapat bahwa jumlah Nabi dan Rasul seluruhnya yaitu 124
orang, Nabi terakhir adalah nabi Muhammad SAW yang merupakan Nabi paling utama
dari seluruh Nabi yang ada, istri-istri Nabi adalah orang yang suci dari segala
keburukan, para Nabi terpelihara dari segala bentuk kesalahan baik sebelum
maupun sesudah diangkat menjadi Rasul, Al Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad
yang kekal, dan kalam Allah adalah hadis (baru), makhluk (diciptakan) hukian
qadim dikarenakan kalam Allah tersusun atas huruf-huruf dan suara-suara yang
dapat di dengar, sedangkan Allah berkata-kata tidak dengan huruf dan suara.[17]
d. Al-Imamah
Bagi kaun Syi’ah imamah
berarti kepemimpinan dalam urusan agama sekaligus dalam dunia.Ia merupakan
pengganti Rasul dalam memelihara syari’at, melaksanakan hudud (had atau hukuman
terhadap pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan serta ketentraman
umat. Bagi kaum Syi’ah yang berhak menjadi pemimpin umat hanyalah seorang imam
dan menganggap pemimpin-pemimpin selain imam adlah pemimpin yang ilegal dan
tidak wajib ditaati. Karena itu pemerintahan Islam sejak wafatnya Rasul
(kecuali pemerintahan Ali Bin Abi Thalib) adalah pemerintahan yang tidak sah.
Di samping itu imam dianggap ma’sum, terpelihara dari dosa sehingga iamam tidak
berdosa serta perintah, larangan tindakan maupun perbuatannya tidak boleh
diganggu gugat ataupun dikritik.[18]
e. Al-Ma’ad
Secara
harfiah al ma’dan yaitu tempat kembali, yang dimaksud disini adalah akhirat.
Kaum Syi’ah percaya sepenuhnya bahwahari akhirat itu pasti terjadi. Menurut
keyakinan mereka manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara
keseluruhannya akan dikembalikan ke asalnya baik daging, tulang maupun ruhnya.
Dan pada hari kiamat itu pula manusia harus memepertanggungjawabkan segala
perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia di hadapan Allah SWT. Pada
saaat itu juga Tuhan akan memberikan pahala bagi orang yang beramal shaleh dan
menyiksa orang-orang yang telah berbuat kemaksiatan.[19]
4.
Perkembangan Syi'ah
Semua sekte dalam Syi'ah sepakat
bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan bin Ali, lalu
Husein bin Ali. Namun setelah itu muncul perselisihan mengenai siapa
pengganti imam Husein bin Ali. Dalam hal ini muncul dua pendapat. Pendapat
kelompok pertama yaitu imamah beralih
kepada Ali bin Husein, putera Husein bin Ali, sedangkan kelompok lainnya
meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin Hanafiyah, putera Ali bin Abi
Thalib dari isteri bukan Fatimah.
Akibat
perbedaan antara dua kelompok ini maka muncul beberapa sekte dalam Syi'ah. Para
penulis klasik berselisih tajam mengenai pembagian sekte dalam Syi'ah ini. Akan
tetapi, para ahli umumnya membagi sekte Syi'ah dalam empat golongan besar,
yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah dan Kaum Gulat.
a. Al-Kaisaniyah
Kaisaniyah ialah nama sekte Syiah yang meyakini bahwa kepemimpinan
setelah Ali bin Abi Thalib beralih ke anaknya Muhammad bin Hanafiyah. Para ahli
berselisih pendapat mengenai pendiri Syiah Kaisaniyah ini, ada yang berkata ia
adalah Kaisan bekas budak Ali bin Abi Thalib r.a. Ada juga yang berkata bahwa
ia adalah Almukhtar bin Abi Ubaid yang memiliki nama lain Kaisan.[20]
Diantara ajaran dari Syiah Kaisaniyah ini ialah, mengkafirkan khalifah
yang mendahului Imam Ali r.a dan mengkafirkan mereka yang terlibat perang Sifin
dan Perang Jamal (Unta), dan Kaisan mengira bahwa Jibril a.s mendatangi
Almukhtar dan mengabarkan kepadanya bahwa Allah Swt menyembunyikan Muhammad bin
Hanafiyah.[21]
Sekte Kaisaniyah ini terbagi menjadi beberapa kelompok, namun kesemuanya
kembali kepada dua paham yang berbeda yaitu: 1. Meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah masih hidup. 2.
Meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah telah tiada, dan jabatan kepemimpinan
beralih kepada yang lain.[22]
Pokok-pokok
ajaran Syi’ah al-Kaisaniyah anatara lain:
1. Mereka
tidak percaya adanya roh Tuhan menetes ke dalam tubuh Ali ibn Abi Thalib,
seperti kepercayaan orang-orang Saba’iyah.
2. Mereka mempercayai kembalinya
imam (raj’ah) setelah meninggalnya. Bahkan kebanyakan pengikut al-Kaisaniyah
percaya bahwa Muhammad Ibn Hanafiyah itu tidak meninggal, tetapi masih hidup
bertempat di gunung Radlwa.
3. Mereka menganggap bahwa Allah
Swt. itu mengubah kehendak-Nya menurut perubahan ilmu-Nya. Allah Swt.
Memerintah sesuatu, kemudian memerintah pula kebalikannya.
4. Mereka mempercayai adanya
reinkarnasi (tanasukh al-arwah).
5. Mereka mempercayai adanya
roh.[23]
b. Az-Zaidiyah
Zaidiyah
adalah sekte dalam Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein
Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui
kepemimpinan Ali bin Husein Zainal Abidin seperti yang diakui sekte imamiyah,
karena menurut mereka Ali bin Husein Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi
syarat sebagai pemimpin. Dalam Zaidiyah, seseorang dianggap sebagai imam
apabila memenuhi lima kriteria, yakni:
keturunan Fatimah binti Muhammad
SAW, berpengetahuan luas tentang agama, zahid (hidup hanya dengan
beribadah), berjihad dihadapan Allah SWT dengan mengangkat senjata dan berani.
Sekte Zaidiyah mengakui keabsahan
khalifah atau imamah Abu Bakar As-Sidiq dan Umar bin Khattab. Dalam hal ini,
Ali bn Abi Thalib dinilai lebih tinggi dari pada Abu Bakar dan Umar bin
Khattab. Oleh karena itu sekte Zaidiyah ini dianggap sekte Syi'ah yang paling
dekat dengan sunnah.[24]
Disebut juga Lima Imam dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid
bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat
karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam
mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600–661),
juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625–669), juga
dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626–680),
juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658–713),
juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Zaid bin Ali (658–740), juga
dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara
tiri Muhammad al-Baqir.
Pokok-pokok ajaran Syi’ah
Zaidiyah, terdiri dari beberapa hal. Diantaranya:
1. Meyakini seseorang dari keturunan
Fathimah (puteri Nabi) yang melancarkan pemberontakan dalam membela kebenaran,
dapat diakui sebagai imam, jika ia memiliki pengetahuan keagamaan, berakhlak
mulia, berani, dan murah hati. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa siapapun
dari keturunan Ali bin Abi Thalib dapat menjadi imam, bisa lebih dari seorang
dan bahkan tidak ada sama sekali. Jabatan imam dapat dikukuhkan berdasarkan
kemampuan dalam memimpin dan dapat juga berdasarkan latar belakang pendidikan.
2. Ajaran Syi’ah Zaidiyah
mengenai kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin, mengakui kekhalifahan Abu Bakr, Umar
dan Utsman pada awal masa pemerintahannya, meskipun Ali bin Abi thalib
dinilainya sebagai sahabat yang paling mulia. Dalam
kaitan ini, terdapat konsep Syi’ah Zaidiyah yang berbunyi : جواز امامة المفضول مع وجود الأفضل . Yang dimaksud dengan المفضول adalah Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Usman. Sedangkan yang dimaksud
dengan الأفضل ialah Ali bin Abi Thalib.
3. Dalam
ajaran Syi’ah Zaidiyah, tidak mengakui paham ishmah, yaitu keyakinan bahwa para
imam dijamin oleh Allah dari perbuatan salah, lupa dan dosa. Mereka juga
menolak paham rajaah (seorang imam akan muncul sesudah bersembunyi atau mati),
paham mahdiyah (seorang imam yang bergelar al-Mahdi akan muncul untuk
mengambangkan keadilan dan memusnahkan kebatilan), dan paham taqiyah (sikap
kehati-hatian dengan menyembunyikan identitas di depan lawan).
4. Dari
segi ushul atau prinsip-prinsip umum Islam, ajaran Syi’ah Zaidiyah mengikuti
jalan yang dekat dengan paham Mu’tazilah atau paham rasionalis. Adapun dari
segi furu’ atau masalah hukum dan lembaga-lembaganya, mereka menerapkan fikih
Hanafi (salah satu mazhab fikih dari golongan Sunni). Karenanya, dalam hal
nikah mut’ah mereka mengharamkannya, meskipun pada awal Islam nikah itu pernah
dibolehkan namun telah dibatalkan. Dewasa ini, fikih Syi’ah Zaidiyah termasuk
fikih yang diajarkan di Universitas al-Azhar.[25]
c. Al-Imamiyah
Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah
menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam pengganti dengan penunjukan yang jelas
dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Abu
Bakar, Umar, maupun Utsman. Bagi
mereka persoalan imamah adalah salah suatu persoalan pokok dalam agama atau
ushuludin.
Sekte imamah
pecah menjadi beberapa golongan. Golongan yang besar adalah golongan Isna'
Asyariyah atau Syi'ah dua belas. Golongan terbesar kedua adalah golongan Isma'iliyah.
Golongan Isma'iliyah berkuasa di Mesir dan Baghadad.[26]
Disebut juga Tujuh Imam. Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam
hanya tujuh orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam
ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600–661),
juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625–669), juga
dikenal dengan Hasan Al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626–680),
juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658–713),
juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676–743),
juga dikenal dengan Muhammad Al-Baqir
6) Ja'far bin Muhammad bin Ali
(703–765), juga dikenal dengan Ja'far
Ash Shadiq
7) Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa
al-Kadzim.
Pokok-pokok ajaran Syi’ah
Zaidiyah, terdiri dari beberapa hal. Diantaranya
1. Ilmu al-Faidh al-Ilahi, yang
Allah melimpahkannya pada imam. Maka dengan itu imam-imam, mempunyai kedudukan
di atas manusia pada umumnya dan beilmu belebihi manusia lainnya. Mereka secara
khusus mempunyai ilmu yang tidak dimiliki orang lain. Baginya mengetahui ilmu
Syari’at melebihi apa yang diketahui.
2. Sesungguhnya iman itu tidak
harus tampak dan di kenal masyarakat, tetapi boleh jadi samar bersembunyi.
Namun demikian tetap harus ditaati. Dialah al-Mahdi yang member petunjuk kepada
manusia, sekalipun dia tidak tampak pada beberapa waktu. Dia tentu muncul, dan
hari kiamat tidak akan dating sampai al-Mahdi itu muncul, memenuhi bumi ini
dengan keadilan, sebagaimana kejahatan dan kezaliman telah merajalela.
3. Sesungguhnya imam itu tidak
bertanggungjawab di hadapan siapa pun. Seorang pun tidak boleh menyalahkannya,
apa pun yang diperbuatnya. Masyarakat harus membenarkan bahwa apa yang
diperbuatnya adalah baik, tidak ada kejelekan sedikitpun. Sebab imam mempunyai
ilmu yang tidak dapat dicapai orang lain. Karena itulah mereka menetapkan bahwa
imam itu ma’shum.[27]
d. Al-Ghaliyah
Istilah ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw yang artinya
bertambah dan naik. Ghala
bi ad-din yang artinya memperkuat dan menjadi ekstrim sehingga melampaui batas.
Syi’ah ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap
berlebih-lebihan atau ekstrim. Lebih jauh Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah
ekstrem (ghulat) adalah kelompok yang menempatkan Ali pada derajat ketuhanan,
dan ada yang mengangkat pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi daripada
Nabi Muhammad.[28]
Gelar
ektrem (ghuluw) yang diberikan kepada
kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya yang janggal, yakni ada beberapa
orang yang secara khusus dianggap Tuhan dan ada juga beberapa orang yang
dianggap sebagai Rasul setelah Nabi Muhammad. Selain itu mereka juga
mengembangkan doktrin-doktrin ekstrem lainnya tanasukh, hulul, tasbih dan
ibaha.[29]
Sekte-sekte
yang terkenal di dalam Syi’ah Ghulat ini adalah Sabahiyah, Kamaliyah, Albaiyah,
Mughriyah, Mansuriyah, Khattabiyah, Kayaliyah, Hisamiyah, Nu’miyah, Yunusiyah
dan Nasyisiyahwa Ishaqiyah. Nama-nama sekte tersebut menggunakan nama tokoh
yang membawa atau memimpinnya. Sekte-sekte ini awalnya hanya ada satu, yakni
faham yang dibawa oleh Abdullah Bin Saba’ yang mengajarkan bahwa Ali adalah
Tuhan. Kemudian karena perbedaan prinsip dan ajaran, Syi’ah ghulat terpecah
menjadi beberapa sekte. Meskipun demikian seluruh sekte ini pada prinsipnya
menyepakati tentang hulul dan tanasukh. Faham ini dipengaruhi oleh sistem agama
Babilonia Kuno yang ada di Irak seperti Zoroaster, Yahudi, Manikam dan
Mazdakisme.
Adapun doktrin Ghulat menurut
Syahrastani ada enam yang membuat mereka
ektrem yaitu:
1. Tanasukh yang merupakan
keluarrnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Faham
ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh
disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi
pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lebih
tinggi.[30]
Syi’ah Ghulat menerapkan faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang
menyatakan seperti Abdullah Bin Muawiyah Bin Abdullah Bin Ja’far bahwa roh
Allah berpindah kepada Adam seterusnya kepada imam-imam secara turun-temurun.
2. Bada’ yang merupakan
keyakinan bahwa Allah mengubah kehendakNya sejalan dengan perubahan ilmuNya,
serta dapat memerintahkan dan juga sebaliknya.[31]
Syahrastani menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’ dalam pandangan Syi’ah
Ghulat memiliki bebrapa arti. Bila
berkaitan dengan ilmu, maka artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan
dengan yang diketahui Allah. Bila berkaitan dengan kehendak maka artinya
memperlihatkan yang benar dengan menyalahi yang dikehendaki dan hukum yang
diterapkanNya. Bila berkaitan dengan perintah maka artinya yaitumemerintahkan
hal lain yang bertentangan dengan perintah yang sebelumnya.[32]
Faham ini dipilih oleh Mukhtar ketika mendakwakan dirinya dengan mengetahui
hal-hal yang akan terjadi, baik melalui wahyu yang diturunkan kepadanya atau
melalui surat dari imam. Jika ia menjanjikan kepada pengikutnya akan terjadi
sesuatu, lalu hal itu benar-benar terjadi seperti yang diucapkan, maka itu
dijustifikasikan sebagai bukti kebenaran ucapannya. Namun jika terjadi
sebaliknya, ia mengatakan bahwa Tuhan menghendaki bada’
3. Raj’ah yang masih ada
hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa Imam Mahdi
Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini merupakan
ajaran seluruh sekte dalam Syi’ah. Namun mereka berbeda pendapat tentang siapa
yang akan kembali. Sebagian mengatakan bahwa yang akan kembali itu adalah Ali
dan sebagian lagi megatakan bahwa yang akan kembali adalah Ja’far As-Shaddiq,
Muhammad bin Al-Hanafiyah bahkan ada yang mengatakan Mukhtar ats-Tsaqafi. [33]
4. Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat
menyerupakan salah seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan
dengan makhluk. Tasbih ini diambil dari faham hululiyah dan tanasukh dengan
khaliq.
5. Hulul artinya Tuhan berada
pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada pada setiap individu
manusia. Hulul bagi Syi’ah ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri imam
sehingga imam harus disembah.
6. Ghayba yang artinya
menghilangkan Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi
itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Konssep
ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi pada tahun 66 H/686
M di Kufa ketika mempropagandakan Muhammad Bin Hanafiyah sebagai Imam Mahdi.[34]
KESIMPULAN
Ajaran dalam Syi'ah amatlah
banyak dan berbeda-beda, sehingga kita harus mencari dan mengetahui
ajaran-ajaran, doktrin-doktrin, dan tokoh-tokoh yang berdampak besar dalam
golongan ini. Selain itu, di dalam aliran Syi’ah ini terdapat banyak bagian-bagian dan perbedaan pendapat dalam
bertahuid. Yang ditandai dengan munculnya beberapa sekte seperti Kaisaniyah,
Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Gulat.
Hal ini menuntut kita untuk
selalu berhati-hati serta mengantisipasi atas adanya doktrin keras yang mungkin
berkembang, atau bahkan telah begitu pesat dalam penyebarluasan ajarannya ke
negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia.
Salah satunya adalah menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara
para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin.
Bahkan yang lebih parah adalah yang memuja dan menganggap bahwa Ali bin Abi
Thalib bukan manusia biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu
sendiri.
Oleh karena itu, sebagai umat
Islam kita harus selalu cermat serta berhati-hati dalam meyakini dan
mempelajari suatu aliran baik itu Syi’ah maupun aliran pemikiran yang lain.
Selain itu, jangan sampai terlalu fanatik, karena fanatisme akan berdampak pada
keburukan. Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan.
DAFTAR PUSTAKA
Tahdzibul Lughah, 3/61, karya
Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali
Al-Awaji
Al-khotib, Sayyid Muhibudin,
Mengenal Pokok-pokok Ajaran Syi'ah Al-Imamiyah, Surabaya:PT.bina ilmu, 1984
Asy-Syahrastani, Muhammad bin
Abd Al-Karim, Al-Milal wa An-Nihal, Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah,
1951
Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam,
Jakarta : Logos Publishing House, 1996
A. Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah,
Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986
Razak, Abdur dan Anwar,
Rosihan, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006
Syak’ah, Musthafa Muhammad,
Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi Solo:
Tiga Serangkai, 2008
Thabathaba’i, Muhammad
Husai, Shi’a,terj. Husain Nasr,
Anshariah, Qum, 1981
Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/04/ilmu-kalam-syiah-tokoh-dan-ajarannya.html#ixzz2AhV3YCoy
[1]
Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul
Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali
Al-Awaji
[2]
Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam,
(Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 89
[3]Riwayat di Durul Mansur milik Jalaluddin As-Suyuti
[4] Sayyid Muhibudin al-khotib, Mengenal
Pokok-pokok Ajaran Syi'ah Al-Imamiyah,( Surabaya:PT.bina ilmu, 1984), hal.25
[5] Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik
dan Aqidah Islam. Terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos,
1996), hal. 34
[6] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu
Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, hal.90
[7] Hadits tentang Ghadir Khum ini
terdapat dalam versi Sunni maupun Syi’ah dan semuanya merupakan hadits shahih.
Lebih dari seratus sahabat telah meriwayatkan hadits ini dalam berbagai sanad
dan ungkapan. Lihat Muhammad Husai Thabathaba’i, Shi’a,terj. Husain Nasr,
(Anshariah, Qum, 1981)
[8] Ibid, hal. 38
[9] Ibid, 39-40
[10] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam…hal. 91
[11] Ibid
[12] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam
(Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2010), hal. 82
[13] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu
Kalam…hal. 92
[14] Harun Nasution, Teologi Islam:
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet
ke-5, h. 135-136
[15] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu
Kalam…hal. 9
[16]
Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Solah Abu Su’ud, As’ Syiah An Nasyaah
As Syiasiyah wal Aqidah Ad’ Diniyah, (Giza: Maktabah Nafidah, 2004), hal. 158
[21] Ibid
[22] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam…, hal. 108
[23] Ibid, hal. 108-109
[24] Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik
Dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta : Logos Publishing House, 1996) , cet.1 hal.25
[25]
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam…, hal. 111-114
[26]Ibid
27-28
[27]Ibid,
hal. 117
[28] Abu Zahrah, Aliran Politik…hal. 39
[29] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu
Kalam…hal. 105
[30] Abu Zahrah, Aliran Politik…hal. 106
[31] Ibid
[32] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu
Kalam…hal. 107
[33] Ibid
[34] Ibid
Comments
Post a Comment
Jangan lupa komentar yaaa !!!