Ayat-ayat tentang masyarakat
PEMBAHASAN
A.
Surat al-Ra’du
ayat 11
Dalam terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsir, jilid IV, PT Bina
Ilmu, Surabaya, 1988, hlm 431 karangan H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy
dan, Terjemah tafsir al-Maraghi, juz XIII, CV Toha
Putra, Semarang, 1988, hlm 135 karangan Ahmad Mustofa al Maraghi
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ
مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُوْ نَهُ مِنْ اَمْرِاللهِ إِنَّ
اللهََ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْامَا بِأَنْفُسِهِمْ وَاِذَا
أَرَادَاللهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلاَ مَرَدَّالَهُ وَمَالَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ
وَّالٍ
Artinya : Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dimuka dan
dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah, sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Allah.
Ayat ini menerangkan tentang kedhaliman
manusia. Dalam ayat ini juga dijelaskan bahwa kebangkitan dan keruntuhan suatu
bangsa tergantung pada sikap dan tingkah laku mereka sendiri. Kedzaliman dalam
ayat ini sebagai tanda rusaknya kemakmuran suatu bangsa.
لَهُ مُعَقِبَاتِ مِنْ
بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْقِهِ يَحْفَظُوْ نَهُ مِنْ اَمْرِاللهِ
Pada tiap manusia baik yang bersembunyi ataupun yang
nampak ada malaikat yang terus menerus bergantian memelihara dari kemudharatan
dan memperhatikan gerak gerik setiap manusia, sebagaimana berganti-ganti pula
malaikat yang lain yang mencatat segala amalannya, baik maupun
buruk. Ada malaikat malam dan ada malaikat siang, satu berada
disebelah kiri yang mencatat segala amal kejahatan dan satu disebelah kanan
yang mencatat segala amal kebajikan, dan dua malaikat bertugas memelihara dan
mengawasi manusia. Adapun malaikat yang dimaksud dalam ayat ini adalah malaikat
Hafadzah.[1]
Adapun keempat malaikat itu tidak akan terlepas dari
kita, melainkan kita sedang dalam keadaan mempunyai hadats besar. Sebagaimana
dalam sabda Rasul :
اِنَّ مَعَكُمْ مَنْ
لاَيُقَارِقُكُمْ عِنْدَالْخَلاَءِ وَعِنْدَالْجِمَاعِ فَاسْتَحْيُوْهُمْ
وَاَكْرَمَهُمْ.
“Sesungguhnya
ada malaikat-malaikat yang mengikuti kamu dan tidak terpisah dari kamu
melainkan disaat-saat kamu membuang hajat besar atau bersetubuh, maka di segani
dan hormatilah mereka.”[2]
إِنَّ اللهَ لاَيُغَيِّرُ
مَابِقَوْمٍ حَتَّى لاَيُغَيِّرُمَا بِأَنْفُسِهِمْ
Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum
berupa nikmat dan kesehatan, lalu mencabutnya dari mereka sehingga mereka
mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Allah juga menyuruh kita
(umat-Nya) untuk mengubah suatu kedzaliman karena jika kita tidak merubahnya,
maka Allah akan memperluas siksaannya, sedangkan Allah menciptakan manusia di
bumi ini untuk menjadi penguasa (khalifah) yang bertugas memakmurkan dan
memanfaatkan segala isinya dengan baik bukan untuk merusaknya.[3]
وَاِذَا أَرَادَاللهُ
بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلاَ مُرَدَّالَهُ
Kita tidak patut dan tidak boleh meminta kepada Allah
agar keburukan segera didatangkan sebelum kebaikan atau siksaan sebelum pahala,
karena jika Allah telah menghendaki dan menimpakannya kepada mereka, maka tidak
ada seorangpun yang dapat menolak takdir-Nya.
مِنْ
وَمَالَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ وَّلٍ
Tidak ada penolong bagi manusia seorangpun yang dapat
mengendalikan urusan mereka, dan tidak ada seorangpun pula yang mampu
mendatangkan kemanfataan atau menolak madharat selain Allah SWT. Sebagaimana
dalam Firman-Nya Surat al-Hajj ayat 73:
يَاَيُّهَاالنَّاسُ
ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوْالَهُ اِنَّ الَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ
لَنْ يَخْلُقُوْا ذُبَابًا وَّلَوِاجْتَمَعُوْلَهُ وَاِنْ يَسْلُبْهُمُ الدُّبَابُ
شَيْئًا لاَيَسْتَنْقِذُهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوْبُ
“Hai
manusia, telah di buat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu,
sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat
menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan
jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya
kembali dari lalat itu, amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah pulalah
yang disembah.”[4]
B. Surat al-Hujurat
ayat 11-13
Menurut Prof. H. Abdul Malik Abdul Karim
Amrullah (HAMKA), dalam Tafsir al-Ashhar, Yayasan Nurul
Islam, Surabaya, 1982, hlm 236 di jelaskan
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى اَنْ يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ
وَلاَنِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى اَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ
وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ وَلاَتَنَابَزُوْا بِاْلاَلْقَابِ بِئْسَ الإِسْمُ
الْفُسُوْقُ بَعْدَاْلإِيْمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُوْنَ () يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ
الظَّنِّ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَلاَتَجَسَّسُوْاوَلاَيَغْتَبْ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَاءْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ
مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُواللهَ اِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ ()
يَاَيُّهَاالنَّاسُ اِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنْ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتْقَاكُمْ
اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ()
(11). Hai orang-orang yang beriman,
janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka
yang yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok dan jangan pula
wanita-wanita mengolok-olok wanita lain karena boleh jadi wanita-wanita yang
diperolok-olok lebih baik dari wanita yang mengolok-olok dan janganlah kamu
mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar
yang buruk, seburuk-buruk panggilan yang buruk sesudah iman dan barang siapa
yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. (12). Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, sukakah
salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (13) Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang laki-laki seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam ayat ini Allah
menjelaskan adab-adab (pekerti) yang harus berlaku diantara sesama mukmin, dan
juga menjelaskan beberapa fakta yang menambah kukuhnya persatuan umat Islam,
yaitu:
a. Menjauhkan diri dari
berburuk sangka kepada yang lain.
b. Menahan diri dari
memata-matai keaiban orang lain.
c. Menahan diri dari mencela
dan menggunjing orang lain.
Dan dalam ayat ini juga,
Allah menerangkan bahwa semua manusia dari satu keturunan, maka kita tidak
selayaknya menghina saudaranya sendiri. Dan Allah juga menjelaskan bahwa dengan
Allah menjadikan kita berbangsa-bangsa, bersuku-suku dan bergolong-golong tidak
lain adalah agar kita saling kenal dan saling menolong sesamanya. Karena
ketaqwaan, kesalehan dan kesempurnaan jiwa itulah bahan-bahan kelebihan
seseorang atas yang lain.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ
Kita tidak boleh saling
menghina diantara sesamanya. Ayat ini akan dijadikan oleh Allah sebagai
peringatan dan nasehat agar kita bersopan santun dalam pergaulan hidup kaum
yang beriman. Dengan hal ini berarti Allah melarang kita untuk mengolok-olok
dan menghina orang lain, baik dengan cara membeberkan keaiban, dengan mengejek
ataupun menghina dengan ucapan / isyarat, karena hal ini dapat menimbulkan
kesalah-pahaman diantara kita.
عَسَى اَنْ
يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ
Allah melarang kita
menghina sesamanya karena boleh jadi orang yang dihina itu lebih baik dan lebih
mulia disisi Allah kedudukannya dari pada yang menghina.
وَلاَنِسَاءُ مِنْ
نِسَاءِ عَسَى اَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ
Orang yang kerjanya hanya
mencari kesalahan dan kekhilafan orang lain, niscaya lupa akan kesalahan dan
kekhilafan yang ada pada dirinya sendiri. Sebagaimana dalam sabda Nabi:
الكِبْرُ
بَطْرُالْحَقِّ وَغَمْصُ النَاسِ
“Kesombongan itu ialah menolak kebenaran dan
memandang rendah manusia”.
وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ
Dalam penggalan ayat ini
Allah melarang kita mencela orang lain karena mencela orang lain sama saja
mencela diri sendiri, karena orang-orang mukmin itu bagaikan satu badan. firman
Allah SWT yang menerangkan tentang balasan bagi orang yang suka mencela orang
lain yaitu:
وَيْلٌ لِكُلِّ
هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
“Neraka wailun hanya buat orang yang suka
mencedera orang dan mencela orang”. (al-Humazah: 1)
Adapun dari arti هُمَزَةٍ yaitu
mencedera, yakni memukul dengan tangan, sedangkan لُمَزَةٍ yaitu
mencela dengan mulut.[5]
وَلاَتَنَابَزُوْا
بِاْلاَلْقَابِ
Allah melarang kita
memanggil orang lain dengan gelaran-gelaran yang mengandung ejekan-ejekan,
karena hal ini termasuk menjelekkan seseorang dengan sesuatu yang telah
diperbuatnya. Sedangkan orang yang dihina itu telah bertaubat, tapi jika
gelaran (panggilan) itu mengandung pujian dan tepat pemakaiannya, maka itu
tidak di benci sebagaimana gelar yang diberikan kepada Umar, yaitu:Al-Faruq.
بِئْسَ الإِسْمُ
الْفُسُوْقَ بَعْدَاْلإِيْمَانِ
Allah melarang kita
memanggil orang dengan kata “fasik” setelah ia sebulan masuk Islam atau
beriman.
Para ulama’
mengharamkan kita memanggil seseorang dengan sebutan yang tidak di sukai.
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Ayat ini di turunkan
mengenai “Shafiyah binti Hisyam Ibn Akhtab”, Beliau datang mengadu kepada Rasul
bahwa isteri Rasul yang lain mengatakan kepadanya. Hai orang Yahudi, hai anak
dari orang Yahudi, mendengar itu, Rasul berkata: mengapa kamu tidak menjawab:
ayahku Harun, pamanku Musa, sedangkan suamiku Muhammad. Dalam ayat ini
diterangkan bahwa orang yang sudah mengolok-olok bahkan menghina orang lain
tapi tidak bertaubat, maka mereka termasuk orang dholim.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ الظَّنِّ
Dalam ayat ini Allah
melarang bahkan mengharamkan kita berprasangka buruk atau berfikiran negatif
terhadap orang yang secara lahiriyah tampak baik dan memegang amanat, atau kita
tidak boleh menfitnah seseorang, karena menfitnah itu bukan saja menyakiti
seseorang dari lahirnya saja tapi juga menyakiti bathinnya.
اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
اِثْمُ
Allah melarang kita
berburuk sangka terhadap orang lain karena sebagian dari buruk sangka itu dosa.
Prasangka adalah dosa,
karena prasangka adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa memutuskan
silaturahmi di antara dua orang yang baik.
Dalam hal ini prasangka
yang di larang adalah prasangka buruk yang dapat menimbulkan tuduhan kepada
orang lain, sedangkan prasangka tentang perkiraan itu tidak di larang.
Sebagaimana terdapat dalam
suatu hadits :
ثَلاَثٌ لَأَزِمَّاتٌ
ِلأُمَتِّى : الطِبْرَةُ وَالْحَسَدُ وَسُوْءُالظَّنِّ
“Tiga macam membawa krisis bagi umatku, yaitu
memandang kesialan, dengki, dan buruk sangka”.[6]
وَلاَتَجَسَّسُوْ
Allah melarang kita
mencari-cari keaiban dan menyelidiki rahasia seseorang, tapi jika kita
memata-matai seseorang atau musuh agar tidak terjadi kejahatan, maka itu di
perbolehkan.
وَلاَيُغَيِّبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا
Allah melarang mencela
orang di belakangnya atau menggunjing tentang sesuatu yang tidak di sukainya.
Menurut para ulama’,
mencela yang dibenarkan adalah jika bertujuan untuk :
a. Untuk mencari keadilan,
b. Untuk menghilangkan
kemungkaran,
c. Untuk meminta fatwa atau
mencari kebenaran,
d. Untuk mencegah manusia
berbuat salah,
e. Untuk membeberkan orang
yang tidak malu-malu melakukan kemaksiatan.
اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ
اَنْ يَاءْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ
Allah melarang kita
membicarakan keburukan seseorang, karena hal itu sama halnya dengan makan
bangkai saudaranya yang busuk. Allah melarang hal ini karena perbuatan ini
merupakan penghancuran pribadi terhadap saudara yang di cela itu.
وَاتَّقُواللهَ اِنَّ
اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Dalam ayat ini Allah
menyuruh kita bertaubat dari kesalahan yang telah kita perbuat dengan di sertai
penyesalan dan bertaubat (taubat an-nasukha). Dalam ayat ini Allah
juga memberitahukan bahwasanya Allah senantiasa membuka pintu kasih sayangnya,
membuka pintu selebar-lebarnya dan menerima kedatangan para hambanya yang ingin
bertaubat supaya menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
يَاَيُّهَاالنَّاسُ
اِنَّا خَلَقْنَكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى
Dalam ayat ini mengandung
dua penafsiran, yaitu :
a. Seluruh manusia diciptakan
pada mulanya dari seorang laki-laki, yaitu Adam dan dari seorang perempuan,
yaitu Hawa.
b. Segala manusia sejak dulu
sampai sekarang terjadi dari seorang laki-laki dan perempuan.
وَجَعَلْنَكُمْ
شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا
Allah menjadikan manusia
dari berbagai macam suku dan bangsa agar kita saling mengenal. Ayat ini
merupakan dasar demokrasi yang benar di dalam Islam, dengan menghilangkan kasta
dan perbedaan.
اِنْ اَكْرَمَكُمْ
عِنْدَاللهِ اَتْقَاكُمْ
Semua manusia di sisi Allah
SWT itu sama, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya.
Taqwa adalah suatu prinsip
umum yang mencakup takut kepada Allah dan mengerjakan apa yang diridhoinya yang
melengkapi kebaikan dunia dan akhirat. Kemuliaan hati yang di anggap bernilai
adalah kemuliaan hati, budi, perangai, dan ketaatan pada Allah.
اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ
خَبِيْرٌ
Bahwasanya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu baik yang tampak ataupun tersembunyi. Dan bahwa Allah
adalah sebaik-baiknya Sang Pencipta.
bamumin.wordpress.com/2010/09/02/ayat-ayat-tentang-masyarakat
diakses 23 september 2013
AYAT-AYAT
TENTANG MASYARAKAT
ذَلِكَ
بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى
يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ .
Terjemah:
“(Siksaan)
yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan
meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga
kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri[1],
dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(Q.S. Al-Anfal: 53)
[1]. Allah tidak mencabut nikmat
yang telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan
bersyukur kepada Allah.
Arti kosa
kata:
مُغَيِّرًا : merubah
نِعْمَةً : sesuatu nikmat
أَنْعَمَهَا : telah dianugerahkan-Nya
حَتَّى
يُغَيِّرُوا
: hingga kaum itu meubah
بِأَنْفُسِهِمْ
: diri mereka sendiri
سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
: Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
(Penanfsiran)
– Mengenai ayat tersebut, menurut
al-Biqa’i bahwa yang demikian yakni siksaan baik menyangkut waktu,
kadar, maupun jenisnya ditetapkan Allah berdasar perbuatan mereka mengubah diri
mereka. Sebenarnya Allah dapat menyiksa mereka berdasar pengetahuan-Nya tentang
isi hati mereka, yakni sebelum mereka melahirkannya dalam bentuk perbuatan yang
nyata, tetapi Allah tidak melakukan itu karena sunnah atau ketetapan-Nya
adalah sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu
nikmat sedikit atau besar yang telah dianugrahkan-Nya kepada suatu kaum,
tidak juga sebaliknya mengubah kesengsaraan yang dialami oleh suatu kaum
menjadi kebahagiaan hingga kaum itu sendiri terlebih dahulu mengubah
apa yang ada pada diri mereka sendiri, yakni untuk memperoleh nikmat
tambahan bagi mereka harus menjadi lebih baik, sedangkan perolehan siksaan
adalah akibat mengubah fitrah kesucian mereka menjadi keburuklan dan
kedurhakaan dan sesungguhnya Alah Maha Medengar apa pun yang
disuarakan makhluk lagi Maha Mengetahui apapun sikap dan tingkah laku
mereka.
kata لَمْ يَكُ /
lam yaku, tidak akan pada mulanya berbunyi (لَمْ يَكُن)
/ lam yakun. Penghapusan huruf nun itu untuk mempersingkat
sekaligus mengisyaratkan bahwa peringatan dan nasehat yang dikandung ayat ini
hendaknya segera disambut dan jangan diulur-ulur, karena mengulur dan
memperpanjang hanya mempercepat siksa. Demikian kesan yang diperoleh al-Biqa’i.
Ayat ini serupa dengan firman-Nya: ”
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”. (Al-Ra’d:11). Kedua ayat
tesebut – ayat ini dan ayat ar-Ra’d – itu berbicara tentang perubahan,
tetapi ayat pertama berbicara tentang perubahan nikmat, sedang ayat ar-ra’d
menggunakan kata (مَا) maa / apa sehingga mencakup
perubahan apapun, yakni baik dari nikmat / murka ilahi / negatif, maupun
dari negatif ke positif.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi
menyangkut kedua ayat tersebut.
- Ayat-ayat tersebut berbicra tentang perubahan sosial yang berlaku bagi masyarakat masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Keduanya berbicara tentang hukum-hukum kemasyarakatan, bukan menyangkut orang perorang atau individu. Ini dipahami dari pengguanaan kata kaum / masyarakat pada kedua ayat tersebut.
- Karena ayat tersebut berbicara tentang kaum, maka ini berarti bahwa ketetapan atau sunnatullah yang dibicarakan ini berkaitan dengan kehidupan duniawi, bukan ukhrawi. Hal ini mengantar kita berkata bahwa ada pertanggungjawaban yang bersifat pribadi, dan ini akan terjadi di akhirat kelak, berdasar firman-Nya: ”Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”.(Q.S. Maryam: 95), dan ada juga tanggung jawab sosial yang bersifat kolektif. Inilah yang ditunjuk oleh firman-Nya: ” Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.(Q. S. Al-Anfal: 25). Rasul Saw. Juga pernah ditanya: “Apakah kita akan binasa, padahal orang-orang shaleh / baik ada di tengah-tengah kita? Beliau menjawab singkat, ”Ya, kalau kebejatan telah merajalela!”.
- Kedua ayat di atas juga berbicara tentang dua pelaku perubahan. Yang pertama adalah, Allah yang mengubah nikmat seperti bunyi ayat al-Anfal ini atau apa saja yang dialami oleh satu masyarakat, atau katakanlah sisi luar / lahirah masyarakat, (seperti bunyi ar-ra’d). sedang pelaku kedua adalah manusia dalam hal ini masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam mereka atau dalam istilah kedua ayat di atas apa yang terdapat dalam diri mereka.
Perubahan yang terjadi akibat campur
tangan Allah atau yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan apa menyangkut
banyak hal seperti kekayaan, kemiskinan, kesehatan, penyakit, kemuliaan,
kehinaan, persatuan, perpecahan, dan lain-lain yang berkaitan dengan masyarakat
secara umum, bukan yang secara individu. Jika demikian, bisa saja ada di antara
anggota masyarakat yang kaya, tetapi jika mayoritas miskin, maka masyarakat
tersebut dinamai masyarakat miskin, demikian seterusnya.
Kedua ayat itu juga menekankan bahwa
perubahan yang dilakukan oleh masyarakat. Tanpa perubahan yang dilakukan
masyarakat dalam diri mereka terlebih dahulu, maka mustahil akan terjadi
perbahan sosial. Memang boleh saja terjadi perubahan penguasa, atau bahkan
sistem, tetapi jika sisi dalam masyarakat tidak berubah, maka keadaan akan
tetap bertahan sebagaimana sediakala. Jika demikian, yang paling pokok dalam
keberhasilan perubahan sosial adalah perubahan sisi dalam manusia,
karena sisi dalam manusia itulah yang melahirkan aktivitas, baik positif maupun
negatif.
Al-Qur-an menjelaskan bahwa manusia
memiliki sisi dalam yang dinamainya (َنْفُسِ)
nafs/diri, bentuk jamaknya (أَنْفُسِ)
anfus dan juga manusia mempunyai sisi luar yang dinamainya antara
lain jism / badan yang dijamak ajsaam. Sisi dalam, tdak selau
sama dengan sisi luar. Al-Qur-an melukiskan orang-orang munafik dengan
firman-nya: ” ”Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka
menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan
mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa
tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh
(yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka”. (QS. Al-Munaafiqun: 4).
Adapun nafs atau sisi dalam manusia,
maka ia mengandung dua hal pokok. Kalau kita ibaratkan nafs dengan satu
wadah, maka nafs adalah wadah besar yang di dalamnya ada kotak / wadah
yang berisi segala sesuatu yang disadari oleh manusia. Al-Quran menamai
kotak itu qalb/kalbu. Apa yang telah dilupakan manusia dan yang sesekali
muncul dan yang dinamai oleh ilmuan bahwa sadar juga berada di dalam
wadah nafs, tetapi di luar kota kalbu. Al-quran mengisyaratkan
hakikat di atas dengan firman-nya: ” Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu,
maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi”. (QS.
Thaha: 7).
Mengeraskan
ucapan, salah satu aspek dari sisi luar
manusia. Rahasia adalah sisi dalam manusia yang disadarinya. Adapun yang
lebih tersembunyi adalah hal-hal yang telah dilupakan dan atau tidak diketahui
lagi dan berada dalam bawah sadar manusia. orang lain dapat mengetahui yang pertama
saja, sedang yang bersangkutan dapat mengetahui dan menyadari yang pertama
dan yang kedua, tidak yang ketiga. Anya Allah yang mengetahui ketiganya. Dari
sini dapat dipahami mengapa yang dituntut untuk dipertanggungjawabkan adalah
isi kalbu bukan isi nafs. Firman-Nya: ” ”(QS. Al-Baqaah: 225).
Namun demikian dinyatakan-Nya bahwa: “Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada
dalam hatimu” (QS. Al-Isra: 25).
Jika demikian tidak keliru jika
dikatakan bahwa apa yang terdapat dalam masyarakat adalah cerminan dari sisi
dalam masyarakat itu sendiri, sehingga jika mereka tidak senang terhadap
sesuatu, maka mereka memiliki potensi untuk mengubahnya, dan perubahan yang
terjadi itu akan lahir sesuai dengan sisi dalam mereka, bukan sisi dalam
seorang atau sekelompok kecil dari mereka.
لَهُ
مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا
لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Terjemah:
”Bagi
manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[2].
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan[3] yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (Q.S. Al-Ra’d:11)
[2]. Bagi tiap-tiap manusia ada
beberapa malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa
malaikat yang mencatat amalan-amalannya. Dan yang dikehendaki dalam ayat ini
ialah malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut malaikat Hafazhah.
[3]. Tuhan tidak akan merobah keadaan
mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
Arti kosa
kata:
مُعَقِّبَاتٌ : mengikuti bergiliran
خَلْفِهِ : di belakangnya
يَحْفَظُونَ : menjaga
أَمْرِ
اللَّهِ
: perintah Allah
لَا
يُغَيِّرُ :
tidak merobah
أَرَادَ
: menghendaki
سُوءًا
: keburukan
مَرَدَّ
: menolak
(Asbab
Nuzul Ayat) -
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Arbad bin Qais dan ’Amir bin Ath-Thufail
menghadap Rasulullah Saw, di Madinah. Amir berkata: ”Hai muhammad! Jabatan
apa yang engkau berikan kepadaku apabila aku masuk Islam?” Rasul menjawab: ”Hakmu
sama dengan hak kaum Muslimin, dan kewajibanmu serupa dengan kewajiban mereka.”
Ia berkata lagi: ”Apakah engkau akan menjadikanku pimpinan setelahmu?”
Nabi menjawab: ”Itu bukan urusanmu dan juga bukan urusan kaummu”.
Kemudian mereka berdua keluar.
Berkatalah ’Amir kepada Arbad: ”Aku akan mengajak bicara Muhammad sehingga
ia tidak memperhatiakan kamu, dan di sat itulah kamu enggal lehernya.’
Kemudian mereka kembali lagi kepada Rasulullah. ’Amir berkata: ” Hai Muhamad
mari kita bicarakan sesuatu. ” Maka berdirilah Rasulullah saw. Bersamanya
dan bercakap-cakap dengannya. Pada waktu itu Arbad telah siap-siap menyerang
hulu pedang untuk menabutnya, akan tetapi tangannya tidak berdaya. Rasulullah
berpaling dan melihat perbuatannya Kemudian Rasulullah meninggalkan kedua orang
itu, dan mereka pun pulang. Ketika sampai ke kampung ar-Raqm, Allah mengirimkan
petir untuk menyambar Arbad sampai mati. Allah meurunkan Ayat ini
termasuk ayat 11 suarat ar-ra’d sebagai penegasan bahwa Alah Maha segala
sesuatu, termasuk yang masih dalam kandungan, dan Maha kuasa mengatur hidup dan
mati makhluk-Nya. (Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan lain-lain yang
bersumber dari Ibnu Abbas.
(Penafsiran) – Kata مُعَقِّبَاتٌ /
al-Mu’aqibaatu adalah bentuk jamak dari kata al-mu’aqibah. Kata tersebut
terambil dari kata ‘aqaba yaitu tumit, dari sini kata tersebut
dipahami dalam arti mengikuti seakan-akan yang mengikuti itu meletakkan
tumitnya di tempat tumit yang diikutinya. Patron kata yang digunakan di sini
mengandung makna penekanan. Yang dimaksud adalah malaikat-malaikat yang
ditugaskan Allah mengikuti setiap orang secara sungguh-sungguh.
Kata يَحْفَظُونَهُ /
memeliharanya dapat
dipahami dalam arti mengawasi manusia dalam setiap gerak langkahnya, baik
ketika dia tidak bersembunyi maupun saat persembunyiannya. Dapat juga dalam
arti memeliharanya dari gangguan apa pun yang dapat menghalangi tujuan
penciptannya.
Kata مِنْ أَمْرِ اللَّهِ /
min amrillah dipahami oleh banyak ulama dalam arti atas perintah
Allah. Thabathaba’i memahaminya dalam arti lebih luas. Ulama ini terlebih
dahulu menggarisbawahi bahwa manusia bukan sekedar jasmani, tetapi dia adalah
makhluk ruhani dan jasmani dan yang terpokok dalam segala persoslannya adalah sisi
dalamnya yang memuat perasaan dan kehendaknya. Inilah yang terarah
kepadanya perintah dan larangan, dan atas dasarnya sanksi dan ganjaran
dijatuhkan, demikian juga akan keamanan dan kepedulian serta kebahagiaan dan
kesengsaraan.
Atas dasar itu, Thabathaba’i
memahami kata min baini yadaihi wamin khalfih / dihadapannya dan juga
di belakangnya pada ayat ini dalam arti seluruh totalitas manusia, yakni
seluruh arah yang mengelilingi jasmaninya sepanjang hayatnya, dan tercakup juga
semua fase kehidupan kejiwaan yang dialaminya. Selanjutnya Thabathaba’i
mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk lemah. Allah Swt menyifatinya dengan
makhluk yang tidak memiliki kemampuan untuk menampik mudharat, tidak uga
mendatangkan manfaat, tidak kematian tidak juga kehidupan atau kebangkitan.
Ada beberapa hal yang perlu
digarisbawahi menyangkut ayat di atas. Pertama, ayat tersebut berbicara
tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Kedua, penggunaan
kata “qaum” juga menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak hanya
berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras dan agama tertentu, tetapi ia
berlaku umum, kapan dan dimana pun berada. Ketiga, ayat di atas
berbicara tentang dua pelaku perubahan, pelaku pertama adalah Allah Swt yang
megubah nikmat yang dianugrahkanNya kepada suatu masyarakat atau apa saja yang
dialami oleh suatu masyarakat. Sedang pelaku kedua adalah manusia, dalam hal
ini masyarakat yang melakukan perubahan tersebut. Keempat, Ayat di atas
menkankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah, haruslah didahului oleh
perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam
mereka.tanpa perubahan ini, mustahil trjadi perubahan social. Perlu ditegaskan
bahwa dalam pandangan Al-quran yang paling pokok guna keberhasilan perubahan
soisial adalah perubahan sisi dalam manusia, karena sisi dalam
manusialah yang melahirkan krativitas, baik positif maupun negatif, dan bentuk,
sifat serta corak aktivitas itulah yang mewarnai keadaan masyarakat, apakah
positif atau negatif.
Al-Qur-an menjelaskan bahwa manusia
memiliki sisi dalam yang dinamainya (َنْفُسِ)
nafs/diri, bentuk jamaknya (أَنْفُسِ)
anfus dan juga manusia mempunyai sisi luar yang dinamainya antara
lain jism / badan yang dijamak ajsaam. Sisi dalam, tdak selau
sama dengan sisi luar. Al-Qur-an melukiskan orang-orang munafik dengan
firman-nya: ” ”Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka
menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan
mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa
tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh
(yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka”. (QS. Al-Munaafiqun: 4).
Adapun nafs atau sisi dalam manusia,
maka ia mengandung dua hal pokok. Kalau kita ibaratkan nafs dengan satu wadah,
maka nafs adalah wadah besar yang di dalamnya ada kotak / wadah yang berisi
segala sesuatu yang disadari oleh manusia. Al-Quran menamai kotak itu
iqalb/kalbu. Apa yang telah dilupakan manusia dan yang sesekali muncul dan yang
dinamai oelh ilmuan bahwa sadar juga berada di dalam wadah nafs, tetapi
di luar kota kalbu. Al-quran mengisyaratkan hakikat di atas dengan
firman-nya: ” Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia
mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi”. (QS. Thaha: 7).
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ
يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ
خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا
بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Terjemah:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi
yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[4]
dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk
panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[5] dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S. 49 Al-hujurat: 11)
[4]. Jangan mencela dirimu
sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang
mukmin seperti satu tubuh.
[5]. Panggilan yang buruk ialah
gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada
orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: hai fasik, hai kafir dan
sebagainya.
Arti kosa
kata:
لَا
يَسْخَرْ :
janganlah merendahkan
خَيْرًا
: lebih baik
نِسَاءٌ
: perempuan
لَا
تَلْمِزُوا
: jangan memanggil
الْأَلْقَابِ : gelaran yang mengandung ejekan
لَمْ
يَتُبْ : tidak bertobat
(Asbab
Nuzul Ayat)
– Sekian banyak riwayat yang dikemukakan para mufasir menyangkut sabab
nuzul ayat ini. Misalnya ejekan yang dilakukan oleh kelompok Bani Tamim
terhadap Bilal, Shuhaib dan ’Ammar yang merupakan orang-orang tidak punya. Ada
lagi yang menyatakan bahwa ia turun berkenaan dengan ejekan yang dilontarkan
oleh Tsabit Ibn Qais, seorang Sahabat Nabi Saw. Yang tuli. Tsabit melangkahi
sekian orang untuk dapat duduk di dekat Rasul agar dapat mendengar wejangan
beliau. Salah seorang menegurnya, tetapi Tsabit marah sambil memakinya dengan
menyatakan bahwa dia yakni si penegur adalah si Anu – (seorang wanita yang pada
masa jahiliah dikenal memiliki aib). Orang yang diejek ini merasa dipermalukan,
maka turunlah ayat ini. Ada lagi yang menyataan bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan ejekan yang dilontarkan oleh sementara istri Nabi Muhammad saw. Terhadap
Ummu Salamah yang merupakan ”madu” mereka. Ummu Salamah mereka ejek sebagai
wanita pendek.
Dalam suatu riwayat dikemukakan
bahwa seseorang laki-laki mempunyai dua atau tiga nama. Orang itu sering
dipanggil dengan nama tertentu yang tidak ia senangi. Ayat ini (Q.S. 49
Al-Hujurat:11) turun sebagai larangan menggelari orang dengan nama-nama yang
tidak menyenangkan. (diriwayatkan di dalam kitab sunanyang empat, yang
bersumber dari Abu jubair adl-Dlahhak, menurut at-tirmidzi, Hadits ini hasan).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa
nama-nama gelar di zaman jahiliyah sangat banyak, Ketika nabi Saw, memanggil
seseorang dengan gelarnya , ada orang yang memberitahukan kepada beliu bahwa
gelar itu tidak disukainya. Maka turunlah ayat ini (Q.S. 49 Al-hujurat: 11)
yang melarang memanggil orang dengan gelar yang tidak disukainya. (diriwayatkan
oleh al-hakim dan lain-lain, yang bersumber dari Abu jubair bin adl-Dlahhak).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa
ayat ini turun berkenaan dengan Bani Salamah. Nabi saw tiba di Madinah pada
saat orang-orang biasanya mempunyai dua atau tiga nama. Pada suatu saat
rasululah Saw memangil seseorang dengan salah satu namanya, tetapi ada rang
yang berkata: ”Ya rasulullah! Sesungguhnya ia marah dengan pnggilan itu.”
Ayat, . wa laa tanaabazuu bil alqaab … (…dan janganlah kamu panggil
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk ..) (Q.S. 49 Al-hujurat: 11) turun
sebagai larangan memanggil orang dengan sebutan yang tidak disukainya.
(Diriwayatkan oleh Ahmad yang bersumber dari Abu Jubar bin adl-Dlahhak). Alhasil
sekian banyak riwayat, yang kesemuanya dapat dinamai sabab nuzul, walau maksud
dari istilah ini dalam konteks riwayat-riwayat di atas adalah kasus-kasus yang
dapat ditampung oleh kandungan ayat ini.
(Penafsiran) – Ayat tersebut memberi petunjuk tentang beberapa hal yang
harus dihindari untuk mencegah timbulnya pertikaian. Allah berfirman memanggil
kaum beriman dengan panggilan mesra: Hai orang-orang yang beriman janganlah
suatu kaum yakni kelompok pria mengolok-olok kaum kelompok pria yang
lain, karena hal tersebut dapat menimbulkan pertikaian – walau yang
diolok-olok kaum yang lemah – apalagi boleh jadi mereka yang diolok-olok
itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok sehingga dengan demikian
yang berolok-olok melakukan kesalahan berganda. Pertama mengolok-olok dan kedua
yang diolok-olok lebih baik dari mereka; dan jangan pula wanita-wanita yakni
mengolok-olok terhadap wanita-wanita lain karena ini menimbulkan
keretakkan hubungan antar mereka, apalagi boleh jadi mereka yakni
wanta-wanita yang diperolok-olok itu lebih baik dari yang mengolok-olok dan
janganlah kamu mengejek siapa pun – secara sembunyi-sembunyi – dengan
ucapan, perbuatan atau isyarat karena ejekaan itu akan menimpa diri kamu
sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang dinilai
buruk oleh yang kamu panggil – walau kamu menilainya benar dan indah –
baik kamu yang menciptakan gelarnya maupun orang lain. seburuk-buruk
panggilan ialah panglan kefasikan yakni panggilan buruk sesudah
Iman. Siapa yang bertaubat sesudah melakukan hal-hal buruk itu, maka
mereka adalah orang-orang yang menelusuri jalan lurus dan barang siapa yang
tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim dan mantap
kezalimannya dengan menzalimi orang lain serata dirinya sendiri.
Kata يَسْخَرْ yaskhar /
memperolok-olokkan yaitu menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan
menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan atau tingkah
laku.
Kata قَوْمٌ /
qaum biasa digunakan untuk menunjuk sekelompok manusia. Bahasa
mengguanakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena ayat di atas
menyebut pula secara khusus wanita. Memang wanita dapat saja masuk dalam
pengerttian qaum – bila ditinjau dari pengguanaan sekian banyak kata yang
menunjuk kepada laki-laki misalnya kata al-mu’minun dapat saja tercakup
di dalamnya al-mu’minat / wanita-wanita mukminat. Namun ayat di atas
mempertegas penyebutan kata nisaa/perempuan karena ejekan dan merumpi lebih
banyak terjadi di kalangan perempuan dibandingkan kalangan laki-laki.
Kata تَلْمِزُوا /
talmizu terambil dari kata al-lamz. Para ulama berbeda pendapat
dalam memaknai kata ini. Ibn ‘Asyur misalnya memahaminya dalam arti, ejekan
yang langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan
atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Ini adalah salah satu
bentuk kekurangajaran dan penganiayaan.
Firman-Nya : عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا
مِنْهُمْ / boleh jadi mereka yang diolok-olok
lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, mengisyaratkan tentang adanya
tolak ukur kemiliaan yang menjadi dasar penilaian Allah yang boleh jadi berbeda
dengan tolak ukur manusia secara umum. Memang banyak nilai-nilai yang dianggap
baik oleh sementara orang terhadap diri mereka atau orang lain, justru sangat
keliru. Kekeliruan itu mengantar mereka menghina dan melecehkan pihak lain.
Padahal jika mereka menggunakan dasar penilaian yang ditetapkan oleh Allah,
tentulah mereka tidak akan menghina atau mengejek.
Kata تَنَابَزُوا /tanabazu, Terambil dari kata an-nabz
yakni gelar buruk. At-tanabuz adalah saling memberi gelar buruk.
Larangan ini menggunakan bentuk kata yang mengandung makna timabal balik,
berbeda dengan larangan al-lamz pada penggalan sebelumnya. Ini bukan
saja karena at-tanabuz lebih banyak terjadi dari al-lamz, tetapi
juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan
memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengandung siapa yang tersinggung dengan
panggilan buruk itu, membalas dengan memaggil yang memanggilnya pula dengan
gelar buruk, sehingga terjadi tanabuz.
Perlu dicatat bahwa terdapat sekian
gelar yang secara lahiriah dapat dinilai gelar buruk, tetapi karena ia
sedemikian popular dan penyandangannya pun tidak lagi keberatan dengan gelar
itu, maka di sini, menyembut gelar tersebut dapat ditoleransi oleh agama.
Misalnya Abu hurairah yang nama aslinya adalah Abdurrahman ibn shakhr,
atau abu turab untuk sayidina ali bin abi thalib. Bahkan Al-A’raj
(si pincang) untuk perawi hadits kenamaan Abdurrahman Ibn Hurmuz, dan al-A’masy
(si rabun) bagi Sulaiman Ibn Mahran dan lain-lain.
Kata الِاسْمُ /
al-ism yang dimaksud oleh ayat ini bukan dalam arti nama, tetapi
sebutan. Dengan demikian ayat di atas bagaikan menyatakan: “Seburuk-buruk
sebutan adalah menyebut seseorang dangan sebutan yang mengandung makana
kefasikan setelah ia disifati dengan sifat keimanan.” Ini karena keimanan
bertentangan dengan kefasikan. Ada juga yang memahami kata al-ism dalam
arti tanda, dan jika demikian ayat ini berarti: “seburuk-buruk tanda
pengenalan yang disandangkan kepada seseorang setelah ia beriman adalah
memperkenalkanya dengan perbuatan dosa yang pernah dilakukannya.” Misalnya
dengan memperkenalkan seseorang dengan sebutan si pembobol bank atau pencuri
dan lain-lain.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Terjemah:
”Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang”
(Q.S. 49 Al-hujurat: 12).
Arti kosa
kata:
اجْتَنِبُوا
: jauhilah
الظَّنِّ : kecurigaan
إِثْمٌ
: dosa
تَجَسَّسُوا
: mencari-cari keburukan
وَلَا
يَغْتَبْ
: janganlah menggunjingkan
لَحْمَ
: daging
مَيْتًا
: mati
تَوَّابٌ
رَحِيمٌ :
Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang
(Asbab
Nuzul Ayat) – Dalam suatu riwayat dikemukakan
bahwa ayat ini (Q.S. 49 Al-hujurat: 12) turun berkenaan dengan Salman Al-Farisi
yang bila selesai makan, suka terus tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada
orang yang menggunjingkan perbuatannya. Maka turunlah ayat ini (Q.S. 49
Al-hujurat: 12) yang melarang seseorang mengumpat dan menceritakan keaiban
orang lain. (Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari ibnu Juraij).
(Penafsiran) – Ayat di atas masih merupakan
lanjutan tuntutan ayat yang lalu. Hanya di sini hal-hal buruk yang sifatnya
tersembunyi, karena itu panggilan mesra kepada orang-orang beriman diulangi
untuk kelima kalinya. Di sisi lain memanggil dengan panggilan buruk –
yang telah dilarang oleh ayat yang lalu – boleh jadi panggilan / gelar itu dilakukan
atas dasar dugaan yang tidak berdasar, karena itu ayat di atas menyatakan: hai
orang-orang yang beriman, jauhilah dengan upaya sungguh-sungguh banyak
dari dugaan yakni prasangka buruk terhadap manusia yang tidak memiliki
indikator memadai, seseungguhnya sebagian dugaan yakni yang tidak
memiliki indikator itu adalah dosa.
Selanjutnya karena tidak jarang
prasangka buruk mengandung upaya mencari tahu, maka ayat di atas melanjutkan
bahwa: Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain yang justru
ditutupi oleh pelakunya serta jangan juga melangah labih luas yakni sebagian
kamu menggunjing di atntara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah jika itu disodorkan kepada kamu, kamu telah merasa jijik
kepadanya dan akan menghindari memakan ia sama dengan memakan daging
saudara yang telah meninggal dunia dan bertawakalah kepada Allah yakni
hindari siksa-Nya di dunia dan di akhirat dengan melaksanakan perintahNya dan
menjauhi laranganNya sertaberaubatlah atas aneka kesalahan, sesungguhnya
Alah Maha Penerima taubat lagi maha Penyayang.
Kata اجْتَنِبُوا / Ijtanibu terambil dari kata Janb
yang berarti samping. Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan
dari jangkauan tangan. Dari sini kata tersebut diartikan janbi. Penambahan
huruf ta’ pada kata tersebut berfungsi penekanan yang menjadikan
kata ijtanibuu berarti bersungguh-sungguhlah. Upaya
sungguh-sungguh untuk menghindari prasangka buruk.
Kata كَثِيرًا /
katsiiron / banyak bukan berarti kebanyakan, sebagaimana dipahai
atau diterjemahkan sementara penerjemah. Tiga dari sepuluh adalah banyak, dari
sepuluh adalah kebanyakan. Jika demikian, bisa saja banyak dari dugaan
adalah dosa dan banyak yang bukan dosa. Yang bukan dosa adalah yang
indikatornya demikian jelas, sedang yang dosa adalah dugaan yang tidak memiliki
indikator yang cukup dan yang mengantar seseorang melangkah menuju sesuatu yang
diharamkan, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Termasuk juga dugaan
yang bukan dosa adalah rincian hukum-hukum keagamaan. Pada umumnya atau dengan
kata lain kebanyakan dari hukum-hukum tersebut berdasarkan kepada
argumentasi yang interpretasinya bersifat zbanniy / dugaan, dan tentu
saja apa yang berdasar dugaan hasilnya pun adalah dugaan.
Ayat di atas menegaskan bahwa
sebagian dugaan adalah dosa yakni dugaan yang tidak berdasar. Biasanya dugaan
yang tidak berdasar dan mengakibatkan dosa adalah dugaan buruk terhadap pihak
lain. Ini berarti ayat di atas melarang melakukan dugaan buruk yang tanpa
dasar, karena ia dapat menjerumuskan seseorang ke dalam dosa.
Dengan menghindari dugaan dan
prasangka buruk, anggota masyarakat akan hidup tenang dan tentram serta
produktif, karena mereka tidak akan ragu terhadap pihak lain dan tidak juga
akan tersalurkan energiya kepada hal-hal yang sia-sia. Tuntunan ini juga membentengi
setiap anggota masyarakat dari tuntutan terhadap hal-hal yang baru bersifat
prasangka.
Dengan demikaian ayat ini
mengukuhkan prinsip bahwa: Tersangka belum dinyatakan bersalah sebelum terbukti
kesalahannya, bahkan seseorang tidak dapat dituntut sebelum terbukti kebenaran
dugaan yang diharapkan kepadanya. Memang bisikan-bisikan yang terlintas di
dalam benak tentang sesuatu dapat ditoleransi, asal bisikan tersebut tidak
menjadi dugaan dan sangka buruk. Dalam konteks ini Rasul Saw berpesan:”Jika
kamu menduga (yakni terlintas dalam benakmu sesuatu yang buruk terhadap orang
lain) maka jangan lanjutkan dugaanmu dengan melangkah lebih jauh. (HR.
Ath-Thabarani).
Kata تَجَسَّسُوا / tajassasu terambil dari kata jassa.
Yakni upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi. Dari sini mata-mata dinamai
jaasuus. Imam Ghazali memahami larangan ini dalam arti, jangan tidak
membiarkan orang berbeda dalam kerahasiaannya. Yakni setiap orang berhak
menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain. Jika demikian jangan
berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu. Mencari-cara kesalahan orang
lain biasanya lahir dari bagian dugaan negatif terhadapnya, karena itu ia
disebutkan setelah larangan menduga.
Adapun tajasus yang berkaitan
dengan urusan pribadi seseorang dan hanya didorong untuk mengetahui keadaannya,
maka ini sangat terlarang. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ada seorang yang
bermaksud mengadukan tetangganya kepada polisi karena sering meminum minuman
keras. Namun ia dilarang oleh Uqbah – salah seorang sahabat Nabi Saw, yang
menyampaikan bahwa Rasul Saw, bersabda: “Siapa yang menutup aib saudaranya,
maka ia bagaikan menghidupkan seorang anak yang dikubur hidup-hidup”. (HR.
Abu Daud dan an-Nasa’I melalui al-laits Ibn sa’id).
Di sisi lain, Muawiyah putra Abu
Sufyan meyampaikan bahwa ia mendengar Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya jika
engkau mencari-cari kesalahan atau kekurangan orang lain, maka engkau telah
merusak atau hamper saja merusak mereka”. (HR. Abu Daud).
Kata يَغْتَبْ /
yaghtab terambil dari kata ghibah yang
berasal dari kata ghaib yakni tidak hadir. Ghibah adalah menyebut
orang lain yang tidak hadir di hadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak
disenangi oleh yang bersangkutan. Jika keburukan yang disebut itu tidak
disandang oleh yang bersangkutan, maka ia dinamai buhtan/ kebohongan besar.
Memang, pakar-pakar hukum
membenarkan ghhibah untuk sekian banyak alasan. Pertama, meminta
fatwa yakni seorang yang bertanya tentang hukum dengan menyebut kasus tertentu
dengan memberi contoh. Kedua, menyebut keburukan seseorang yang memang
tidak segan menampakkan keburukannya di hadapan umum. Ketiga, Menyampaikan
keburukan seseorang kepada yang berwenang dengan tujuan mencegah terjadinya
kemungkaran. Keempat, menyampaikan keburukan seseorang kepada siapa yang
sangat membutuhkan informasi tentang yang bersangkutan. Kelima, memperkenalkan
seseorang yang tidak dapat dikenal keculai dengan menyebut aib atau
kekurangannya.
FirmanNya : فَكَرِهْتُمُوهُ / maka kamu telah jiik kepadanya menggunakan
kata kerja masa lampau untuk menunjukan bahwa perasaan jijik itu adalah sesuatu
yang pasti dirasakan oleh setiap orang.
Dari redaksi di atas terdapat
kandungan tentang buruknya menggunjing. Pertama, pada gaya pertanyaan
yang bukan bertujuan meminta informasi, tetapi mengudang yang ditanya
membenarkan. Kedua, ayat ini melukiskan sesuatu yang pada hakikatnya
tidak di senangi menjadi disenangi. Ketiga, mempertanyakan kesenangan
tersebut kepada setiap orang. Keempat, daging yang dimakan bukan hanya
manusia saja melainkan saudaranya sendiri. Kelima, saudara itu dalam
keadaan mati yakni tidak dapat membela sendiri.
Kata تَوَّابٌ /at-tawab
sering kali diartikan penerima taubat. Tetapi makna ini belum
mencerminkan secara penuh kandunga kata tawab, walaupun tidak dapat
menilainya keliru.
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Terjemah:
“ Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. ” (Q.S. 49 Al-hujurat: 13).
Arti kosa
kata:
خَلَقْنَا
: Kami menciptakan
ذَكَرٍ
: seorang laki-laki
أُنْثَى
: seorang perempuan
شُعُوبًا : berbangsa – bangsa
قَبَائِلَ : bersuku-suku
تَعَارَفُ : mengenal
أَكْرَمَ : paling mulia
عَلِيمٌ
خَبِيرٌ
: Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal
(Asbab
Nuzul Ayat)
– Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini (Q.S. 49 Al-hujurat: 13) turun
berkenaan dengan Abu Hind yang akan dikainkan oleh Rasululah kepada seorang
wanita bani Bayadlah. Bani Bayadlah berkata: “Wahai rasulullah, pantaskah
kalau kami mengawinkan putri-putri kami kepada bekas budak-budak kami? Ayat
ini (Q.S. 49 Al-hujurat: 13) turun sebagai penjelasan bahwa dalam Islam tidak
ada perbedaan antara bekas budak dan orang merdeka. (Diriwayatkan oleh Ibnu
‘Asakir di dalam Kitab Mubhamaat-nya yang ditulis tangan oleh ibnu Busykuway,
yang bersumber dari Abu Bakr bin Abi dawud di dalam Tafsirnya).
Dalam suatu riwayat dikemukakan,
ketika fathu makkah (penaklukkan kota makkah), Bilal naik ke atas ka’bah
untuk mengumandangkan adzan. Beberapa orang berkata: ”Apakah pantas budak
hitam ini adzan di atas ka’bah?” Maka berkatalah yang lainnya: “Sekiranya
Allah membenci orang ini, pasti Dia akan menggantinya.” Ayat ini (Q.S. 49
Al-hujurat: 13) turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada
diskriminasi, yang paling mulia adalah yang paling bertakwa. (Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi hatim yang bersumber dari Ibnu Abi Mulaikah).
Apapun sabab nuzul-nya, yang
jelas ayat di atas menegaskan kesatuan asal usul manusia dengan menunjukan
kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak wajar seseorang berbangga dan
merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan saja antar suku bangsa, suku,
atau warna kulit dengan selainnya, tetapi antara jenis kelamin mereka. Karena
kalaulah seandainya ada yang berkata bahwa Hawwa yang perempuan itu bersumber
dari tulang rusuk Adam, sedang Adam adalah laki-laki, dan sumber sesuatu lebih
tinggi derajatnya dari cabangnya, sekali lagi seandainya ada yang berkata
demikian maka itu hanya khusus terhadap Adam dan Hawwa, tidak terhadap semua
manusia karena manisia selain mereka berdua – kecuali ’Isa as – lahir akibat
percampuran laki-laki dan perempuan.
(Penafsiran) – Setelah memberi petunjuk tata krama
pergaulan dengan sesama muslim, ayat di atas menjelaskan tetang prinsip dasar
hubungan antar manusia karena itu ayat diatas tidak menggunakan panggilan
orang-orang beriman, tetapi kepada jenis manusia. Allah berfirman: Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan yakni Adam dan Hawwa, atau dari sperma (benih laki-laki) dan ovum
(indug telur perempuan) serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa juga
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal yang mengantar kamu untuk
bantu-membatu serta saling melengkapi, sesungguhnya yang paling mulia di antara
kamu disisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
maha mengetahui lagi maha mengenal sehingga tidak ada sesuatu pun yang
tersembunyi bagi-Nya, walau detak detk jantung dan niat seseorang.
Penggalan pertama ayat di atas
sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
adalah pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusia derajat kemanusiaannya
sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan yang lain.
Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara lelaki dan perempuan
karena semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pengantar
tersebut mengantar pada kesimpulan yang disebut oleh penggalan terakhir ayat
ini yakni ”sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah
yang paling bertaqwa.” karena itu berusahalah untuk meningkatkan ketaqwaan
agar menjadi yang termulia di sisi Allah.
Dalam konteks ini sewaktu haji
wada’ (perpisahan), Nabi Saw berpesan antara lain: ”wahai seluruh
manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan orang
arab atas non arab, tibak juga non arab atas orang arab, atau orang (berkulit)
hitam atas yang (berkulit) merah (yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali
dengan taqwa, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah adalah yang paling
bertaqwa.” (HR. Al-Baihaqi melalui Jabir Ibn Abdillah).
Kata شُعُوبًا /syu’ub
adalah bentuk jamak dari kata sya’b. kata ini diguakan untuk
menunjuk kumpulan dari sekian qabilah yang biasa diterjemahkan suku yang
merujuk kepada satu kakek. Qabilah suku pun terdiri dari sekian banyak
kelompok keluarga yang dinamai imarah, dan yang sekian banyak kelompok
yang dinamai bathin. Di bawah bathin ada sekian fakhdz hingga
akhirnya sampai pada himpunan keluarga terkecil.
Kata ِتَعَارَفُوا/ ta’aarafu terambil dari kata ’arafa
yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan ayat ini
mengandung makna timbal balik, dengan demikian ia berarti saling mengenal.
Kata أَكْرَمَكُمْ /akramakum
terambil dari kata karuma yang pada dasarnya berarti yang baik
dan istimewa sesuai objeknya. Manusia yang baik dan istimewa adalah yang
memiliki akhlak yang baikterhadap Allah, dan terhadap sesame makhluk.
Comments
Post a Comment
Jangan lupa komentar yaaa !!!