PERIODE ATBA AL-FUQOHA




PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbicara tentang permasalahan tarikh tasyri’ tidak akan lepas dari faktor yudikatif, eksekutif dan kondisi masyarakat yang menjadi aktor dalam berkembang atau menyusutnya sejarah tarikh tasyri’. Setiap pergantian generasi selalu saja ada fenomena-fenomena yang menarik dari berkembangnya tarikh tasyri’ dimulai dari masa Nabi sampai sekarang ini.
Pada masa Nabi tasyri’ langsung diterima dari Tuhan yang menciptakan syari’at itu sendiri, dan perkembangan yang dilakukan Nabi selalu terawasi. Jadi tidak diragukan lagi tentang kebenarannya, posisi nabi sebagai yudikatif dan eksekutif selalu menjadi acuan bagi masyarkat Arab pada masa itu.
Perkembangan tasyri’ pada masa sahabat tidak begitu drastis. perubahan yang terjadi hanya pada pola aplikasi saja, dan pada masa ini pendapat para sahabat terkait dengan tasyri’ masih bisa disatukan. Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa embrio pertama eksisnya perbedaan mazhab itu adalah pada masa para sahabat setelah Nabi wafat.
Perkembangan yang terjadi pada ulama-ulama Hijaz menjadi ahlul Hadist dan Ra’yi adalah pengaruh dari pemikiran Ali, Ibnu Mas’ud, dan Umar bin Khatab yang sangat terkenal banyak menggunakan ra’yu dalam menetapkan hukum suatu masalah. Dalam hal ini di kalangan para tabi’in banyak yang terpengaruh oleh cara istimbat hukum para sahabat tersebut, para tabi’in di Iraq terpengaruh oleh metode ijtihad yang digunakan oleh  Ali sedangkan ulama Hijaz  dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Abbas yang tidak menggunakan ra’yu.
Timbulnya mazhab sunny adalah perkembangn dari ulama ahlul Ra’yu, termasuk juga ulama mazhab yaitu, mazhab Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbal.
Perbedaan pendapat dalam penerapan hukum-hukum syari’ah pada masa ini sengan berbeda, padahal kita ketahui bahwa Imam Safi’i adalah muridnya Imam Malik, tetapi kenapa dalam pemahaman tentang hukumnya berbeda, yang menjadi tanda tanya apakah di balik perbedaan tersebut, apakah para imam ingin menciptakan sekte-sekte sendiri, apakah perbedaan yang terjadi itu karena dilatar belakangi oleh tempat mereka bermukim seperti halnya Imam Safi’i dengan background Iraq dan Mesir sehingga hadirnya qaul qadim dan qaul jadidnya, Imam Hanifah yang dipengruhi oleh daerah Persia, Imam Malik yang dilatar belakangi oleh negeri Hijaz, dan Imam Hambali yang berlatar belakang sebagai imam di Bagdad, atau ada faktor-faktor yang lainnya.[1]
Dilatar belakangi oleh hal tersebut, maka kami pemekalah akan mencoba mengkaji masalah tersebut, dengan makalah kami yang berjudul Periode Atba’ Al-Fuqaha/Periode Mazhab. Mudah-mudahan makalah kami dapat memberi sedikit pandangan kepada para pembaca terkait tentang perkembangang tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab.perkembangang tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab.
PEMBAHASAN
A.    Faktor-faktor perkembangan tasyri’
Berdasarkan sejarah Islam, bahwa munculnya mazhab-mazhab fiqh pada periode ini merupakan puncak dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya mazhab-mazhab fiqh itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum Romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.
Fenomena perkembangan tasyri pada periode ini, seperti tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa tasyri’ memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.[2]
Seperti contoh hukum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu munculnya mazhab dalam sejarah terlihat adanya pemikiran fiqh dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul mazhab-mazhab fiqh pada periode ini pendapat tersebut, sehingga munculnya mazhab-mazhab yang dianut.
Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya mazhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong,  diantaranya.[3]
1)      Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum Islam menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
2)      Munculnya ulama-ulama besar pendiri mazhab-mazhab fiqh berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat study tentang fiqih, yang diberi nama al-Madzhab atau al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa Barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
3)      Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama mazhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah (khalifah) merasa perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya.
4)      Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal tentang masalah politik seperti pengangkatan khalifah-khalifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai mazhab hukum Islam.


B.     Mazhab-Mazhab Fiqh (dasar pemikiran dan perkembangannya).

1.      Mazhab Hanafi
Imam Hanafi atau nama lainnya disebut Abu Hanifah, yang memiliki nama lengkapnya adalah al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada Tahun 80 H, artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman kekuasaan Abdul Malik ibn Marwan. Beliau meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun. [4]
Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman Abbasyiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh lima kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena di antara putranya ada yang bernama Hanifah. Selain itu, menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena beliau begitu taat beribadah kepada Allah, yaitu berasal dari bahasa Arab "haniif yang artinya condong atau cenderung kepada yang benar. Menurut riwayat lain, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta.
Pada awalnya Imam Hanafi (Abu hanifah) adalah seorang pedagang, atas anjuran al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran Irak (ra’yu). Semua ilmu yang di pelajari bertalian dengan keagamaan. Mula-mula beliau mempelajari hukum agama, kemudian ilmu kalam. Akan tetapi, difokuskan kepada masalah fiqh saja, tanpa mengecilkan arti ilmu yang lain, dan Abu Hanifah sendiri memang sangat tertarik mempelajari ilmu fiqih yang merangkum berbagai aspek kehidupan. Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Beliau banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah, diantaranya:
Ø  Bahwa perempuan boleh jadi hakim di pengadilan yang tugas khususnya menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya karena perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan adalah qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hukum perempuan sebagai far’i.
Ø  Abu Hanifah dan ulama Kufah berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dua rakaat sebagai mana shalat ’id tidak dilakukan dua kali ruku’ dalam satu rakaat.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khalifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antara kedua masa tersebut.
Mazhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
Murid Imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah: Imam Abu Yusuf al-An sharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dan lain-lain.
Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, di antaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, dan lain-lain.
Sumber-sumber hukum mazhab Hanafi:
1)      al-Qur’an, sunnah dan ijma’
Bagi mazhab Hanafi al-Qur’an, sunnah dan ijma’ merupakan sumber hukum yang terpenting, jika hukum tersebut tidak terdapat di dalam al-Qur’an maka merujuk ke hadis dan jika tidak terdapat di dalam hadis maka merujuk ke ijma’. Terkait dengan sunnah, Imam Hanafi hanya menggunakan hadis yang shahih dan masyhur.
Pendapat para sahabat, Imam Hanafi hanya menggunakan pendapat yang memadai permasalahan pada masa itu, dalam menetapkan pandangan ini sebagai prinsip penting mazhab Hanafi.
2)      Qiyas (Deduksi Analogis)
Konsep yang di utarakan oleh Hanifah bahwa beliau tidak harus menerima rumusan hukum dari para tabi’in atau dari muridnya sahabat, dia memandang bahwa dirinya setara dengan para tabi’in dan melakukan atau menetapkan hukum dengan qiyasnya sendiri.[5][
3)      Istihsan (Preperensi)
Istihsan sederhananya adalah satu bukti yang lebih disukai dari pada bukti lainnya karena ia tampak lebih sesuai dengan situasinya, walupun bukti yang dugunakan ini lebih lemah dari pada bukti lain.
4)      Urf (Tradisi Lokal)
Tradisi lokal diberi bobot hukum dalam wilayah di mana tidak terdapat tradisi Islam yang mengikat, melalui penerapan prinsip ini tradisi-tradisi yang beragam dalam budaya yang berbeda di dalam dunia Islam menjadi sumber hukum.
2.      Mazhab Maliki
Nama lengkap pendiri mazhab Maliki adalah Malik bin Annas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 H (721 M) di Madinah pada perkembangan selanjutnya beliau dikenal dengan sebutan Imam Malik. Beliau wafat pada tahun 179 H, hanya berbeda 29 tahun dengan Abu Hanifah, walaupun pada zaman yang sama, tetapi tempatnya yang berbeda.
Pada waktu beliau masih kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan ini tidak menghalangi ia untuk menuntut ilmu fiqh kepada Alkamah bin Alkamah, di samping itu dia juga menuntut ilmu nahwu, syair dan juga menghafal al-Qur,an, beliau juga menuntut ilmu kepada seorang ulama yang dikenal sangat cerdas di antara para ulama lainnya yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat mengagumi gurunya tersebut, karena kecerdasan dan kealimanya.
Imam Malik belajar kepada ulama-ulama Madinah, dan yang menjadi guru pertamanya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’ Maulana ibn Umar, Imam Malik diakui oleh ulama di Madinah sebagai ahli hadis.[6]
Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta’, sebuah kitab hadis bergaya fiqh. Inilah kitab tertua hadis dan fiqh tertua yang masih kita jumpai. Dia seorang imam dalam ilmu hadis dan fiqih sekaligus. Dalam fatwa hukumnya ia bersandar pada kitab Allah kemudian pada as-Sunnah. Tetapi beliau mendahulukan amalan penduduk madinah dari pada hadis ahad, dalam ini disebabkan karena beliau berpendirian pada penduduk madinah itu mewarisi dari sahabat.
Setelah as-Sunnah, Malik kembali ke qiyas. Satu hal yang tidak diragukan lagi bahwa persoalan-persoalan dibina atas dasar mashutih mursalah.
Kitab al-Mudawwanah sebagai dasar fiqih mazhab Maliki dan sudah dicetak dua kali di Mesir dan tersebar luas disana, demikian pula kitab al-Muwatta’. Pembuatan undang-undang di Mesir sudah memetik sebagian hukum dari mazhab Maliki untuk menjadi standar mahkamah sejarah Mesir.[7]
Sumber-sumber hukum mazhab Maliki
Dalam menentukan hukum-hukum, Imam Maliki memeberi runtutan pengambilan sumber hukum, adapun sumber-sumber hukum yang digunakan Imam Malik antara lain:
1.      Al-Qur’an
2.      Hadist (yang berkualitas shahih dan masyhur)
3.      Ijma’ (amalan ulama Madinah ketika itu)
4.      Qiyas (analogis)
5.      Maslahah mursalah (kepentingan umum)
Konsep maslahah mursalah yang di gunakan oleh Imam Malik di dasari oleh kondisi masyarkat Madinah, walaupun banyak para ulama yang tidak setuju dengan penggunaan metode maslahah mursalah dikarenakan tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap metode tersebut. Imam Malik lebih banyak menggunakan ijma’ dalam menentukan sebuah hukum, khusunya hukum-hukum baru yang tidak terdapat didalam al-Qur’an dan hadis.
3.      Mazhab Syafi’i
Mazhab ini dibangun oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi’i, beliau di juluki Imam Syafi’i karena kakeknya bernama Syafi’i, Imam Syafi’i adalah keturunan Bani Hasyim yang memiliki nasab kepada Rasul, beliau lahir di Ghazah pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H pada saat beliau berumur 52 tahun.
Syafi’i pernah belajar ilmu fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-Haram dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah sampai matang dalam ilmu fiqih. Al-Syafi’i mulai melakukan kajian hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodelogi kajian hukum yang cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran Madinah maupun Kuffah. Dalam kontek fiqihnya Syafi’i mengemukakan pemikiran bahwa hukum Islam bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijma’ dan apabila ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum yang jelas, beliau mempelajari perkataan-perkataan sahabat dan baru yang terakhir melakukan qiyas dan istishab.[8]
Di antara buah pena/karya-karya Imam Syafi’i, yaitu :
Ø  Ar-Risalah: merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun.
Ø  Al-Umm: isinya tentang berbagai macam masalah fiqih berdasarkan pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam kitab ushul fiqih.
Sumber-sumber hukum mazhab Syafi’i
Pengetahuan-pengetahuan untuk menggali hukum diperlukan keilmuan tentang dalil-dalil yang mengandung permasalahan perintah dan larangan. Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas tertentu sehingga tersusun dengan baik. Asas-asas yang dimaksud misalnya asas tasyri’. Pengetahuan tentang dalil tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan daya fikir dan daya kepahaman dalam menggali hukum tersebut, begitu juga yang dilakukan oleh Imam Syafi’i, dalam menggali hukum syari’ah, Imam Syafi’i hanya menggunakan empat macam, hal ini di utarakan Imam Syafi’i dalam kitab ar-Risalah:
a)      Al-Qur’an
b)      Al-Hadist
c)      Ijma’
d)     Ra’yu (Qiyas)
1)      Al-Qur’an
Dalam menggali hukum di dalam al-Qur’an Imam Syafi’i lebih menekankan kepada keilmuan bahasa sebagi mana yang telah beliau utarakan bahwa al-Qur’an  diturunkan dengan bahasa Arab dengan tujuan agar mudah dipelajari dan dipahami tidak mungkin terdapat lafadz-lafadz ‘ajam. Imam Syafi’i selalu mencantumkan ayat-ayat al-Qur’an setiap kali beliau berfatwa, namun Syafi’i menganggap bahwa al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari al-Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat[9][\
2)      Al-Sunnah
Untuk hadis Nabi Imam Syafi’i hanya menggunakan hadis yang bersifat mutawatir dan ahad, sedangkan untuk hadis yang dhaif hanya digunakan untuk li afdhalil ‘amal, dalam menerima hadis ahad mazhab Syafi’i  mnsyaratkan[10]
1)      Perawinya tsiqah dan terkenal shidiq
2)      Perawinya cerdik dan mahami hadis yang diriwayatkannya
3)      Perawinya dengan riwayat bi lafdhi bukan dengan riwayat bil makn.
4)      Perawinya tidak mnyalahi ahl-Ilmi
Kalau kita perhatikan, persyaratan yang di syaratkan oleh Syafi’i hanya untuk keshahihan suatu hadis, hadis ahad yang diterimanya sebatas kalau hadis tersebut sahih dan bersambung.
Faktor yang melatarbelakangi Syafi’i lebih teliti dalam menerima hadis karena sesudah Nabi wafat banyak dari kalangan aliran politik yang membuat hadis-hadis palsu untuk menguatkan posisinya sebagai pemimpin. Dan hadis pun bisa diatur dan diubah sesuai dengan keinginan pemimpin.
3)      Ijma’
Ijma’ yang dimaksud oleh Syafi’i adalah ijma’ para sahabat, dalam arti perkara yang di putuskan oleh para sahabat dan di sepakati, maka itu menjadi sumber hukum yang ketiga jika tidak ada didalam nash baik al-Qur’an maupun hadis, contoh ijma’ yaitu shalat terawih 20 rakaat. Jika terjadi perbedaan di antara para sahabat, maka Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah.
Ijma’ menurut para ulama menempati posisi ketiga setelah al-Qur’an dan hadis, begitu juga dengan Syafi’i, konsep ijma’ yang di tawarkan oleh Syafi’i mengharuskan merujuk kepada dalil yang ada yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah yang memiliki hubungan kepada qiyas, alasan yang di utarakan oleh Syafi’i kenapa ijma’ harus disandarkan kepada nash:
·         Bila ijma’ tidak dikaitkan kepada dalil maka ijma’ tersebut tidak akan sampai kepada kebenaran.
·         Bahwa para sahabat tidak lebih benar dari pada Nabi, sementara Nabi tidak pernah menetapkan hukum tanpa mengkaitkan dengan dalil-dalil al-Qur’an.
·         Pendapat agama tanpa dikaitkan kepada dalil maka itu adalah salah besar.
·         Pandapat yang tidak dikaitkan dengan dalil maka tidak diketahui hukum syara’ nya.
4)      Qiyas
Qiyas menurut para ahli hukum Islam berarti penalaran analogis, yaitu pengambilan kesimpulan dari prinsip tertentu, perbandingan hukum permasalahan yang baru dibandingkan dengan hukum yang lama. Imam Syafi’i sangat membatasi pemikiran analogis, qiyas yang dilakukan oleh Syafi’i tidak bisa independent karena semua yang diutarakan oleh Syafi’i dikaitkan dengan nash al-Qur’an dan sunnah.

4.      Mazhab Hambali
Pendiri Mazhab Hambali ialah Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H dan wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrah. Beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab musnadnya.
Sebagaimana diketahui bahwa Imam Ahmad dilahirkan di Baghdad, kemudian melakukan perjalanan ke berbagai daerah. Daerah yang pernah dikunjungi adalah Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Syam, dan Yaman. Perjalanan ini dilakukan untuk belajar dan mengumpulkan hadis, karena perjalanan yang begitu luas dalam mengumpulkan hadis Imam Ahmad bin Hanbal menurut beberapa ulama dikenal dengan ahli hadist bukan imam Fiqh.
Akan tetapi Imam Ahmad memiliki salah satu guru dalam belajar ilmu fiqih yang berkesan yaitu Imam syafi’i yang dijumpainya di Baghdad. Ia pun menjadi murid Imam syafi’i yang terpenting bahkan menjadi seorang mujtahid mandiri. Orang yang belajar hadis akan mengenalnya seperti halnya orang yang belajar ilmu fiqh. Karena belajar kepada Imam Syafi’i, para pengikut Imam Syafi’i menilai bahwa Ahmad Ibn Hanbal adalah pengikut Imam Syafi’i, meskipun dalam kasus tertentu ia berijtihad sendiri. Selain Imam Syafi’i yang dikenal menjadi guru Imam Ahmad adalah Abu Yusuf yaitu murid dan penerus Mazhab Hanafi. Akan tetapi dalam proses tasyri’ Imam Hambali banyak Terpengaruh oleh Imam Syafi’i, yang masih nelakukan pendekatan tekstual, tidak seperti Imam Hanafi yang menggunakan ra’yu dan qiyas dalam mengistinbathkan hukum.
Sumber-Sumber Hukum Madzhab Hambali
Pendapat-pendapat Ahmad ibn Hanbal dibangun atas lima dasar yaitu sebagai berikut[11]
1)      Al-Nushush dari al-Qur’an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dalam al-Qur’an dan sunnah, ia berpendapat sesuai dengan makna yang tersurat , makna yang tersiratnya ia abaikan.
2)      Apabila tidak didapatkan dalam al-Qur’an dan sunnah ia menukil fatwa sahabat memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
3)      Apabila fatwa sahabat berbeda-beda ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
4)      Imam Ahmad mengambil hadis mursal dan dhaif sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya. Dimaksud dengan dhaif disini bukan dhaif yang bathil dan yang mungkar, tetapi dhaif yang tergolong shahih atau hasan. Dalam pandangan Imam Ahmad, hadis itu tidak terbagi atas shahih, hasan dan dhaif, tetapi terbagi atas dua yaitu shahih dan dhaif saja. Pembagian hadis menjadi shahih, hasan dan dhaif dipopulerkan oleh al-Tirmidzi (209-279 H). Karenanya  tidak mengherankan kalau di masa Imam Ahmad pembagian hadis masih kepada shahih dan dhaif. Hadis dhaif ada bertingkat-tingkat. Yang dimaksud dhaif tadi adalah pada tingkat yang paling atas. Menggunakan hadis semacam ini lebih utama daripada menggunakan qiyas.
5)      Qiyas adalah digunakan dalam keadaan darurat yaitu bila tidak ada senjata yang disebut sebelumnya.

C.     Pengaruh pembukuan usul fiqh dan fiqh terhadap perkembangan tasyri’
Pembukuan ushul fiqh dilakukan pada masa Imam Mujtahid/Imam Mazhab (Para Imam Mujtahid), yang terdiri dari:
1)      Imam Abu Hanifah (80—150H)
2)      Malik bin Anas (93-179 H)
3)      Imam Syafi’I (150-204 H)
4)      Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah perkembangan wilayah Islam yang makin luas, yang berimplikasi bagi munculnya berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban hukum syara. Untuk itu para ulama sangat membutuhkan kaidah-kaidah yang standar dan sudah terbukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.

Para pengikut mazhab masing-masing mengklaim gurunya (pendiri mazhabnya) sebagai penyusun pertama ushul fiqh, yaitu:
a)      Golongan Hanafiyah mengklaim Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani sebagai orang pertama menyusun ilmu ushul fiqh alasannya, Abu Hanifah adalah orang pertama yang menjelaskan metode istinbath, sedangkan Abu Yusuf menyusun tulisan ushul fiqh. Demikian pula Muhammad bin Hasan menyusun kitab ushul fiqh sebelum Syafi’i.
b)      Golongan Malikiyah juga mengklaim Imam Malik sebagai orang pertama berbicara ilmu ushul fiqh. Tapi mereka tidak mengklaim Imam Malik sebagai orang pertama menyusun kitab ushul fiqh.
c)      Syi’ah Imamiyah juga mengklaim Muhammad Baqir ibn Ali ibnu Zainal Abidin kemudianm diteruskan putranya Ja’far Shodiq,
d)     Golongan Syafi’iyah juga mengklaim Imam Syafi’i sebagai orang pertama menyusun kitab ushul fiqh dengan nama ar-Risalah.
Klaim Hanafiyah dibantah Ali Abdul Raziq, bahwa Abu Yusuf dan asy-Syabani menyusun ushul fiqh sangat cenderung untuk mendukung metode istihsan gurunya yang sangat ditentang ahli hadis.
Orang yang menyusun ilmu ushul fiqh secara lengkap dan komprehensif dan tidak sektarian adalah Imam Syafi’i dengan karya ar-Risalah.
Klaim Malikiyah wajar, namun harus dicatat, bahwa pembahasan ushul fiqh dengan metodologi ushul juga sudah terjadi di masa sahabat dan tabi’in, Jadi bukan Imam Malik yang pertama membicarakan ushul fiqh.
Imam Syafii dianggap sebagai ulama pertama menyusun ilmu ushul fiqh, karena beliau secara komprehensif telah merumuskan kaidah-kaidah fiqiyyah bagi setiap bab dalam bab-bab fiqh, menganalisisnya serta mengaplikasikan kaedah-kaedah itu atas masalah furu’.
Imam Syafii dalam ar-Risalah berhasil merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong ulama untuk mengistimbath hukum dari sumber-sumber syar’i, tanpa terikat pendapat seorang faqih (ulama) tertentu, sehingga ushul fiqhnya betul-betul independen dan sempurna.
Jalaluddin al-Suyuthi berkata, “Disepakati bahwa asy-Syafii adalah peletak batu pertama ilmu ushul fiqh yang lengkap dan independen. Dia orang pertama yang menulis ilmunya secara tersendiri. Adapun Malik dalam al-Muwattha hanya menunjukkan sebagian kaedah-kaedah, demikian pula Abu Yusuf dan Muhammad Hasan Syaibani.

D. Pengaruh pembukuan hadits terhadap tasri’
Setelah kita ketahui tetang perkembangan tasyri’ adalah sesuatu yang telah memaparkan segala macam peristiwa yang behubungan dengan perumusan dan pentapan hukum islam baik waktu, tempat terjadinya, dan tokoh-tokohnya, oleh karena itu maka pengaruh pentatwinan sunnah dalam perkembangan tasyri’ adalah:
a.    Munculnya madzhab- mazahab fiqigh
b.    Banyaknya fuqaha’ tabiin yang mengumpulkan hadis ,fatwa sahabat kemudian mempelajarinya dan mengembangkannya
c.    mempermudah melakukan ijtihad
d.    Menanbah kommetmen untuk menjalankan hukum Islam secara mantap karena berdasarkah pada ajaran Sunnah yang sudah mashur perowi hadisnya.
e.    Dapat mengetahui perkembangan pembukuan hadis dan perowinya serta bermanfaat terhadap sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam
f.    Dapat menambah cakrawala pemikiran tentang sejarah pentatwinan sunnah serta bermanfaat untuk perumusan dan penetapan hukum Islam
g.    Dapat menguragi dan atau menghilangkah Fanatisme madhab. Dan menambah kuat dalam berijtihad.  






PENUTUP
A.    Kesimpulan
Munculnya mazhab-mazhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum Romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis. Munculnya mazhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul mazhab-mazhab fiqih pada periode ini.
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah perkembangan wilayah Islam yang makin luas, yang berimplikasi bagi munculnya berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban hukum syara’. Untuk itu para ulama sangat membutuhkan kaidah-kaidah yang standar dan sudah terbukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Para pengikut mazhab masing-masing mengklaim gurunya (pendiri mazhabnya) sebagai penyusun pertama ushul fiqh, namun Jalaluddin al-Suyuthi berkata, “Disepakati bahwa asy-Syafii adalah peletak batu pertama ilmu ushul fiqh yang lengkap dan independen. Dia orang pertama yang menulis ilmunya secara tersendiri. Adapun Malik dalam al-Muwattha hanya menunjukkan sebagian kaedah-kaedah, demikian pula Abu Yusuf dan Muhammad Hasan Syaibani.
B.     Saran
Dengan selesainya makalah ini kami sadar bahwasanya makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar di kemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi. Harapan kami makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai salah satu periodisasi yang ada dalam sejarah tasyri’.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ø  Al-Mansur, Asep Saifuddin, Kedudukan Mazhab dalam Syari’at Islam,      Jakarta: Pustaka Al-Hhsna, 1984.
Ø  Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam, Islamabat: Risalah Bush, 1995.
Ø  Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Ø  Khallaf, Abdul Wahhab, Tarikh Tasyri’ Islam, Solo: Ramadhani, 1991.
Ø  Mahjuddin, Ilmu Fiqih, Jember: GBI Pasuruan, 1991.
Ø  Philip, Ameanah Bilah, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh. Bandung: Nusa           Media, 2005.
Ø  Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Raja Grafindo  Persada, 1996.
Ø  Syafi’i, Rahmat, Usul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Ø  Zuhri, Muh, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Ø  https://plus.google.com/107979224564185189250/posts/89Y8fhEyfvB




[1] Asep Saifuddin al-Mansur, Kedudukan Mazhab dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984), hal. 40.
[2] Mun’im. A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, (Islamabat: Risalah Bush, 1995), hal. 76.
[3] Mahjuddin, Ilmu Fiqih, (Jember: GBI Pasuruan, 1991), hal. 111.
[4] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 188.
[5] Ameanah Bilah Philip, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh. (Bandung: Nusa Media, 2005), hal. 88.
[6] Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 105.
[7] Abdul Wahhab Khallaf, Tarikh Tasyri’ Islam, (Solo: Ramadhani, 1991), hal. 89.
[8] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 149.
[9] Rahmat Syafi’i, Usul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 52.
[10] Ibid, hal. 53.
[11] Muh. Zuhri, Hukum Islam. . . , hal. 123.

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Ilmu Hadits Riwayah Dan Dirayah

Pengalaman tes di Bank Mandiri

Pidato Bahasa Inggris dan terjemahan tentang Reading is a window to the world