Hukum Pernikahan Hamil Diluar Nikah
HUKUM PERNIKAHAN HAMIL DILUAR NIKAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan sebagai
bentuk sakral suami istri dalam hidup suatu rumah tangga yang menciptakan
kehidupan yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Selain itu membina sebuah mahligai
rumah tangga atau hidup berkeluarga merupakan perintah agama bagi setiap muslim
dan muslimah. Kehidupan dan peradapan manusia tidak akan berlanjut tanpa adanya
kesenambungan perkawinan dari setiap generasi manusia. Karena itu Rasulullah
saw menganjurkan kepada umatnya yang telah mampu untuk menikah :
“Perkawinan adalah sunnahku, siapa saja yang benci
terhadap sunnahku, maka mereka bukan termasuk umatku”(HR. Bukhari Muslim)
Perkawinan telah di
atur secara jelas oleh ketentuan – ketentuan hukum Islam yang digali dan
sumber-sumbernya baik dari Alquran, As sunnah dan hasil ijtigad para ulama. Bagi
seorang gadis tentu tidak akan hamil tanpa didahului dengan perkawinan yang
dengan seorang laki-laki. Namun yang menjadi persoalan ketika terjadi
kecelakaan atau seorang wanita hamil yang terjadi di luar perkawinan yang sah.
Ini bisa dikatakan sebagai perzinaan yang di dalam nash telah jelas
keharamannya. Akibatnya, dengan berbagai pertimbangan, para pihak mencoba untuk
menutup-nitupinya,dengan melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang
menghamilinya, dan seandainya laki-laki tersebut yang lari dari bertanggung
jawab, maka dicari laki-laki lain yang bersedia menikah dengan perempuan ini.
Para ulama berbeda
pendapat tentang perkawinan yang terjadi terhadap wanita yang sedang hamil
akibat zina. Dan juga status anak dalam perkawinan. Tentu yang menjadi
pertanyaan tentang persoalan ini menyangkut kebolehan atau keharaman terjadinya
perkawinan terhadap wanita yang hamil di luar nikah menurut syariat Islam.
Maka berangkat dari persoalan ini, maka pemakalah akan
membahas tentang persoalan Perkawinan Wanita Hamil.
B.
Rumusan Masalah
1.
Perkawinan Hamil Diluar
Nikah Dalam Perspektif Islam
2.
Hukum Perkawinan Dengan Wanita Yang Hamil Di Luar Nikah.
3.
Pendapat Beberapa Ulama’ Dan KHI Tentang Perkawinan Hamil Diluar Nikah
4. Status Nasab
Anak Diluar Nikah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Perkawinan Hamil Diluar Nikah
Yang dimaksud dengan “Perkawinan
Hamil Diluar Nikah ” disini ialah kawin
dengan seorang wanita yang hamil di luar nikah, baik dikawini oleh laki-laki
yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang menghamilinya[1][1]. Fenomena yang menjamur di kalangan muda-mudi saat ini, yang sulit terelakkan
lagi adalah perzinaan, sebelum mendapat label sah sebagai pasangan suami istri.
Hal ini sudah dianggap biasa di tengah-tengah masyarakat kita. Si wanita dengan
menahan malu telah memiliki isi dalam perutnya.
B.
Pendapat Fuqaha’
Hukum perkawinan dengan
wanita yang hamil diluar nikah, para ulama berbeda pendapat, sebagai berikut :
1.
Ulama Syafi’iah
berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik yang menikahi
itu laki-laki yang menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya. Alasanya
karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan
untuk dinikahi. Mereka juga berpendapat karena akad nikah yang dilakukan itu
hukumnya sah, wanita yang dinikahi tersebut halal untuk disetubuhi walaupun ia
dalam keadaan hamil.[2][2]
2.
Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil bila yang menikahinya
laki-laki yang menghamilinya, alasannya wanita hamil akibat zina tidak termasuk
kedalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi sebagaimana yang terdapat
dalam Q.S. An-Nisa:22,23,24.
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat
bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan
orang lain (tidak ada masa ‘iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena
tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma
suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya
itu (anak di luar nikah).
Dengan demikian, status anak itu adalah sebagai anak zina, bila pria yang
mengawini ibunya itu bukan pria yang menghamilinya. Namun bila pria yang
mengawini ibunya itu, pria yang menghamilinya, maka terjadi perbedaan pendapat:
a.
Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya
dikawini setelah usia kandungannya berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4
bulan, maka bayi tersebut adalah anak suaminya yang sah[3][3].
b.
Bayi itu termasuk anak
zina, karena anak itu adalah anak di luar nikah, walaupun dilihat dari segi
bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena hasil dari sperma dan ovum bapak
dari ibunya itu.
3.
Ulama Malikiyyah
berpendapata bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar suka sama suka atau
diperkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra’. Bagi wanita merdeka dan tidak
hamil, istibra’-ya tiga kali haid, sedangkan bagi amat istibra’-nya cukup satu
kali haid, tapi bila ia hamil baik merdeka atau amat istibra’nya sampai
melahirkan. Dengan demikian ulama Malikiyyah berpendapat bahwa hukumnya tidak
sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki
yang menghamilinya, apalagi ia bukan yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap
dilangsungkan dalam keadaan hamil, akad nikah itu fasid dan wajid difasakh[4][4].
4.
Ulama Hanabilah
berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah
berbuat zina, baik dengan laki-laki bukan yang menzinainya terlebih lagi dengan
laki-laki yang menzinainya, kecuali wanita itu telah memenuhi dua syarat
berikut : Pertama : telah habis masa iddahnya. Jika ia hamil iddahnya habisa
dengan melahirkan kandungannya. Bila akad nikah dilangsungkan dalam keadaan
hamil maka akad nikahnya tidak sah. Kedua : telah bertaubat dari perbuatan
zina. (QS. An-Nur : 3)[5][5]
5.
Sayyid Sabiq berpendapat demikian dengan
berargumen pada firman Allah SWT : "Dan orang-orang yang tidak menyembah
Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa yang
melakukan demikian itu, dia akan mendapat dosa. Akan dilipatgandakan azab
untuknya pada hari kiamat dan ia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina.
Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka
Allah akan menggantikan kejahatan mereka dengan kebajikan. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."
6.
Ibnu Hazm (Zhahiriyah)
berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula bercampur,
dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk),
karena keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan hukum yang telah pernah diterapkan oleh sahabat
nabi antara lain:
a. Ketika Jabir bin Abdilah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang
telah berzina, beliau berkata: “boleh mengawinkannya, asal keduanya telah
betaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya”.
b. Seorang laki-laki tua menyatakan keberatannya kepada Khalifah Abu Bakar dan
berkata: Ya Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan inginkan
agar keduanya dikawinkan. Ketika itu Khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan
hukuman dera (cambuk), kemudian dikawinkannya[6][6].
Selanjutnya mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang
lain, terjadi perbedaan pendapat para ulama :
1.
Imam Abu Yusuf, mengatakan keduanya tidak boleh
dikawinkan. Sebab bila dikawinkan perkawinannya itu batal (fasid). Pendapat
beliau itu berdasarkan firman Allah:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan kepada perempuan yang berzina atau
perempuan musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas orang-orang yang beriman (Q.S.An-Nur 3).
Maksud ayat tersebut adalah, tidak pantas seorang pria yang beriman kawin
dengan seorang wanita yang berzina. Demikian pula sebaliknya, wanita yang
beriman tidak pantas kawin dengan pria yang berzina.
Ayat tersebut di atas diperkuat oleh hadist Nabi:
ﺍﻦ ﺮﺠﻼ ﺗﺯﻮﺝ ﺍﻤﺮﺃ ﺓ ﻔﻠﻤﺎ ﺍﺻﺎ ﺒﻬﺎ ﻮ ﺠﺪ ﻫﺎﺤﺑﻠﻰ ٬ﻓﺮﺟﻊ ﺫﻠﻙ
ﺍﻠﻰ ﺍﻠﻧﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮ ﺴﻠﻢ ٬ﻓﻔﺮﻖ ﺒﻴﻧﻬﻣﺎ ﻮ ﺠﻌﻞ ﻠﻬﺎ ﺍﻠﺼﺪﺍﻖ ﻮ ﺠﻠﺪ ﻫﺎ ﻤﺎ ﺌﺔ׳
Sesungguhnya seorang
leki-laki mengawini seorang wanita, ketika ia mencampurinyaia mendapatkannya
dalam keadaan hamil, lalu dia laporkan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan wanita
itu diberi maskawin, kemudian wanita itu didera (dicambuk) sebanyak 100 kali.
Ibnu Qudamah sependapat dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang
pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan
orang lain kecuali dengan dua syarat:
a.
Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil.
Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin.
b.
Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera
(cambuk), apakah ia hamil atau tidak.
2.
Imam Muhammad bin Al- Hasan Al- Syaibani
mengatakan bahwa perkawinannya itu sah tetapi haram baginya bercampur, selama
bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini berdasarkan hadits:
ﻻﺘﺆﻄﺄﺤﺎﻤﻼﺤﺘﻰﺘﻀﻊ
Janganlah engkau campuri wanita yang hamil,
sehingga lahir (kandungannya).
C. Perspektif KHI (Kompilasi Hukum Islam)
KHI berpendapat bahwa
hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina bila yang menikahi wanita itu
laki-laki yang menghamilinya. Bila yang menikahinya bukan laki-laki yang
menghamilinya, hukumnya menjadi tidak sah karena pasal 53 ayat 1 KHI tidak
memberikan peluang untuk itu.[7][7]
1.
Seorang wanita hamil di
luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2.
Perkawinan dengan
wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu
lebih dahulu kelahiran anaknya.
3.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat
wanita hamil, tidak dipelukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir.
Sebagaimana yang
tertuang pada pasal 53 ayat 1, KHI membatasi pernikahan wanita hamil hanya
dengan pria yang menghamilinya, tidak memberi peluang kepada laki-laki lain
bukan yang menghamilinya. Karena itu, kawin darurat yang selama ini masih
terjadi di Indonesia, yaitu kawin dengan sembarang laki-laki, yang dilakukannya
hanya untuk menutupi malu (karena sudah terlanjur hamil), baik istilahnya kawin
“Tambelan”, “Pattongkogsi sirig”, atau orang sunda menyebutnya kawin “Nutupan
kawirang”, oleh KHI dihukumi tidak sah untuk dilakukan.
Pendapat KHI ini mirip
dengan pendapat Abu yusuf dan Za’far dari mazdhab hanafiyah. Keduanya
berpendapat bahwa wanita hamil akibat zina dapat dinikahkan kepada laki-laki
yang menghamilinya, tapi tidak kepada laki-laki lain bukan yang menghamilinya.
Hanya saja ada perbedaan pendapat diantara keduanya.
Bila Abu yusuf dan
Za’far beralasan bahwa kehamilan wanita itu menyebabkan terlarangnya
persetubuhan yang berakibat terlarang pula akad nikah, sedangkan KHI lebih
cenderung kepada masalah tujuan disyari’atkannya nikah dan kaitan antara akad
nikah yang sah dan kedudukan anak[9][9].
D.
Status Nasab Anak
Adapun anak
zina adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, sedang perkawinan yang
diakui Indonesia yaitu perkawinan yang dilakukan menurut hokum masing – masing
agamanya dan kepercayaaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku dalam UU No. 1/1974.
Para ulama sepakat bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada ayahnya,
tetapi dinasabkan kepada ibunya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw :
“anak itu bagi yang melahirkan”
Ini sesuai dengan KHI Pasal 100 “anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Imam Syafi’I
berpendapat paling cepat umur kehamilannya itu adalah enam bulan, apabila
perkawinan telah lebih dari enam bulan, lalu anak lahir, maka anak tersebut
mempunyai nasab kepada suaminya. Sebaliknya, apabial kurang dari enam bulan,
maka nasab anak tersebut dihubungkan kepada ibunya.
Dari hadits Nabi di atas secara lengkap, dijelaskan sebagai
berikut, yaitu:
عن ابي هريرة رضي الله عنه ان النبي (ص)
قال : الولد للفراش واللعاهر الحجر (رواه البخاري
و
مسلم)
Artinya :
dari Abi Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda : seorang anak adalah milik orang
yang seranjang dan bagi pezina hukuman rajam (HR Bukhari dsan Muslim)
Menurut Abu
Hanifah pada lafaz Firasyi menunjukkan terdapat dhamir ghaib untuk
laki-laki yang tersembunyi. Akan tetapi Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa
sebenarnya nasab anak tersebut tergantung kepada suami (wanita tersebut),
jikalau wanita yang berzina mempunyai suami, kerena ketika suami mengakui anak
tersebut sebagai anaknya, maka anak tersebut menjadi anaknya yang sah secara
syar’i, yang memiliki hak-hak sebagaimana mestinya anak yang sah.[11][11]
Pendapat
Syafi’i dan Maliki beranggapan bahwa bentuk pengambilan hukum dari kata Lilfirasy
yang tersebut dalam hadits adalah bermakna ibunya saja. Sehingga garis
keturunan anak hasil zina hanya kembali kepada ibunya saja.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dapat diambil
kesimpulan bahwa ayat tersebut menjelaskan bahwa :
1.
Menurut pendapat empat imam mazhab, terdapat dua
kelompok. Satu kelompok yaitu Hanafi dan Syafi’i membolehkan perkawinan wanita
hamil. Kelompok kedua dari Malik dan Ahmad bin Hanbal yang melarang. Sedangkan
menurut KHI bahwa wanita hamil dapat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki
yang menghamilinya.
2.
Tentang status nasab anak yang dilahirkan dalam perkawinan
wanita hamil, para imam mazhab berbeda pendapat, Imam Syafi’i menetapkan bahwa
anak itu dinasabkan kepada laki-laki yang mengawini ibunya jika angka kehamilan
di ats enam bulan, tetapi jika lama kehamilan di bawah dari enam bulan, nasab
anak dihubunglkan kepada ibunya.
3.
Sdangkan Imam Hanafi manasabkan kepada laki-laki yang
menghamilinya. Adapun menurut KHI anak tersebut diakui dalam perkawinan, karena
lahir dalam perkawinan yang sah.
B.
Saran
Dengan mempelajari makalah ini, penulis menyarankan agar kita mampu
mengambil informasi dari tentang penanganan kasus nusyuz istri dalam perspektif
Islam, sehingga dapat dipahami dan diamalkan dari penjelasan dari bahan ini ke
dalam yang terkait dengan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari , Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari, T.pt : Syirkah wa Maktabul Musthafa Al Hadby wa Auladihi
Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, 1991/1992
Ghazaly, Abd, Rahman, Fiqh
Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, Kencana: 2008.
Humaedillah, Memed, Status
Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, Jakarta: Gema Insani Press, 2002
Ismail, Muhammad, ,Perkawinan Wanita Hamil,Diakses pada hari Sabtu,
28 Nopember 2015 di http://makalahkampusku.blogspot.co.id/2013/08/perkawinan-wanita-hamil.html
Lanuari, Ade, Perkawinan
Karena Hamil Di Luar Nikah, Diakses pada hari Sabtu, 28 Nopember 2015 di http://gotzlan-ade.blogspot.co.id/2014/02/perkawinan-karena-hamil-di-luar-nikah.html
Mughniyah ,Muhammad Jawad. 2000. Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: PT Lentera Basritama
Sabiq, Sayyid, Fiqih
Al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, cet. Ke-4, jilid 2.
[1][1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munkahat
(Jakarta: Prenada Media Group, Kencana, 2008) cet. 3, hlm 124
[2][2] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu
‘alal Mazahibul Arba’ah (Mesir: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 969) Juz
IV, Hlm. 521
[4][4] Memed Humaedillah, Status Hukum
Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002),
hlm. 37
[7][7] Memed Humaedillah, Status Hukum
Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002),
hlm. 40
[8][8] Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta, 1991/1992), hlm. 34
[10][10] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (
T.pt : Syirkah wa Maktabul Musthafa Al Hadby wa Auladihi) hal. 22
[11][11] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta:
PT Lentera Basritama, 2000), hal. 386
Comments
Post a Comment
Jangan lupa komentar yaaa !!!