Perkembangan Keberagamaan Individu Pada Usia Remaja



PERKEMBANGAN KEBERAGAMAAN INDIVIDU PADA USIA REMAJA


BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan adalah sesuatu yang harus terjadi dan dikuasai oleh  remaja, salah satu tugas remaja dalam hal ini adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi didorong dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Masa remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu berproduksi. Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.
Biasanya pada usia remaja awal selalu dihadapkan dunia yang teramat heterogen baik secara sosial maupun kebutuhan nyatanya. Ia mungkin saja akan menyerahkan nasib keberagamaannya pada “takdir” ataukah ia akan selalu hanyut dalam keragu-raguan, akhirnya ialah yang akan menentukan beberapa pilihannya apakah yang bercorak negatif atau positif, bahkan mengacaukan pandangan hidupnya, bisa saja sebaliknya, ia akan mengokohkan pandangan hidupnya, utamanya berkaitan dengan keberagamaanya.
Disisi lainya, pada masa ini,  remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi namun sebelum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Selain itu pada masa ini remaja sering merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas dan merasa kecewa.


                                              


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perkembangan Jiwa Agama Pada Remaja
Dalam pembagian tahapan perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki tahap progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja mencakup masa juvenilitas (adolescantium), pubertas, dan nubilitas.
Masa remaja disebut juga sebagai masa penghubung atau masa peralihan antara masa anak-anak dengan masa dewasa. Pada masa ini terjadi perubahan perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rokhaniyah dan jasmaniyah. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada remaja banyak berkaitan dengna faktor perkembangan tersebut.
Dilihat dari sudut pandang agama, maka usia remaja berlangsung antara usia 13 – 24 tahun. Pada dasarnya ide-ide agama, dasar-dasar keyakinan dan pokok-pokok ajaran agama  telah diterima oleh seorang anak pada masa anak-anak. Apa yang telah diterima dan tumbuh dari kecil itulah yang menjadi keyakinan individu pada masa remaja melalui pengalaman-pengalaman yang dirasakannya.[1]

B.     Tanda-Tanda Perkembangan Remaja Menurut W.Starbuck
Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jsmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W.Starbuck adalah:
a.       Perubahan pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sikap kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.[2]
Hasil penelitian Allport, Gillesphy dan Young menunjukan :
-          85% remaja katholik romawi tetap taat menganut ajaran agamanya.
-          40% remaja protestan tetap taat terhadap ajaran agamanya


Dari hasil ini dinyatakan selanjutnya, bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya.
Agama yang ajarannya kurang konservatif-dogmatis dan adak liberal akan mudah merangsang perkembangan pikiran dan mental para remaja, sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka.[3]

b.      Perkembangan perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religious akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat kea rah hidup yang relijius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan mudah didominasi oleh dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebh mudah terperosok kea rah tindakan seksual yang negative.
Dalam penyelidikannya Dr. Kensey terungkapkan bahwa 90% pemuda Amerika telah mengenal mastrubasi, homo seks dan onani. [4]

Corak keagamaan para remaja juga ditandai dengan adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material.remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
Hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1789 remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukan bahwa 70%pemikiran remaja ditujukan bagi kepentingan keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan diri dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Seangkan masalah akhirat dan keagamaan hanya sekitar 3,6%, masalah sosial 5,8%.[5]

d.      Perkembangan moral
Perkembangan morakl remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang terlihat pada para remaja mencakupi:
1.      Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2.      Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa melakukan kritik.
3.      Submissive,  merasakan keraguan terhadap ajaran moaral dan agama.
4.      Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
5.      Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.

e.       Sikap dan minat[6]
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung  dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).

f.       Ibadah
Pandangan remaja tentang ibadah diungkapkan sebagai berikut:
1.       Mereka sembahyang karena mereka yakin tuhan mendengar dan akan mengabulkan doa mereka;
2.       Sembahyang dapat menolong mereka meredakan kesusahan yang mereka derita;
3.       Sembahyang menyebabkan mereka menjadi senang sesudah menunaikannya;
4.       Sembahyang meningkatkan tanggung jawab dan tuntutan sebagai anggota masyarakat;
5.       Sembahyang merupakan kebiasaan yang mengandung arti penting.[7]

C.    Keraguan dan Konflik dalam Beragama
Dari sampel yang diambil W. Sturbuck terhadap mahasiswa Middle Burg College, tersimpul bahwa dari remaja usia 11-26 tahun, terdapat 53% dari 142 mahasiswa yang mengalami keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima, cara penerapan ajaran agama, keadaan lembaga-lembaga keagamaan, para pemuka agama. Sedangkan terhadap objek yang serupa ketika diteliti khusus pada mahasiswa. Maka persentase yang mengalami keraguan itu mencapai 75% dari 95 orang mahasiswa. Menurut analisis yang dilakukan W.Starbuck, keraguan itu disebabkan oleh factor:
1.      Kepribadian
Tipe kepribadian dan jenis kelamin, bisa menyebabkan remaja melakukan salah tafsir terhadap ajaran agama. Bagi individu yang memiliki kepribadian yang introvert, ketika mereka mendapatkan kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan, maka akan menyebabkan mereka salah tafsir terhadap sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayangnya Tuhan. Misalnya: Ketika berdoa’a tidak terkabul, maka mereka akan menjadi ragu akan kebenaran sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang Tuhan tersebut. Kondisi ini akan sangat membekas pada remaja yang introvert walau sebelumnya dia taat beragama.[8] Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan dalam keraguan agama. Wanita yang cepat matang dalam perkembangannya akan lebih menunjukkan keraguan pada ajaran agama dibandingkan pada laki-laki cepat matang. Tetapi sebaliknya dalam kualitas dan kuantitas keraguan remaja wanita lebih rendah jumlahnya. Disamping itu keraguan wanita lebih bersifat alami sedangkan pria bersifat intelek.[9]

2.      Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
Kesalahan ini dipicu oleh “dalam kenyataannya, terdapat banyak organisasi dan aliran-aliran keagamaan”. Dalam pandangan remaja hal itu mengesankan adanya pertentangan dalam ajaran agama. Selain itu remaja juga melihat kenyataan “Tidak tanduk keagamaan para pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntutan agama”. Kedua kondisi ini menyebabkan remaja menjadi ragu pada ajaran agamanya.

3.      Pernyataan Kebutuhan Agama
Pada dasarnya manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada), namun disisi lain, manusia juga memiliki dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). Kedua sifat bawaan ini merupakan kenyataan dari kebutuhan manusia yamg normal. Dengan dorongan Curiosity, maka remaja akan terdorong untuk mempelajari/mengkaji ajaran agamanya. Jika dalam pengkajian itu terdapat perbedaan-perbedaan atau terdapat ketidaksejalanan dengan apa yang telah dimilikinya (konservatif) maka akan menimbulkan keraguan.

4.      Kebiasaan
Remaja yang sudah terbiasa dengan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu untuk menerima kebenaran ajaran lain yang baru diterimanya/dilihatnya. Misalnya seorang remaja protestan akan merasa ragu melihat situasi gereja dan ajaran katholik yang sangat berbeda dengan apa yang biasa diterimanya.

5.      Pendidikan
Kondisi ini terjadi pada remaja yang terpelajar. Remaja yang terpelajar akan lebih kritis terhadap ajaran agamanya. Terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya secara lebih rasional.

6.      Percampuran Antara Agama dengan Mistik
Dalam kenyataan yang ada ditengah-tengah masyarakat, kadang-kadang tanpa disadari ada tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopangi oleh mistik dan praktek kebatinan. Penyatuan unsur ini menyebabkan remaja menjadi ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik. Penyebab keraguan remaja dalam bidang agama yang dikemukakan oleh Starbuck diatas, adalah penyebab keraguan yang bersifat umum bukan yang bersifat individual. Keraguan remaja pada agama bisa juga terjadi secara individual. Keraguan yang bersifat individual ini disebabkan oleh:
a.       Kepercayaan, menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya. Keraguan seperti berpeluang pada remaja agama Kristen, yaitu: tentang ke-Tuhanan yang Trinitas.
b.      Tempat Suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengaguman tempat-tempat suci.
c.       Alat Perlengkapan Agama, misalnya fungsi salib dan rosario pada ajaran agama kristen.
d.      Fungsi dan Tugas dalam Lembaga Keagamaan, misalnya fungsi pendeta sebagai penghapus dosa.
e.       Pemuka agama, biarawan dan biarawati.pendeta, ulama
f.       Perbedaan aliran dalam keagamaan. Sikte dalam agama kristen, madzab dalam agama Islam.

Keraguan yang dialami remaja dalam bidang agama dapat memicu konflik dalam diri remaja. Bentuk dari konflik itu “Remaja akan dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang baik dan yang buruk serta antara yang benar dan salah”.
Berikut konflik yang memungkinkan dialami remaja:
a.       Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu.
b.      Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau antara dua ide keagamaan atau antara dua lembaga keagamaan.
c.       Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekuler.
d.      Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi.[10]

Tingkat keyakinan dan ketaatan remaja pada agama sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam dirinya. Dalam upaya mengatasi konflik batin, para remaja cenderung untuk bergabung dalam peer groups-nya dalam rangka berbagi rasa dan pengalaman. Kondisi inipun akan mempengaruhi keyakinan dan ketaatan remaja pada agama.[11]

D.    Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan
1.      Pendidikan Keluarga
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak­-anaknya. Karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri ini, timbul rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, hingga secara moral keduanya merasa terbeban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi serta membimbing keturunan mereka.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pemben­tukan jiwa keagamaan   perkembangan agama menurut W. H. Clark, berjalan dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlihat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang. (W.H. Clark, 1964: 4). Dalam kaitan itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Maka, tak mengherankan jika Rasul menekankan tanggung jawab itu pada kedua orang tua.
Menurut Rasul Allah Saw., fungsi dan peran orang tua bahkan mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk bera­gama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua orang tua mereka.[12]

2.      Pendidikan Kelembagaan
Di masyarakat primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Remaja umumnya dididik di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkungan. Pendidikan secara kelembagaan memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Dan karena kehidupan masyarakat bersifat homogen, maka kemampuan profesional di luar tradisi yang diwariskan secara turun-temurun tidak mungkin berkem­bang. Oleh karena itu, lembaga pendidikan khusus menyatu dengan kehidupan keluarga dan masyarakat.
Di masyarakat yang telah memiliki peradaban modern, tradisi seperti itu tak mungkin dipertahankan. Untuk menyelaraskan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya, seseorang memer­lukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan itu, maka dibentuk lembaga khusus yang menyelenggarakan tugas-tugas kependidikan dimaksud. Dengan demikian, secara kelembagaan maka sekolah-sekolah pada hakikatnya adalah merupakan lembaga pendidikan yang artifisialis (sengaja dibuat).
Sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan kepenting­an dan masa depan anak-anak, terkadang para orang tua sangat selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin saja para orang tua yang berasal dari keluarga yang taat beragama akan memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah agama. Sebaliknya, para orang tua lain lebih mengarahkan anak mereka untuk masuk ke sekolah-­sekolah umum. Atau sebaliknya, para orang tua yang sulit mengendalikan tingkah laku anaknya akan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah agama dengan harapan secara kelembagaan sekolah tersebut dapat mem­beri pengaruh dalam membentuk kepribadian anak-anak tersebut.
Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai sebe­rapa jauh pengaruh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan jiwa keagamaan para anak. Beradasarkan penelitian Gillesphy dan Young, walaupun latar belakang pendidikan agama di lingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak, barangkali pendidikan agama yang diberikan di kelembagaan pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan anak. Kenyataan sejarah menunjuk­kan kebenaran itu. Sebagai contoh adalah adanya tokoh-tokoh keagamaan yang dihasilkan oleh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan khusus seperti pondok pesantren, seminari maupun vihara. Pendidikan keagamaan (religious pedagogyc) sangat mempengaruhi tingkah laku ke agamaan.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebut sangat tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab, pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
Menurut M. Buchori Kebiasaan adalah cara bertindak atau berbuat seragam. Dan pembentukan kebiasaan ini menurut Wetherington melalui dua cara yaitu :
1.      Dengan cara pengulangan dan
2.      Dengan disengaja dan direncanakan.
Jika melalui pendidikan keluarga pembentukan jiwa keagamaan dapat dilakukan dengan meng­gunakan cara yang pertama, maka melalui kelembagaan pendidikan cara yang kedua tampaknya akan lebih efektif. Dengan demikian, pengaruh pembentukan jiwa keagamaan pada anak di kelembagaan pendidikan, barangkali banyak tergantung dari bagaimana perencanaan pendidikan agama yang diberikan di sekolah (lembaga pendidikan).
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keaga­maan pada anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di linngkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Dalam konteks ini guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima pendidikan agama yang diberikannya.
Menurut Mc Guire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap yaitu :
1.      Adanya perhatian,
2.      Adanya pemahaman, dan
3.      Adanya penerimaan.
Dengan demikian, pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak sangat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu:
1.      Pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik perhatian peserta didik.
2.      Para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pema­haman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
3.      Penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini sangat tergan­tung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri, antara lain memiliki keahlian dalam bidang agama dan memiliki sifat-sifat yang sejalan dengan ajaran agama seperti jujur dan dapat dipercaya. Kedua ciri ini akan sangat menentukan dalam mengubah sikap para anak didik.[13]
Sesuai dengan peran dan fungsinya, lembaga pendidikan merupakan jenjang setelah pendidikan keluarga. Lembaga pendidikan agama mempunyai peran yang sangat efektif dalam perkembangan rasa keagamaan seeorang. Usia anak yang beranjak dewasa dibarengi rasa keingintahuan yang menggebu menjadi pintu bagi penanaman nilai-nilai keagamaan.
Pihak-pihak yang terkait dengan sekolah seperti guru dan kepala sekolah mempunyai tugas yang yang berat dalam rangka mengembangkan rasa keagamaan tersebut. Segala macam kurikulum, sistem belajar, metode, pendekatan dan sebagainya harus diatur sedemikian rupa sehingga memudahkkan dalam rangka penanaman rasa keagamaan. Rasa keagamaan yang dikembangkan dalam sebuah pendidikan agama akan berujung pada perubahan sikap menerima nilai-nilai agama.[14]

3.      Pendidikan di Masyarakat
Masyarakat merapakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pen­didik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidikan, dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan remaja, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Masyarakat bisa menjadi wahana pembelajaran yang sangat luas bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa keagamaan. Secara nilai dan keilmuan manusia berkembang terus-menerus, oleh karena itu pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan merupakan bagian dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis.[15]

E.     Pengaruh Peers / Pertemanan
Pengaruh dari orang lain juga berperan dalam terwujudnya suatu nilai. Teman atau orang terdekat biasanya memiliki suatu paham dan sifat yang hampir sama satu sama lainnya. Dalam pertemanan biasanya mudah untuk saling memahami dan memberikan penanaman suatu paham ke teman lainnya dan orang tersebut akan menganggap suatu paham yang ditanam padanya adalah benar. Ini dikarenakan dalam pertemanan mereka akan saling mempercayai satu sama lainnya. Misalnya : si A berjalan didepan orang yang lebih tua yang sedang duduk tanpa memberi hormat (membungkuk sedikit), lalu teman terdekatnya yang melihat itu mengatakan bahwa hal tersebut tidak baik untuk dilakukan dan merupakan hal yang tidak sopan. Seharusnya kita melewati orang yang lebih tua, sebaiknya membungkuk sedikit (memberi hormat kepada yang lebih tua). Sehingga setelah diberikan pemahaman, si A mengerti dam melakukan apa yang dikatakan temannya tersebut. Pada masa remaja, seseorang akan lebih percaya atau memiliki hubungan yang lebih dekat dengan temannya dibandingkan hubungan dengan keluarganya. Mereka lebih sering bersosialisai dengan temannya sehingga penanaman nilai akan mudah terserap dan ditanam pada diri remaja tersebut[16]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Masa remaja disebut juga sebagai masa penghubung atau masa peralihan antara masa anak-anak dengan masa dewasa. Pada masa ini terjadi perubahan perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rokhaniyah dan jasmaniyah. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada remaja banyak berkaitan dengna faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jsmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W.Starbuck adalah:
1.      Perubahan pikiran dan mental
2.      Perkembangan perasaan
3.      Pertimbangan sosial
4.      Perkembangan moral
5.      Sikap dan minat
6.      Ibadah
Menurut analisis yang dilakukan W.Starbuck, keraguan itu disebabkan oleh factor:
1.      Kepribadian
2.      Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
3.      Pernyataan kebutuhan manusia
4.      Kebiasaan
5.      Pendidikan
6.      Percampuradukan antara agama dan mistik
Pendidikan sangatlah  berpengaruh terhadap jiwa keagamaan seseorang, khususnya dalam pembentukan pribadi atau pembentukan watak. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik tingkat kecerdasan dalam melaksanakan ibadah kepada Allah Yang Maha Esa. oleh karena itu pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan sangatlah penting untuk diketahui guna untuk menanamkan rasa keagamaan pada seorang anak didik. Diantara pengaruhnya adalah : Pendidikan Keluarga, Pendidikan Kelembagaan, Pendidikan di masyarakat dan dalam pertemanan.  


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Khaidir. Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan. Diakses pada Minggu, 6 Desember 2015 di http://khaidiralibatubara.blogspot.co.id/2015/09/pengaruh-pendidikan-terhadap-jiwa.html
Fajri, Muhammad, Perkembangan Agama Pada Anak Usia Remaja,Diakses pada sabtu, 28 Nopember 2015 di http://fadilullah.blogspot.co.id/2010/11/perkembangan-agama-pada-usia-remaja.html
Farkhiyah, dzihan, Perkembangan Religiusitas Dan Spiritualitas Pada Masa Kanak-Kanak, Remaja Sampai Dewasa Tengah,Diakses pada sabtu, 28 Nopember 2015 di http://dzihanfarkhiyah.blogspot.co.id/
Jalaludin. 2009. Psikologi Agama. Jakarta : PT. Raja Grafindo.
Psychologymania. Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Masa Remaja. Diakses pada sabtu, 28 Nopember 2015 di http://www.psychologymania.net/2010/04/perkembangan-jiwa-keagamaan-pada-masa.html
Putracongot, Makalah Perkembangan Keberagamaan , Diakses pada sabtu, 28 Nopember 2015 di http://asakhasan.blogspot.co.id/2013/04/makalah-perkembangan-keberagamaan.html
Ramayulis, Prof. Dr. H.. 2009. Psikologi Agama. Jakarta:Kalam Mulia.
Subandi. 2013. Psikologi Agama dan Kesehatan Mental. Yokyakarta: Pustaka Belajar.
Suwito,Vivien Anjadi. Perkembangan Moral, Nilai, dan Agama Pada Masa Remaja. Diakses pada Minggu, 6 Desember 2015 di http://vivienanjadi.blogspot.co.id/ 2012/02/perkembangan-moral-nilai-dan-agama-pada.html




[1] Farkhiyah, dzihan, Perkembangan Religiusitas Dan Spiritualitas Pada Masa Kanak-Kanak, Remaja Sampai Dewasa Tengah,Diakses pada sabtu, 28 Nopember 2015 di http://dzihanfarkhiyah.blogspot.co.id/
[2] Prof.Dr.H.Jalaluddin,Psikologi Agama,(Jakarta:Raja Grafindo,2009),hlm.74
[3] Prof. Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama(jakarta:kalam mulia,2009), hlm.59
[4] Ibid, hlm 59
[5] ibid hlm  60
[6] Ibid,hlm.76
[7] Ibid,hlm.77
[8] Prof.Dr.H.Jalaluddin,Op.Chit,  hlm.74
[9] Prof. Dr. H. Ramayulis, Op.Chit,  hlm.61

[10] Ibid, hlm 63
[11] Prof.Dr.H.Jalaluddin, Op.Cit.  hlm.80.
[12] Jalaluddin, Op.Cit., hlm. 291-294
[13] Jalaluddin, Op.Cit., hlm. 291-297
[14] Subandi, Psikologi Agama dan Kesehatan Mental., (Yokyakarta: Pustaka Belajar, 2013)., hlm. 40-42.
[15] Ali, Khaidir. Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan. Diakses pada sabtu, 6 Desember 2015 di http://khaidiralibatubara.blogspot.co.id/2015/09/pengaruh-pendidikan-terhadap-jiwa.html
[16] Suwito,Vivien Anjadi. Perkembangan Moral, Nilai, dan Agama Pada Masa Remaja. Diakses pada Minggu, 6 Desember 2015 di http://vivienanjadi.blogspot.co.id/ 2012/02/perkembangan-moral-nilai-dan-agama-pada.html

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Ilmu Hadits Riwayah Dan Dirayah

Pengalaman tes di Bank Mandiri

Pidato Bahasa Inggris dan terjemahan tentang Reading is a window to the world