AYAT-AYAT TENTANG KEBAIKAN DAN KEJAHATAN

PEMBAHASAN
A.    Q.S. Al-An’am : 22 & 160
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Dhahak dari Ibnu Abbas menceritakan bahwa ketika ayat ke-18 dari surat al-Mujaadilah yang menegaskan tentang kehidupan di hari kiamat nanti diturunkan, orang-orang munafik tidak bisa menerima kabar tersebut. Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat ke-22 sebagai ketegasan tentang keadaan mereka. Mereka akan menerima akibat dari kedustaan mereka terhadap diri sendiri, yaitu menganggap al-Quran hanya sebagai dongengan belaka.
tPöqtƒur öNèdçŽà³øtwU $YèŠÏHsd §NèO ãAqà)tR tûïÏ%©#Ï9 (#þqä.uŽõ°r& tûøïr& ãNä.ät!%x.uŽà° tûïÏ%©!$# öNçFZä. tbqßJãã÷s? ÇËËÈ    
Artinya: “Dan (ingatlah), hari yang di waktu itu kami menghimpun mereka semuanya, kemudian Kami berkata kepada orang-orang musyrik: "Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dulu kamu katakan (sekutu-sekutu) kami?.”
Dan (ingatlah) hari yang di waktu itu Kami menghimpun mereka semuanya.” Firman Allah ini mengandung makna: dan ingatlah hari yang di waktu itu Kami menghimpun mereka.
Kemudian Kami berkata kepada orang-orang musyrik, ‘Di manakah sembahan-sembahan kamu.” Pertanyaan ini merupakan pertanyaan cemoohan, bukan pertanyaan untuk menuntut jawaban.
yang dulu kamu katakan (sekutu-sekutu) Kami?” Yakni, bahwa mereka adalah orang-orang yang dapat memberikan pertolongan kepada kalian disisi Allah, sesuai dengan dugaan kalian, dan bahwa mereka dapat mendekatkan kalian kepada-Nya. Ini adalah celaan terhadap mereka. Ibnu Abbas berkata, “ Setiap kata za’m (dugaan) di dalam al-Quran, maknanya adalah kebohongan.”
Kalaupun di dunia ini mereka belum merasakan akibat penganiayaan itu, maka suatu ketika pasti mereka akan menyesal, yakni pada hari kiamat nanti. Karena itu ingatlah, kebohongan mereka terhadap Allah dalam kehidupan dunia ini, ingatlah itu pada hari yang di waktu itu kami menghimpun mereka semua secara paksa dan dalam keadaan hina dina, baik ahl al-kitab, maupun kaum musyrik serta apa yang mereka sekutukan dengan Allah, seperti berhala-berhala kemudian Kami melalui para malaikat berkata kepada orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu, baik berhala, manusia, maupun cahaya atau gelap, bahkan sembahan apa saja: Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dahulu kamu kira dan akui secara lisan dan pengalaman sebagai sekutu Kami? Mintalah kepada mereka agar membantu dan menyelamatkan kamu dari siksa yang sedang dan akan kamu hadapi. Sungguh aneh sikap mereka ketika itu lagi jauh dari yang dapat dibayangkan, sebagaimana dipahami dari kata kemudian.
Ayat ini dapat juga dihubungkan dengan ayat terdahulu dengan menjadikan ayat ini sebagai jawaban dari satu pertanyaan yang timbul dalam benak siapa yang mendengar ayat terdahulu yang menyatakan bahwa tidak akan berbahagia orang-orang yang zalim. Seakan-akan ada yang bertanya.  Bagaimana mereka tidak akan berbahagia? Pertanyaan ini dijawab: itu disebabkan karena kelak di Hari Kemudian Allah akan menggiring mereka ke Padang Mahsyar dan akan meminta pertanggung jawaban atas dosa-dosa mereka, khususnya menyangkut persekutuan terhadap Allah.
Seperti ayat diatas, kata  Jamii’an/semua mencakup penyembah dan yang disembah selain Allah. Itu sebabnya lanjutan ayat menyatakan kemudian  Kami berkata kepada orang-orang musyrik, bukan menyatakan kami berkata kepada mereka. Dihimpunnya para sembahan itu, untuk lebih menampakkan kehinaan dan kerendahan serta ketidak berdayaan mereka, dan untuk membuktikan bahwa walau sembahan-sembahan itu hadir dihadapan mereka, namun mereka sedikitpun tidak dapat membantu, bahkan mereka akan berlepas diri dari apa yang dilakukan sembahan-sembahan itu demikian juga para penyembahnya.
Kata Tsumma/kemudian pada firman-Nya kemudian kami berkata pada orang-orang musyrik untuk mengisyaratkan jarak waktu penantian yang cukup lama antara keberadaan orang-orang musyrik dan sembahan mereka di padang mahsyar, dengan perkataan/pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Jarak waktu penantian itu, menjadikan mereka lebih gelisah, sekaligus menunjukkan betapa mereka tidak diperhatikan bahkan diabaikan begitu lama, untuk lebih menghina dan melecehkan mereka.
Kata Aina/di mana, digunakan untuk menanyakan tempat sesuatu, sebagaimana digunakan juga untuk menanyakan sesuatu walau tidak memiliki tempat, tetapi diharapkan apa yang ditanyakan itu menjadi perhatian atau dikerjakan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sembahan-sembahan mereka ikut dikumpulkan di padang mahsyar. Jika demikian,  pertanyaan tentang di mana pada ayat ini, bukanlah pertanyaan tempat keberadaan mereka, tetapi tentang peranan mereka dalam membantu para penyembahnya. Pertanyaan itu dimaksudkan sebagai kecaman dan ejekan karena ketika itu sungguh jelas ketidak mampuan yang disembah menolong siapa yang pernah menyembahnya.
Kemudian Allah swt menjelaskan kelembutan dan keadilan-Nya pada hari kiamat, Allah swt berfirman:
`tB uä!%y` ÏpuZ|¡ptø:$$Î/ ¼ã&s#sù çŽô³tã $ygÏ9$sWøBr& ( `tBur uä!%y` Ïpy¥ÍhŠ¡¡9$$Î/ Ÿxsù #tøgä žwÎ) $ygn=÷WÏB öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàムÇÊÏÉÈ  
Artinya: “Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”
            (Al-An’am: 160)

Ayat ini merupakan penjelasan yang rinci bagi ayat lainnya yang disebutkan-Nya secara mujmal (global), yaitu firman-Nya
`tB uä!%y` ÏpoY|¡ysø9$$Î/ ¼ã&s#sù ׎öyz $pk÷]ÏiB Nèdur `ÏiB 8ítsù >Í´tBöqtƒ tbqãZÏB#uä ÇÑÒÈ  
Artinya: “Barangsiapa yang membawa kebaikan, Maka ia memperoleh (balasan) yang lebih baik dari padanya, sedang mereka itu adalah orang-orang yang aman tenteram dari pada kejutan yang dahsyat pada hari itu.” (Q.S. An-Naml: 89)
Ayat ini menjelaskan bahwa pembalasan Allah swt sungguh adil, yakni barang siapa diantara manusia yang datang membawa amal yang baik, yakni berdasar iman yang benar dan ketulusan hati, maka baginya pahala sepuluh kali lipatnya yakni sepuluh kali lipat amalnya sebagai karunia dari Allah swt dan barang siapa yang membawa perbuatan yang buruk maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, itu pun jikalau Allah menjatuhkan sanksi atasnya, tetapi tidak sedikit keburukan hamba yang dimaafkannya. Kalau Allah menjatuhkan sanksi, maka itu sangat adil, dan dengan demikian mereka yakni yang melakukan kejahatan itu sedikitpun tidak dianiaya tetapi masing-masing akan memperoleh hukuman setimpal dengan dosanya. Adapun yang berbuat kebajikan, maka bukan saja mereka tidak dianiaya, bukan juga mereka diberi ganjaran yang adil, tetapi mereka mendapat anugerah dari Allah SWT.
Ayat ini memerintahkan kita supaya memperbanyak berbuat baik. Artinya ialah barang siapa yang datang kepada Allah di hari kiamat dengan sifat-sifat yang baik, maka ia akan mendapat ganjaran atau pahala dari Allah swt. Dan barang siapa yang nantinya menghadap Allah dengan sifat-sifat jahat yang telah tertanam dalam dirinya, maka ganjaran siksaan yang akan diterimanya adalah setimpal dengan kejahatannya. Artinya suatu kejahatan tidaklah akan dibalas dengan sepuluh kali ganda siksaan.
B.     Q.S. An-Nisa : 79
!$¨B y7t/$|¹r& ô`ÏB 7puZ|¡ym z`ÏJsù «!$# ( !$tBur y7t/$|¹r& `ÏB 7py¥Íhy `ÏJsù y7Å¡øÿ¯R 4 y7»oYù=yör&ur Ĩ$¨Z=Ï9 Zwqßu 4 4s"x.ur «!$$Î/ #YÍky­ ÇÐÒÈ  
Artinya: “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.”
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah”. Yaitu dari karunia, kenikmatan, kelembutan dan kasih sayang-Nya.
“Dan apa saja bencana yang menimpamu”. Yaitu dari sisimu dan perbuatanmu. Sebagaimana Firman Allah swt:
!$tBur Nà6t7»|¹r& `ÏiB 7pt6ŠÅÁB $yJÎ6sù ôMt6|¡x. ö/ä3ƒÏ÷ƒr& (#qàÿ÷ètƒur `tã 9ŽÏWx. ÇÌÉÈ  
Artinya: “dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”
“Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia”. Yaitu engkau sampaikan kepada mereka syariat-syariat Allah, apa yang dicintai dan diridhoi-Nya, serta apa yang dibenci dan tidak disenangi-Nya.
“Dan cukuplah Allah menjadi saksi”. Yaitu, bahwa Allah telah mengutusmu dan Allah pula yang menjadi saksi antara kamu dan mereka. Allah Maha Mengetahui tentang apa yang telah engkau sampaikan kepada mereka, serta tentang penolakan mereka terhadap kebenaran yang berasal darimu, karena kufur dan pembangkangan.
Ayat ini menegaskan sisi upaya manusia yang berkaitan dengan sebab dan akibat. Hukum-hukum  alam  dan kemasyrakatan cukup banyak dan beraneka ragam. Dampak baik dan dampak buruk untuk setiap gerak dan tindakan telah ditetapkan Allah melalaui hukum-hukum tersebut, manusia diberi kemampuan memilah dan memilih, dan masing-masing akan mendapatkan hasil pilihannya. Allah sendiri melalui perintah dan larangan-Nya menghendaki, bahkan menganjurkan kepada manusia agar meraih kebaikan dan nikmat-Nya, karena itu ditegaskan-Nya bahwa, apa saja nikmat yang engkau peroleh, wahai Muhammad dan semua manusia, adalah dari Allah, yakni Dia yang mewujudkan anugerah-Nya, dan apa saja bencana yang menimpamu, engkau wahai Muhammad dan siapa saja selain kamu, maka bencana itu dari kesalahan dirimu sendiri, karena Kami mengutusmu tidak lain hanya menjadi Rasul untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan Allah kepada segenap manusia, kapan dan di mana pun mereka berada. Kami mengutusmu hanya menjadi Rasul, bukan seorang yang dapat menentukan baik dan buruk sesuatu sehingga bukan karena terjadinya bencana atau keburukan pada masamu kemudian dijadikan bukti bahwa engkau bukan Rasul. Kalaulah mereka menduga demikian, biarkan saja. Dan cukuplah Allah menjadi saksi atas kebenaranmu.
Ayat diatas secara redaksional ditujukan kepada Rasulullah saw, tetapi kandungannya terutama ditujukan kepada mereka yang menyatakan bahwa keburukan bersumber dari Nabi atau karena kesialan yang menyertai beliau. Pengarahan redaksi ayat ini kepada Nabi membuktikan bahwa kalau beliau yang sedemikian dekat dengan kedudukannya di sisi Allah serta sedemikian kuat ketakwaannya kepada Allah tetap tidak dapat luput dari sunnatullah  dan takdir-Nya, maka tentu lebih-lebih yang lain. Allah tidak membedakan seseorang dari yang lain dalam hal sunnatullah ini.
Setiap kebaikan yang diperoleh oleh orang mukmin, sesungguhnya berasal dari karunia dan kemurahan Allah, di ayat ini ada dua hal yang perlu diketahui :
Ø  Bahwa segala sesuatu yang berasal dari sisi Allah, dalam arti bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menggariskan aturan-aturan.
Ø  Manusia terjerumus kedalam keburukan tidak lain disebabkan dia lalai untuk mengetahui sunnah-sunnah. Sesuatu dikatakan buruk, sebenarnya disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri.
Berdasarkan pandangan ini, maka kebaikan berasal dari karunia Allah secara mutlak, dan keburukan berasal dari diri manusia sendiri secara mutlak.  Masing-masing  dari dua kemutlakan ini mempunyai posisi pembicaraan tersendiri. Telah banyak dasar yang menyatakan bahwa ketaatan kepada Allah merupakan salah satu sebab mendapatkan nikmat, dan bahwa kedurhakaaan kepadanya merupakan salah satu jalan yang mendatangkan kesengsaraan. Ketaatan kepadanya adalah mengikuti sunnah-sunnah-Nya dan menggunakan jalan-jalan yang telah diberi-Nya pada tempat mestinya.

C.    Q.S. Hud : 114
ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ÇnûtsÛ Í$pk¨]9$# $Zÿs9ãur z`ÏiB È@øŠ©9$# 4 ¨bÎ) ÏM»uZ|¡ptø:$# tû÷ùÏdõムÏN$t«ÍhŠ¡¡9$# 4 y7Ï9ºsŒ 3tø.ÏŒ šúï̍Ï.º©%#Ï9 ÇÊÊÍÈ  
Artinya: “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (Q.S. Hud: 114)
Ayat ini mengajarkan: “ dan dirikanlah shalat dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan, rukun, syarat dan sunnah-sunnahnya pada kedua tepi siang yakni pagi dan petang, atau Subuh, Dzuhur dan Ashar dan pada bagian permulaan daripada malam yaitu Maghrib dan Isya, dan juga bisa termasuk Witir dan Tahajud. Yang demikian itu dapat menyucikan jiwa dan mengalahkan kecenderungan nafsu untuk berbuat kejahatan. Sesungguhnya kebajikan-kebajikan itu yakni perbuatan-perbuatan baik seperti shalat, zakat, shadaqah, istighfar, dan aneka ketaatan lain dapat menghapuskan dosa kecil yang merupakan keburukan-keburukan yakni perbuatan-perbuatan buruk yang tidak mudah dihindari manusia. Adapun dosa besar, maka itu membutuhkan ketulusan hati untuk bertaubat, permohonan ampun secara khusus dan tekad untuk tidak mengulanginya. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat yakni petunjuk-petunjuk yang disampaikan sebelum ini yang sungguh tinggi nilainya dan jauh kedudukannya itulah peringatan yang sangat bermanfaat bagi orang-orang yang siap menerimanya dan yang ingat tidak melupakan Allah.
Disamping mengandung makna bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa kecil apabila seseorang telah mengerjakan amal-amal saleh, juga mengandung makna bahwa amal-amal saleh yang dilakukan seseorang secara tulus dan konsisten akan dapat membentengi dirinya sehingga dengan mudah dia dapat terhindar dari keburukan-keburukan. Makna semacam ini sejalan juga dengan firman Allah dalam surah al-Ankabut ayat 45, yang artinya “ sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar “.
Dalam tafsir at-Tabari dijelaskan bahwa ada beberapa faedah yang dikandung ayat ini adalah penjelasan untuk mendirikan salat wajib. Ayat ini menjelaskan secara ringkas semua waktu shalat yang wajib. Karena kedua tepi siang mencakup shalat subuh, shalat dzuhur dan shalat ashar. Adapun bagian permulaan malam mencakup shalat maghrib dan isya.
Namun Imam Ath-Thabari lebih memilih pendapat bahwa shalat pada kedua tepi siang itu maksudnya adalah shalat subuh dan maghrib. Ayat ini menjelaskan bahwa shalat termasuk diantara al-hasanat (amal saleh). Ayat ini juga menjelaskan bahwa al-Quran sebagai mau’izhah (nasihat) bagi mereka yang mengingat-ingat. Orang-orang yang ingat disebut secara khusus disini karena mereka yang mendapat manfaat dari nasihat itu.



PENUTUP

Kesimpulan
1.      Surat al-An’am ayat 22
Pada ayat ini Allah akan menunjukkan bahwa Tuhan yang patut disembah hanyalah Allah semata kepada orang-orang yang telah menyekutukannya, dan juga membuktikan bahwa apa yang dulu mereka sembah tidak akan bisa menolong mereka dari siksa Allah swt.
2.      Surat al-An’am ayat 160
Pada ayat ini dapat disimpulkan bahwa Allah benar-benar Maha adil, dimana Allah akan selalu memberikan karunia-Nya kepada umatnya yang beribadah dengan dasar keimanan dan ketulusan hati dengan memberikan ganjaran pahala sepuluh kali lipat dari amal saleh yang telah dikerjakan, serta hanya memberikan ganjaran yang sesuai dengan maksiat yang dikerjakan manusia.
3.      Surat an-Nisa ayat 79
Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa segala sesuatu kebaikan yang menimpa umat manusia adalah secara mutlak datang dari Allah dan segala sesuatu yang buruk yang menimpa manusia semata-mata karena perbuatan manusia itu sendiri.
4.      Surat Hud ayat 114
Pada ayat ini dijelaskan bahwa segala amal saleh khususnya yang terdapat dalam ayat ini yaitu shalat wajib yang lima waktu dapat menghapus dosa-dosa kecil, dan apabila amal saleh yang dilakukan seseorang secara tulus dan konsisten akan dapat membentengi dirinya sehingga dengan mudah dia dapat terhindar dari keburukan-keburukan.



DAFTAR PUSTAKA

Arul Malik “Makalah Tafsir Ayat-ayat” artikel diakses pada Jum’at 6 Desember
Ghoffar E.M, M. Abdul. Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I,
2005

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Ilmu Hadits Riwayah Dan Dirayah

Pengalaman tes di Bank Mandiri

Pidato Bahasa Inggris dan terjemahan tentang Reading is a window to the world