Hudud
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang dasar-dasar
hukumnya bersumber dari Al-Qur’an, Hadist, serta Ar-Rayu. Sehingga dalam
pelaksanaan hukumannya, Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
Adapun aturan-aturan yang telah digariskan, Islam sebagai agama Rahmatan
lil’alamin, senantiasa berisikan aturan yang sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai Hak Asasi Manusia, yang akhir-akhir ini menjadi dalih semua orang
untuk mendapatkan keadilan.
Bahkan hukuman yang telah lama ada
dan bersumber langsung dari Allah SWT ini, merupakan hukuman yang
seadil-adilnya karena hukum di Islam berlandaskan Qishas, yaitu hukuman
balasan. Contohnya, apabila orang membunuh maka orang tersebut harus di hukum
membunuh lagi. Kemudian, di Islam juga dikenalkan hukum yang disebut dengan
Diyat yaitu denda dalam bentuk benda atau harta, sesuai ketentuan, yang harus
dibayar oleh pelaku pidana kepada pihak korban, sebagai sanksi atas pelanggaran
yang dilakukan.
Dengan melihat ketentuan yang
seperti diatas, hendaknya, setiap manusia mempunyai rasa takut apabila suatu
hari ia khilaf telah melakukan perbuatan-perbuatan yang di nilai tidak baik dan
menyalahi aturan (Had) yang telah ada. Dapat diyakini, bahwa semakin tinggi
peradaban manusia, setan semakin memainkan perannya. Orang menjadi aniaya
(zhalum) dan bodoh (jahl), bukannya mengikuti petunjuk yang dianugerahi Allah
Sang Pencipta melalui Rasul dan Nabi-Nya sepanjang masa. Tidak masalah
betapapun murni dan baharunya suatu masyarakat, tindak pidana tetap dilakukan
dan berbeda menurut tingkatannya. Karena itu kita perlu meneliti
masalah-masalah criminal ini dan sebab-sebab yang mempengaruhi, meneliti
psikologi dan sifat dasar mereka yang melakukan tindak pidana untuk mencegah
meningkatnya rata-rata kriminalitas dimasa yang akan datang.
Dimana pun masyarakat perlu
disalahkan, juga struktur lembaga kemasyarakatan, pemimpin serta anggota
masyarakat yang membantu dan merangsang timbulnya tindak pidana tertentu. Orang
yang menghalangi
saudaranya dari memperoleh hak yang
halal dianggap sebagai pemberontak. Dengan alasan inilah Abu Bakar memerangi mereka
yang menolak membayar zakat.
Dalam Islam, masyarakat lebih
diutamakan atas perorangan, kepentingan masyarakatlah yang harus didahulukan
bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, setiap tindak kriminal yang mengganggu
ketentraman masyarakat dianggap sebagai kejahatan terhadap Allah, Sang
Pencipta. Sebagaimana telah kita pelajari, masyarakat tak berhak menzalimi
individu (anggota masyarakat) jika kepentingan individu itu tidak menimbulkan
ancaman terhadap hak-hak orang lain ataupun masyarakat.
Syari’ah menolak teori sintetik atau
pengujian untuk menetukan masalah abnormalitas dan kriminalitas. Menurut teori
ini, “tak ada tindakan yang dapat disebut kriminal bila pada saat tindakan itu
dilaksanakan, pelaku mengalami kekacauan mental atau adanya dorongan yang
benar-benar yang tidak terkendali sehingga menyebabkan hilangnya keseimbangan
mental ataupun emosi”.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hudud
Kata
hudud (berasal dari bahasa Arab) adalah jamak dari kata had yang asal
artinya sesuatu yang membatasi diantara dua benda. Secara harfiah ada beberapa
kemungkinan arti antara lain batasan atau definisi, siksaan, cegahan, ketentuan
atau hukum.
Adapun
menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan
oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang
sama.
B.
Macam-macam tindakan yang tergolong ke dalam Hudud
Ada
berbagai macam tindakan yang tergolong kedalam hudud:
1.
Zina
a.
Pengertian Zina
Zina
secara harfiah artinya fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian
istilah adalah hubungan kelamin diantara seorang lelaki dengan seorang perempuan
yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan (Abdurrahman Doi,
1991:31).
Para
Fuqaha (ahli hukum islam) mengartikan bahwa zina, yaitu melakukan hubungan
seksual dalam arti memasukkan zakar (kelamin pria) ke dalam vagina wanita yang
dinyatakan haram, bukan karena syubhat, dan atas dasar syahwat.
b.
Dasar Hukum Zina
Di dalam
Al-Quran zina dinyatakan sebagai perbuatan keji dalam firman Allah dalam Q.S.
Al-Israa’ (17) ayat 32 sebagai berikut:
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
Dari
ayat tersebut dapat dipahami hal-hal pesan sebagai berikut:
a)
Larangan
melakukan zina atas dasar nash (teks),
b)
Larangan
melakukan zina atas dasar mafhum aulawy,
c)
Kata
laa taqrabuu secara harfiah maknanya janganlah kalian mendekati, kalimat
mendekati relevansi objeknya adalah tempat, berarti ada iqtidla (sisipan) dari
makna teks ayat, yaitu janganlah kalian mendekati (tempat) perzinaan.
c.
Had Pidana zina
Sebagai
konsekuensi atau larangan zina, Allah berfirman dalam Q.S. An-Nur (24) ayat 4
& 5 sebagai berikut:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBöt ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù't Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ wur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qç/$s? .`ÏB Ï÷èt/ y7Ï9ºs (#qßsn=ô¹r&ur ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÎÈ
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat
sesudah itu dan memperbaiki (dirinya). Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Selain itu, dalil hukum yang dikemukakan oleh Allah dalam Q.S. An-Nuur
(24) ayat 2 sebagai berikut:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( wur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ( ôpkô¶uø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Berdasarkan dalil hukum tersebut, dapat dikemukakan bahwa syariat
islam tidak membedakan setiap orang. Bila seseorang terbukti melakukan
perbuatan zina tanpa keraguan sedikit pun, maka hukuman itu akan dijatuhkan
kepadanya tanpa memandang kedudukan atau status sosial. Berdasarkan penerapan
ayat al-quran di atas, terhadap pelaku zina dikenakan sanksi had, dengan mempertimbangkan
kondisi pelakunya.
Para fuqaha mengelompokkan manusia ditinjau dari status perkawinan
terbagi menjadi dua, yaitu:
a)
Seorang
jejaka atau perawan yang belum bersuami atau beristri, jika ia pernah melakukan
hubungan seksual dengan seseorang, mereka termasuk Ghairu Muhshan.
b)
Seorang
pria atau wanita jika pernah melakukan hubungan seksual dengan seseorang, jika
mereka sudah beristri atau bersuami, mereka termasuk muhshan.
Had
terhadap Ghairu muhshan ataupun muhshan yang melakukan zina berdasarkan Q.S.
An-Nisaa’ (4) ayat 15, adalah disekap di dalam rumah atau dipenjara sampai
mati. Atau berdasarkan H.R. Abu Hurairah dan Ibnu Abbas dari Umar Ibnul
Khattab, bahwa riwayat untuk zina yang muhshan/muhshanah adalah rajam yaitu
dilempari dengan batu sampai mati. Berdasarkan An-Nuur (24) ayat 2 adalah di
dera 100 kali, di hadapan orang ramai. Menurut pendapat Syafi’i dan Ahmad Ibn
Hanbal, disamping itu ia harus diasingkan selama satu tahun.
2.
Fitnah (Al-Qadzaf)
Fitnah
merupakan suatu pelanggaran yang terjadi bila seseorang dengan bohong menuduh
seorang muslim berzina atau meragukan silsilahnya. Ia merupakan kejahatan yang
besar dalam islam dan yang melakukannya disebut pelanggaran yang berdosa dan
termasuk dosa-dosa besar yang diharamkan Allah, oleh al-Quran disebutkan:[1]
¨bÎ) tûïÏ%©!$# cqãBöt ÏM»uZ|ÁósãKø9$# ÏM»n=Ïÿ»tóø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# (#qãZÏèä9 Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur öNçlm;ur ë>#xtã ×LìÏàtã ÇËÌÈ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman
(berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab
yang besar.” (QS. An-Nuur: 23)
Dan barangsiapa menuduh seorang muslim berzina dihukum dengan
menderanya delapan puluh kali dera, sebagaimana Firman Allah Swt dalam QS. An-Nuur:
4
tûïÏ%©!$#ur tbqãBöt ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù't Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ wur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qç/$s? .`ÏB Ï÷èt/ y7Ï9ºs (#qßsn=ô¹r&ur ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÎÈ
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Kecuali
orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya). Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Setiap muslim diharapkan agar memelihara kehormatan dan keluhuran saudaranya,
sesama muslim, bukannya menelanjangi ataupun membuka rahasia yang akan
mencemarkan muslim yang lain, maka kalau ada seseorang yang menuduh muslim
berzina, namun tak dapat membuktikannya dengan mengemukakan empat orang saksi
yang (juga) telah melihat kejahatan itu tengah dilakukan pada saat dan tempat
yang sama, maka si penuduh akan dihukum cambuk delapan puluh kali, dianggap
sebagai seorang fasik dan kesaksiannya tidak akan diterima lagi kapan pun dia
mengajukan persaksian.
3.
Pemberontak (Al-Harabah)
a.
Pengertian Harabah
Harabah
ialah sekelompok orang muslim yang bergerak untuk mengadakan kekacauan di Darul
Islam, Negara Islam, untuk menumpahkan darah, menjarah harta orang lain,
merusak kehormatan, memusnahkan tanaman dan hal itu dimaksud untuk menentang
Islam, akhlak, peraturan dan undang-undang yang berlaku.
b.
Hukum Harabah
Harabah
termasuk sebesar-besar tindakan kejahatan. Oleh sebab itu, hukumannya termasuk
sebesar-besar hukuman.[2]
Allah swt berfirman:
$yJ¯RÎ) (#ätÂty_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tur Îû ÇÚöF{$# #·$|¡sù br& (#þqè=Gs)ã ÷rr& (#þqç6¯=|Áã ÷rr& yì©Üs)è? óOÎgÏ÷r& Nßgè=ã_ör&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYã ÆÏB ÇÚöF{$# 4 Ï9ºs óOßgs9 Ó÷Åz Îû $u÷R9$# ( óOßgs9ur Îû ÍotÅzFy$# ë>#xtã íOÏàtã ÇÌÌÈ
Artinya:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya), yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar. (QS. Al-Maaidah: 33)
Dari Anas ra, ia berkata, “Ada sekelompok orang dari daerah Ukl
datang menemui Nabi Saw lalu menyatakan masuk Islam, lantas mereka merasa tidak
kerasan tinggal di Madinah (karena sakit panas). Kemudian Beliau menyuruh
mereka agar mendatangi kawanan unta dari hasil zakat, agar mereka minum susu
unta dicampur dengan kencingnya. Setelah mereka melaksanakan (perintah
tersebut), mereka menjadi sehat, lantas mereka kembali murtad dan membunuh para
penggembala unta serta menjarah seluruh untanya. Kemudain Beliau mengutus
(pasukan) untuk mengejar mereka. (Setelah mereka tertangkap), lalu dibawa
kehadapan Beliau, lantas Beliau memotong-motong tangan mereka, kaki mereka, dan
mencukil mata mereka, kemudian Beliau tidak membunuh mereka hingga mereka mati
sendiri.” (Muttafaqun ‘alaih)
4.
Pencurian (Al-Sariqah)
Sariqah
atau pencurian merupakan suatu cara yang tidak sah dalam hal mengambil harta
orang lain. Tindakan pencurian itu dianggap lengkap oleh para fuqaha apabila
terdapat unsure-unsur berikut ini:
1.
Harta
tersebut diambil secara sembunyi,
2.
Ia
diambil dengan maksud jahat,
3.
Barang
yang dicuri itu benar-benar milik sah dari orang yang hartanya dicuri itu,
4.
Barang
yang dicuri itu telah diambil kepemilikannya dari siempunya yang sebenarnya,
5.
Barang
yang dicuri itu telah berada dalam penguasaan si pencuri,
6.
Barang
tersebut harus mencapai nilai nishab pencuri.
Disyaratkan
harta yang dicuri sebanyak senishab, yaitu seperempat dinar mas murni yang
dicetak. Dengan demikian maka tidak dipotong tangan dalam hal yang dicuri itu
kurang dari ketentuan tersebut. Alasan yang dijadikan sandaran ialah Hadits
yang diriwayatkan Aisyah ra, bahwa Nabi Saw, bersabda:
“Tidak dipotong
tangan pencuri kecuali mencapai sebanyak seperempat dinar ke atas” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Meskipun
pencurian kecil dibebaskan dari hukuman yang ditetapkan syari’ah. Namun menurut
ulama berdasarkan perintah al-Quran, hanya satu tangan yang harus dipenggal
pada pencurian pertama asalkan si pencuri itu adalah seorang yang sudah baligh,
berakal dan atas kemauan sendiri, baik dia seorang muslim, kafir dzimmi ataupun
orang yang murtad dan kalau terbukti benar-benar telah mencuri barang tersebut
dari tempat penyimpanannya.[3]
Bukti pencurian itu harus diberikan dengan pasti. Harus ada dua orang saksi
muslim yang dapat dipercaya dan baik. Mereka disyaratkan menyaksikan perbuatan
si tertuduh atau si tertuduh sendiri yang mengakui kejahatannya itu walaupun
dia juga berhak menolak tuduhan yang ditujukan padanya. Hakim harus benar-benar
yakin atas kejahatan tersebut, apa yang telah dicuri, dan keterangan-keterangan
lain.
5.
Minuman yang memabukan (Khamar)
a.
Pengertian Khamar
Khamar
berasal dari kata khamara yang berarti menutupi sesuatu. Dengan demikian, kata
khamar itu berarti dari setiap sari buah yang diragikan dari buah anggur, kurma,
madu ataupun yang lainnya yang dapat
membuat seseorang mabuk setelah meminumnya. Kata khamar boleh jadi meliputi
pula setiap cairan ataupun barang yang memiliki akibat yang sama: “khamar itu
adalah sesuatu yang dapat menghilangkan akal atau kesadaran.”
Meminum
anggur atau minuman yang memabukkan merupakan dosa besar dalam islam, disamping
itu memang ada beberapa manfaat dengan meminumnya. Namun menurut petunjuk
al-Quran, bahayanya lebih besar dari manfaatnya, terutama bila seseorang
memandangnya berdasarkan tinjauan kemasyarakatan maupun perseorangan.
b.
Hukuman Bagi Peminum Khamar
Jika yang minum arak adalah seorang mukallaf atas kemaunnya
sendiri, tanpa ada tekanan dari orang lain dan ia tahu bahwa minuman keras
termasuk haram hukumnya, maka ia harus dicambuk empat puluh kali. Bahkan jika
hakim yang menanganinya memandang perlu ditambah jumlah cabukannya, maka boleh
ditambah hingga delapan puluh kali cambukan. Berdasarkan riwayat di bawah ini:
Dari al-Hushain bin al-Mundzir bahwa Ali kw pernah mencambuk Walid
bin Uqbah empat puluh kali karena telah minum khamar. Kemudian ia berkata,
“Nabi saw pernah mencambuk (peminum khamar) empat puluh kali, Abu Bakar empat
puluh kali, Umar delapan puluh kali, dan kesemuanya itu adalah sunnah Nabi saw,
namun ini yang paling kusukai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1047, Muslim
III: 1331 no:1707)
Hukuman bagi peminum khamar bisa dianggap kuat dilaksanakan
manakala didukung oleh salah satu dari dua hal berikut ini:
1.
Pengakuan
dari yang bersangkutan
2.
Dua
orang saksi yang adil
6.
Murtad (Al-Riddah)
Riddah
berarti menolak agama islam dan memeluk agama lain baik melalui perbuatan
ataupun lisan. Dengan demikian perbuatan murtad mengeluarkan seseorang dari
lingkungan islam. Bila seseorang menolak prinsip-prinsip dasar kepercayaan
(iman) seperti keyakinan akan adanya Allah serta Nabi Muhammad SAW sebagai
utusan-Nya sebagaimana tercakup dalam “kalimah Shahadah”. Begitu juga menolak
mempercayai al-Quran sebagai kitabullah atau menolak ajaran yang dikandungnya,
atau mengingkari hari kebangkitan, ganjaran atau hukuman dari Allah termasuk
bagi perbuatan murtad. Menolak ibadah-ibadah khusus seperti shalat, zakat,
puasa dan haji juga termasuk tindakan “Riddah”. Demikian pula kalau seseorang
meniru perbuatan orang-orang yang bukan muslim dalam peribadatannya dan yang
semacam itu, akan dianggap sebagai perbuatan murtad.
7.
Melarikan Diri dari Perang Jihad (Al-Firar Min al-Zahf)
Apabila
seorang muslim bergabung dalam pasukan perang jihad untuk menegakkan islam, dan
dia telah berada di medan laga, berperang melawan musuh, maka melarikan diri dari
barisan ini merupakan kejahatan besar dalam syariat islam. Sebaliknya,
berpegang teguh sesuai dengan perintah pimpinan sebagai dedikasi atas strategi
yang direncanakan. Inilah saatnya untuk mempertunjukkan keberanian dan
mempertaruhkan nyawa guna mempertahankan islam dan kaum muslimin atau membela
hak orang-orang nonmuslim yang tinggal disebuah negara islam. Melarikan diri
dari medan perang dapat membahayakan nasib ummah.
C.
Tujuan
dilakukannya pemidanaan
Di dalam agama islam, setiap tindak kajahatan
yang menyimpang dari aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah maka
terhadap perbuatan tersebut haruslah diberikan hukuman.
Menurut hukum pidana islam, hukuman adalah
pembalasan yang ditetapkan untuk memlihara kepentingan masyarakat, karena
adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’. Adapun tujuan utama dari
penetapan dan penerapan hukuman dalam syariat islam adalah sebagai berikut:
a.
Pencegahan
Pencegahan adalah menahan orang yang berbuat
pelanggaran agar ia tidak mengulangi perbuatannya, atau agar ia tidak terus-menerus
melakukan hal tersebut. Disamping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung
arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan
pelanggaran.
Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan
maka besarnya hukuman harus sesuai dan cukup mampu mewujudkan tujuan tersebut.
Dari uraian tersebut diatas, jelaslah bahwa tujuan yang utama yaitu, efeknya
adalah untuk kepentingan masyarakat, sebab dengan tercegahnya pelaku dari
perbuatan pelanggaran maka masyarakat akan tenang, aman, tenteram, dan damai.
Meskipun demikian, tujuan yang pertama ini ada juga efeknya terhadap pelaku,
sebab dengan tidak dilakukannya pelanggaran maka pelaku akan selamat dan ia
terhindar dari penderitaan dan akibat dari hukuman itu.
b.
Perbaikan dan Pendidikan
Maksudnya ialah untuk mendidik pelaku jarimah
agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Dengan adanya
hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia
menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadarab
diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida dari
Allah SWT.
Disamping perbaikan pribadi pelaku, syariat
islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik
diliputi oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya
dengan mengetahui batas-batas antara hak hak dan kewajibannya. Pada hakikatnya
suatu jarimah ialah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan
serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap pembuatnya, disamping menimbulkan
rasa iba dan kasih sayang terhadap korbannya. Hukuman atas diri pelaku merupakan
salah satu cara menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat terhadap
perbuatan pelaku yang telah melanggar kehormatannya sekaligus juga merupakan
upaya menenangkan hati korbannya. Dengan demikian, hukuman itu dimaksudkan
untuk memberikan rasa derita yang harus dialami oleh para pelaku sebagai imbalan
atas perbuatannya dan dianggap sebagai sarana untuk mensucikan dirinya. Dengan
demikian akan terwujudlah rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh
masyarakat.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Hudud adalah
hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari
terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama.
Macam-macam
tindakan yang tergolong kedalam hudud ialah: zina, fitnah, pemberontak,
pencurian, minuman yang memabukkan (khamar), murtad, dan melarikan diri pada saat
perang.
Tujuan
dilakukannya pemidanaan, yaitu pencegahan serta Perbaikan dan Pendidikan.
2.
Saran
Demikianlah
makalah ini kami buat, adapun substansi yang terkandung didalamnya semoga akan
menjadi suatu bahan acuan bagi setiap orang dalam melaksanakan tindakannya dimuka
bumi ini. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat karena pembahasan dari
makalah ini sangatlah berguna bagi siapapun terlebih bagi setiap manusia yang
berada dibumi ini agar senantiasa beribadah dan taat dalam menjalankan ajaran
Allah SWT.
Apabila
di dalam makalah ini terdapat suatu hal baik itu perkataan, penulisan ataupun
hal-hal lain yang menuju kearah kesesatan mohon kiranya agar makalah ini dapat
dikoreksi, karena sebagai manusia biasa tentunya kami pasti banyak melakukan
kesalahan.
Daftar Pustaka
Abu Bakar, Imam Taqiyuddin. Kifayatul
Akhyar: Kelengkapan Orang Shalih. Surabaya:
Bina Iman, 2007
Azhim, Abdul. Al-Wajiz: Ensiklopedi
Fiqih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah As-
Shahihah.
Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2007
[1]
Abdul Azhim bin
Badawi Al-Khalafi, “Al-Wajiz: Ensiklopedi Fiqih Islam dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah As-Shahihah” (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2007) cet, ke-3, h. 834
[2] Ibid., h.
848-849
[3]
Imam Taqiyuddin
Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, “Kifayatul Akhyar: Kelengkapan Orang
Shalih), (Surabaya: Bina Iman, 2007) cet, ke-7, h. 390
Comments
Post a Comment
Jangan lupa komentar yaaa !!!