Qishash
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Dalam literatur masyarakat, khusus dalam kehidupan
Islam terdapat berbagai permasalahan yang menyangkut tindakan pelanggaran yang
dilakukan manusia. Dengan adanya hal itu, maka dibuatlah aturan yang mempunyai kekuatan
hukum dengan berbagai macam sangsi. Sangsi yang diberikan sesuai dengan tingkat
pelanggaran yang dilakukan.
Maka dari itu, dalam hukum Islam diterapkan jarimah (hukuman) dalam hukum Jinayah Islam yang bertindak sebagai preventif (pencegahan) kepada setiap manusia, dan tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia melanggar.
Maka dari itu, dalam hukum Islam diterapkan jarimah (hukuman) dalam hukum Jinayah Islam yang bertindak sebagai preventif (pencegahan) kepada setiap manusia, dan tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia melanggar.
Maka dari itu adanya Qishash bukan sebagai tindakan
yang sadis namun ini sebuah alternatif demi terciptanya hidup dan kehidupan
yang sesuai dengan Sunnah dan ketentuan-ketentuan Ilahi.
Sebenarnya kalau hukum yang dibuat manusia belum
sepenuhnya bisa mengikat, dan hal tersebut bisa direkayasa sekaligus bisa
dilanggar, karena pada intinya hanya hukum Islam lah yang sangat cocok bagi
kehidupan manusia di dunia. Hal ini terbukti dengan adanya hukum Islam banyak
negara yang merasa cocok dengan berlakunya hukum Islam. Tapi ada satu hal yang
masih menjadi pertanyaan apakah benar hukum islam itu sulit diterapkan dalam
suatu tatanan kemasyarakatan atau itu hanya sebuah alasan dari segelintir orang
yang tidak suka terhadap aturan tersebut.
Dalam makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut
pelanggaran dan sangsi sesuai dengan perbuatannya itu. Maka dari itu didalam
makalah ini akan dibahas mengenai Qishash/Hudud “Hukuman-hukuman”. Setelah
mengetahu berbagi macam hukuman yang diakibatkan atas pelanggaran seseorang
maka diharapkan akan muncul suatu hikmah dan tujuan kenapa hukuman itu ada dan
dilaksanakan.
B. PEMBATASAN
MASALAH
Dalam upaya menspesifikan masalah dalam makalah ini
perlu adanya batasan masalah yang akan diuraikan. Masalah yang akan dibahas
adalah Pengertian dan Hikmah Qishash.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
”… Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang
yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya
[Ahli waris], hendaklah yang mema’afkan mengikuti dengan cara yang baik dan
yang diberi ma’af membayar diyat kepada yang memberi ma’af dengan cara yang
baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat…” (QS Al Baqarah : 178)
Allah swt yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, telah
melarang hamba-hamba-Nya untuk melakukan perbuatan buruk (Fasiq) dan telah
menetapkan balasan bagi pelakunya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Salah
satu bentuk balasan atas perbuatan buruk, dalam hal ini Jinayat, adalah
Qishash.
Pengertian Qishash
Qishash (bahasa arab: قصاص) adalah istilah dalam hukum islam yang
berarti pembalasan, mirip dengan istilah "hutang nyawa dibayar
nyawa". Dalam kasus pembunuhan hukum qisas memberikan hak kepada keluarga
korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh.
Salah satu bentuk balasan atas perbuatan buruk, dalam
hal ini Jinayat, adalah Qishash. Menurut syara’ qishash ialah pembalasan yang
serupa dengan perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota
badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.
Atau Menurut syaraâ’ qishash ialah pembalasan yang
serupa dengan perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota
badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.
Qishash ada 2 macam :
a. Qishash
jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
b. Qishash
anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan
anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.
Syarat-syarat Qishash
a. Pembunuh
sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi anak kecil atau
orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.
b.
Pembunuh bukan bapak dari yang
terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash
bila anak membunuh bapaknya.
c.
Orang yang dibunuh sama derajatnya,
Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak
dengan budak.
d.
Qishash dilakukan dalam hal yang sama,
jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga
dengan telinga.
e.
Qishash itu dilakukan dengan jenis
barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.
f.
Orang yang terbunuh itu berhak dilindungi
jiwanya, kecuali jiwa orang kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal
ini selaras hadits rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali
karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh
tidak dijalan yang benar/aniaya’ (HR. Turmudzi dan Nasaâ’)
Pembunuhan
olah massa / kelompok orang
Sekelompok orang yang membunuh seorang harus diqishash,
dibunuh semua..
Qishash
anggota badan
Semua anggota tubuh ada qishashnya. Hal ini selaras
dengan firman-Nya, ‘Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.’ (QS.
Al-Maidah : 45)
SYARAT-SYARAT WAJIBNYA HUKUM QISHASH
Hukum qishash tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah
memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1. Si
pembunuh haruslah orang mukallaf (aqil baligh), sehingga anak kecil, orang
gila, dan orang yang tidur tidak terkena hukum qishash. Nabi saw bersabda: “Diangkat
pena dari tiga golongan: (Pertama) dari anak kecil hingga baligh, (kedua) dari
orang tidak waras pikirannya hingga sadar (sehat), dan (ketiga) dari orang yang
tidur hingga jaga.” (Shahih: Shahihul ‘Jami’us Shaghir no: 3512).
2.
Orang yang terbunuh adalah orang yang
terlindungi darahnya, yaitu bukan orang yang darahnya terancam dengan salah
satu sebab yang disebutkan dalam hadist Nabi saw:
"Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan satu di antara tiga … dst." (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7641).
"Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan satu di antara tiga … dst." (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7641).
3.
Hendaknya si terbunuh bukanlah anak si
pembunuh, karena ada hadist Nabi saw: "Seorang ayah tidak boleh dibunuh
karena telah membunuh anaknya." (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2214, Tirmidzi
II: 428 no: 1422 dan Ibnu Majah II: 888 no: 2661).
4.
Hendaknya si korban bukanlah orang
kafir, sedangkan si pembunuh orang muslim. Nabi saw bersabda: “Orang muslim
tidak boleh dibunuh karena telah (membunuh) orang kafir.” (Hasan Shahih: Shahih
Tirmidzi no: 1141, Fathul Bari XII: 260 no: 6915, Tirmidzi II: 432 no: 1433 dan
Nasa’i VIII: 23).
5. Hendaknya
yang terbunuh bukan seorang hamba sahaya, sedang si pembunuh orang merdeka.
Al-Hasan berkata: “Orang merdeka tidak boleh dibunuh karena (telah membunuh)
seorang budak.” (Shahih Maqthu’: Shahih Abu Daud no: 3787, ‘Aunul Ma’bud XII:
238 no: 4494).
Ini adalah madzhab jumhur ulama’, mereka dengan banyak
dalil yang kesemuanya tidak lepas dari pembicaraan. Syaikh Asy-Syinqithi rhm,
dalam kitab Adhwa-ul Bayan menyebutkan dalil-dalil tersebut, kemudian beliau
berkata:
“Riwayat-riwayat ini banyak, meskipun masing-masing
darinya tidak lepas dari pembicaraan, namun sebagiannya memperkokoh sebagian
yang lain dan saling menguatkan sehingga kesemuanya pantas dan boleh dijadikan
hujjah. Dalil-dalil ini menetapkan bahwa orang merdeka tidak boleh dibunuh
karena telah membunuh hamba sahaya. Mereka sepakat tidak ada hak menuntut
qishash bagi hamba sahaya yang dianiaya oleh orang merdeka.
Jika tidak ada tuntutan qishash pada sebagian anggota badan,
maka sudah barang tentu tidak ada qishash dalam kasus pembunuhan dan tidak ada
yang menentang ketetapan ini, kecuali Daud (Az-Zhain) dan Ibnu Ali Laila.
Dalil-dalil itu juga menjadi hujjah atas para ulama’ yang berpendapat dalam
kasus pembunuhan (oleh orang merdeka terhadap budak) karena tersalah, tidak
disengaja, hanya ada kewajiban membayar qimah (sesuatu yang senilai), bukan
diat. Namun sekelompok ulama’ membatasi manakala qimahnya tidak sampai melebihi
diat orang merdeka.
Dalil-dalil itu juga memutuskan bahwa kalu seorang
merdeka menuduh hamba sahaya berbuat zina, maka ia (orang merdeka itu) tidak
wajib dijatuhi hukum had menurut mayoritas ulama’, kecuali riwayat dari Ibnu
Umar al-Hasan dan kelompok Zhahiriyah yang mewajibkan hukum had atas orang yang
menuduh ummul berzina (secara khusus) tuduhan itu kepada ummul walad.”
SEKELOMPOK
DIQSISHASH KARENA TELAH MEMBUNUH SEORANG
Apabila ada sekelompok orang sepakat membunuh satu
orang, maka mereka semua dibunuh juga. Ini berpijak pada riwayat Imam Malik: Dari
Sa’id bin Musayyab bahwa Umar bin Khathab ra pernah membunuh sekelompok orang,
yaitu lima atau tujuh orang karena telah membunuh seorang laki-laki dengan
pembunuhan secara tipu daya (yaitu membujuk korban hingga mau keluar ke tempat
yang sepi lalu dibunuh), dan dia berkata, 'Andaikata penduduk negeri Shan’a
bersekongkol membunuhnya, niscaya kubunuh mereka semuanya.'” (Shahih: Irwa-ul
Ghalil no: 2201, Muwaththa’ Malik hal. 628 no: 1584, asy-Syafi’i dalam al-Umm
VI: 22 dan Baihaqi VIII: 41).
JELASNYA
PELAKSANAN HUKUM QISHASH
Hukum qishash bisa menjadi jelas dilaksanakan dengan salah satu dari dua hal berikut:
Hukum qishash bisa menjadi jelas dilaksanakan dengan salah satu dari dua hal berikut:
1. Pengakuan
dari pelaku
Dari
Anas ra, bahwa ada seorang Yahudi menumbuk kepala seorang budak perempuan di
antara dua batu. Lalu ia (budak itu) ditanya,
“Siapa yang berbuat begini kepadamu? si A atau si B?” Hingga disebutlah nama
orang Yahudi itu, lalu dia menganggukkan kepalanya. Kemudian didatangkanlah
orang Yahudi itu, lalu (setelah ditanya) dia mengaku. Kemudian Nabi saw menyuruh
agar kepala Yahudi itu ditumbuk dengan batu (juga). (Muttafaqun
’alaih: Fathul Bari XII: 198 no: 6876, Muslim III: 1413, Nasa’i VIII: 22 dan
Ibnu Majjah II: 889 no: 2666).
2.
Kesaksian dua orang laki-laki yang
adil
Dari
Rafi’ bin Khadif ra berkata: “Pada suatu pagi ada seorang laki-laki dari kaum
Anshar terbunuh di daerah Khaibar, lalu berangkatlah keluarganya menemui Nabi
saw lantas mereka menyampaikan kasus pembunuhan tersebut kepada Beliau.
Kemudian Beliau bersabda, “Apakah kelian memiliki dua laki-laki yang
menyaksikan proses pembunuhan saudaramu itu?” Jawab mereka, “Ya Rasulullah, di
sana tak ada seorang pun dari kaum muslimin. Mereka hanyalah kaum Yahudi dan
tidak jarang mereka ini melakukan penganiayaan lebih kejam daripada ini.”
Beliau bersabda, “Kalau begitu, pilihlah lima puluh di antara mereka, kemudian
ambillah sumpah mereka.” Namun mereka menolak. Kemudian Nabi saw membayar diat
kepada ahli kurban dari kantongnya sendiri.” (Shahih Lighairihi: Shahih Abu
Daud no: 3793 dan ‘Aunul Ma’bud XII: 250 no: 4501)
SYARAT-SYARAT
PENYEMPURNAAN PELAKSANAAN QISHASH
Demi kesempurnaan qishash ada tiga syarat yang mesti dipenuhi:
Demi kesempurnaan qishash ada tiga syarat yang mesti dipenuhi:
1. Ahli
waris si kurban harus mukallaf. Jika ahli warisnya masih belum dewasa atau
gila, maka si pembunuh harus dipenjara hingga ahli warisnya itu mukallaf.
2.
Pihak keluarga korban sepakat menuntut
hukum qishash, karena itu manakala ada sebagian di antara mereka yang
mema’afkan secara gratis, maka gugurlah hukum qishash dari si pembunuh.
Dari
Zaid bin Wahab, bahwa Umar ra pernah diajukan kepadanya seorang laki-laki yang
telah membunuh laki-laki lain. Kemudian keluarga si terbunuh menghendaki
qishash, maka ada saudara perempuan si terbunuh --dan ia adalah isteri si
pembunuh berkata--, “Sungguh bagianku saya maafkan kepada suamiku.” Kemudian
Umar berkata, “Hendaklah laki-laki yang membunuh itu memerdekakan budak sebagai
sanksi dari pembunuhannya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2222 dan X: 18188)
Darinya
(Zaid bin Wahab), ia berkata, “Ada seorang suami mendapati laki-laki lain
berduaan dengan isterinya, kemudian dia bunuh isterinya. Kemudian kasus
tersebut diajukan kepada Umar bin Khatab ra lalu dia mendapati sebagian saudara
isterinya berada di sana, kemudian ia (saudara isterinya itu) menshadaqahkan
bagiannya kepadanya (si pembunuh). Kemudian Umar ra menyuruh (si pembunuh)
membayar diat kepada mereka semua.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2225 dan
Baihaqi VIII: 59)
3.
Pelaksanaan hukuman tidak boleh
merembet kepada pihak yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hukum qishash yang
wajib dijatuhkan kepada seorang perempuan yang hamil, maka ia tidak boleh
dibunuh sebelum melahirkan kandungannya, dan sebelum menyusuinya pada awal
penyusuannya.
Yaitu
penyusuan pertama kali, penyusuan ini amat sangat penting bagi kesehatan sang
bayi, sedangkan melaksanakan hukum qishash pada seorang ibu sebelum menyusuinya
(penyusuan pertama), sangat membahayakan si bayi. Kemudian manakala setelah
penyusuan pertama itu ada orang yang bersedia menyusuinya, maka serahkanlah
kepadanya, lantas sang ibu harus diqishash. Ini sesuai dengan hadist Imam
Muslim. Jika ternyata tidak didapati ibu yang siap menyusuinya, maka ibu itu
dibiarkan supaya menyusui anaknya dua tahun. Ini sesuai dengan hadist berikut:
Dari
Abdullah bin Buraidah dari bapaknya ra bahwa ada seorang perempuan al-Ghamidiyah
berkata kepada Nabi saw, “(Ya Rasulullah), sesungguhnya saya telah berbuat
sebuah kejahatan.” Sabda Beliau, “Kembalilah!” Lalu ia kembali (pulang).
Kemudian pada esok harinya, ia datang (lagi) lalu berkata, “(Ya Rasulullah),
barangkali engkau menolakku sebagaimana halnya engkau pernah menolak Ma’iz bin
Malik? Demi Allah, sesungguhnya saya benar-benar telah hamil.” Sabda Beliau
kepadanya, “Kembalilah!” Kemudian ia kembali pulang, kemudian pada esok
harinya, ia datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda kepadanya,
“Kembalilah kau hingga kamu melahirkan!” Maka kembalilah sang perempuan,
kemudian tatkala ia sudah melahirkan, ia datang lagi menemui Beliau dengan
membawa bayinya, lantas berkata, “(Ya Rasulullah), ini bayi yang saya
lahirkan.” Kemudian Beliau bersabda kepadanya, “Pulanglah dan susuilah bayimu
itu hingga engkau menyapihnya.” Kemudian ia datang (lagi) dengan anak kecilnya
yang sudah disapih, sementara di tangannya ada makanan yang dimakannya.
Kemudian Rasulullah saw menyuruh agar anak kecil itu diserahkan kepada seorang
sahabat yang hadir kala itu, lantas Beliau menyuruh shahabat menggali lubang
untuk sang perempuan itu, lalu dirajam. Dan, adalah Khalid salah seorang yang
merajamnya dengan batu, lalu dia (Khalid) mendapatkan percikan darahnya
mengenai pipinya, lalu ia pun mengumpat dan mencacinya. Maka Nabi saw bersabda
kepadanya, "Ya Khalid, tenanglah! (jangan emosi), demi Dzat yang diriku
berada di tangan-Nya, sungguh ia benar-benar telah bertaubat, yang andaikata
taubat tersebut dilakukan oleh seorang yang banyak memungut pajak-pajak liar
niscaya diampuni dosa-dosanya." Dan Rasulullah menyuruh (para sahabat
mengurus jenazahnya), lalu jenazah wanita disholatkan, kemudian dikubur.
(Shahih: Shahih Abu Daud no: 3733, Muslim III: 1321 no: 1695, Aunul Ma’bud XII:
123 no: 14419 dan redaksi hadist bagi Imam Abu Daud).
TEKNIS
PELAKSANAAN HUKUM QISHASH
Prinsip pelaksanaan hukum qishash, si pembunuh harus
dibunuh sebagaimana cara ia membunuh, karena hal ini merupakan hukuman yang
setimpal dan sepadan. Allah swt menegaskan:
"Oleh
sebab itu, barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan
serangannya terhadapmu." (QS Al-Baqarah: 194)
“Dan
jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (QS An-Nahl: 126)
Di samping itu, Rasulullah saw pernah melempar dengan batu kepala orang Yahudi sebagaimana orang termaksud melempar dengan batu kepala seorang perempuan.
Di samping itu, Rasulullah saw pernah melempar dengan batu kepala orang Yahudi sebagaimana orang termaksud melempar dengan batu kepala seorang perempuan.
PELAKSANAAN
HUKUM QISHASH MENJADI WEWENANG HAKIM
Musafir (pakar tafsir) kenamaan, al-Qurthubi
mengatakan, “Tiada khilaf di kalangan ulama’ bahwa yang berwenang melaksanakan
hukum qishash, khususnya balas bunuh, adalah pihak penguasa. Mereka inilah yang
berwenang melaksanakan hukum qishash dan hukum had dan yang semisalnya, karena
Allah swt menuntut segenap kaum Mukminin untuk melaksanakan qishash, kemudian
ternyata mereka semua tidak sanggup untuk berkumpul melaskanakan hukum qishash
maka mereka mengangkat penguasa (hakim) sebagai wali dari mereka dalam melaksanakan
hukum qishash dan lain-lainnya yang termasuk hukum had.” (Al-Jami’ Li-ahkamil
Qur-an II: 245 – 246).
Sebab yang demikian itu disebutkan oleh ash-Shawi dalam
Hasyiyahnya atas tafsir al-Jalalain. Dia menulis sebagai berikut,
"Manakala telah tetap bahwasanya pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja
sebagai sebuah permusuhan, maka wajib atas hakim syar’i untuk memberi wewenang
untuk wali si terbunuh terhadap si pembunuh. Lalu pihak hakim melaksanakan
kebijakan yang dituntut oleh wali (keluarga) si terbunuh terhadap si pembunuh,
yaitu balas bunuh, atau memaafkan, atau menuntut diat. Dan wali (keluarga) si
terbunuh tidak boleh bertindak terhadap si pembunuh sebelum mendapat izin resmi
dari hakim. Karena dalam hal ini terdapat kerusakan dan pengrusakan terhadap
wewenang hakim. Oleh sebab itu, manakala pihak wali (keluarga) si terbunuh
membunuh si pembunuh sebelum mendapat izin dari penguasa, maka pelakunya harus
dijatuhi hukuman ta'zir (hukuman yang berdasar kebijakan hakim'." (Fiqhus
Sunnah II: 453).
HUKUM
QISHASH SELAIN BALAS BUNUH
Sebagaimana telah berlaku secara sah hukum qishash
berupa balas bunuh, maka begitu juga berlaku secara sah hukum yang tidak sampai
pada pembunuhan. Allah swt berfirman:
"Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada qishashnya." (QS Al-Maaidah: 45)
"Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada qishashnya." (QS Al-Maaidah: 45)
Meskipun hukum ini telah diwajibkan pada ummat sebelum
kita, sehingga ia menjadi syar’un man-qablana (syariat yang pernah dibelakukan
pada umat sebelum kita), namun ia merupakan syariat bagi kita pula karena
diakui atau ditetapkan oleh Nabi saw. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan
sebagai berikut:
Dari Anas bin Malik ra bahwa Rubayyi’ binti an-Nadhr
bin Anas ra telah memcahkan gigi seri seorang budak perempuan, kemudian mereka
(keluarga Rubayyi’) bersikeras untuk membayar diat kepada mereka (keluarga si
budak), lalu mereka (keluarga si budak), lalu mereka (keluarga si budak) tidak
mau menerima melainkan qishash. Maka datanglah saudara Rubayyi’, Anas bin
Nadhr, lalu bekata, “Ya rasulullah, engkau akan memecahkan gigi seri Rubayyi’!
Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang haq, janganlah engkau
memecahkannya”. Kemudian Beliau bersabda, “Wahai Anas, menurut ketetapan Allah
swt (harus) qishash.” Kemudian mereka pada ridha dan memaafkan (Rubayyi’).
Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah swt
ada yang kalau bersumpah atas nama Allah swt pasti melaksanakannya.” (Shahih:
Shahihhul Jami’us Shaghir no: 2228, Fathul Bari V: 306 no: 2703, ‘Aunul Ma’bud
XII: 333 no: 4566, Nasa’i VIII no: 27 dan Ibnu Majah II: 884 no: 2649).
SYARAT-SYARAT
QISHASH SELAIN BALASAN AKAN PEMBUNUHAN
Untuk
Qishash yang selain balas bunuh ditetapkan syarat-syarat berikut:
a.
Yang melaksanakan penganiayaan harus
sudah mukallaf
b.
Sengaja melakukan jinayat, tindak
penganiayaan. Karena pembunuhan yang bersifat keliru, tidak disengaja, pada
asalnya tidak memastikan si pembunuh harus dituntut balas bunuh. Demikian pula
halnya tindak pidana yang lebih ringan daripadanya.
c.
Hendaknya status si penganiaya dengan
yang teraniaya sama. Oleh karena itu, seorang muslim yang melukai kafir dzimmi
tidak boleh diqishash, demikian pula dengan orang merdeka yang melukai hamba
sahaya, dan seorang ayah yang melukai anaknya.
HUKUM
QISHASH YANG MENIMPA ANGGOTA TUBUH
Untuk melaksanakan hukum qishash yang menimpa bagian
anggota tubuh ada tiga syarat yang harus dipenuhi:
1. Memungkinkan
pelaksanaan qishash ini berjalan secara adil dan tidak melahirkan penganiayaan
baru. Misalnya memotong persendian siku, pergelangan tangan, atau kedua sisi
hidung yang lentur, bukan tulangnya. Maka tidak ada qishash pada tubuh bagian
dalam, tidak pula pada tengah lengan dan tidak pula pada tulang yang terletak
di bawah gigi (tulang rahang).
2.
Nama dan letak anggota tubuhnya sama.
Karenanya, bagian anggota yang kanan tidak boleh dibalas dengan bagian anggota
badan yang kiri, bagian anggota tubuh yang kiri tidak boleh dengan yang kanan,
jari kelingking tidak boleh dengan jari manis, dan tidak pula sebaliknya karena
tidak sama dalam hal nama, dan tidak pula bagian anggota tubuh yang asli
dibalas dengan yang tambahan (melalui proses operasi) karena tidak sama dalam
letak dan daya manfaatnya.
3. Kondisi
bagian anggota tubuh si penganiaya harus sama dengan yang teraniaya dalam hal
kesehatan dan kesempurnaan. Oleh sebab itu, tidak boleh anggota tubuh yang
sehat dibalas dengan yang berpenyakit dan tidak pula tangan yang sehat lagi
sempurna dibalas dengan tangan yang kurang jari-jarinya: namun boleh
sebaliknya.
DIQISHASH
KARENA SENGAJA MELUKAI ORANG LAIN
Adapun kasus melukai orang lain secara sengaja, maka
dalam kasus tersebut tidak wajib diqishash, kecuali pelaksanaannya sangat
memungkinkan, yaitu sekiranya bisa melukai si penganiaya sama dengan luka yang
diderita si korban, tanpa ada kelebihan dan pengurangan. Karenanya, apabila
pelaksanan qishash ini tidak mungkin menghasilkan luka yang sama dan sepadan,
melainkan mesti kadar ukurannya lebih, atau dapat membahayakan si penganiaya,
atau justru membahayakan orang yang dijatuhi qishash ini, maka dalam hal ini
tidak wajib diqishash, akan tetapi wajib membayar diat kepada si teraniaya.
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi
al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz
Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj.
Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 853 – 873
Hikmah Qishas
1.
Terpelihara jiwa dari gangguan pembunuh. Apabila
sesorang mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh juga. Karena akibat perbuatan
membunuh orang, tentu ia takut membunuh orang lain.
2.
Menjaga masyarakat dari kejahatan dan
menahan setiap orang yang akan menumpahkan darah orang lain. Yang demikian itu
disebutkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya :
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah:
179).
3.
Mewujudkan keadilan dan menolong orang
yang terzalimi, dengan memberikan kemudahan bagi wali korban untuk membalas
kepada pelaku seperti yang dilakukan kepada korban. Karena itulah, Allah SWT
berfirman :
وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَاناً فَلاَ
يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُوراً
“Dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, maka
sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah
orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. al-Isra`: 33).
4. Menjadi
sarana taubat dan penyucian dari dosa yang telah dilanggarnya, karena qisas
menjadi kafarah (penghapus dosa) bagi pelakunya. Hal ini dijelaskan Rasulullah
SAW dalam sabdanya :
تُبَايِعُونِي عَلَى
أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا قَرَأَ
عَلَيْهِمْ الْآيَةَ فَمَنْ وَفَّى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ
أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ عَلَيْهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ
أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ
إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
“‘Berbai’atlah kepadaku untuk tidak berbuat syirik,
tidak mencuri, dan tidak berzina.’ Beliau membacakan kepada mereka ayat, (lalu
bersabda), ‘Barangsiapa di antara kalian yang menunaikannya maka pahalanya ada
pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan barangsiapa yang melanggar sebagiannya lalu
di hukum maka hukuman itu sebagai penghapus dosa baginya. (Adapun) barangsiapa
yang melanggarnya lalu Allah tutupi maka urusannya diserahkan kepada Allah,
bila Dia kehendaki maka Dia mengazabnya dan bila Dia menghendaki maka Dia
mengampuninya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Larangan Qishash di dalam Masjid
Sesungguh Rasulullah SAW telah melarang untuk
melaksanakan Qishash di dalam mesjid sebagaimana hadits beliau sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang
melaksanakan qishash di dalam masjid, melantunkan sya’ir dan melaksanakan hukum
hudud di dalamnya.“ Diriwayatkan pula dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, ia
berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Seorang anak tidak boleh menuntut qishash
terhadap ayahnya dan dilarang melaksanakan hukum hudud di dalam masjid,” (HR At
Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Qishas adalah mengambil
pembalasan yang sama atau serupa, mirip dengan istilah “utang nyawa dibayar
dengan nyawa”. Tidak selamanya penerapan qishas disetiap negara baik. Karena
ada kalanya penerapan qishash baik digunakan guna memperminimalisir tindak
kejahatan dan kriminal. Lalu qishas juga tidak selamanya pantas digunakan bagi
para TKW yang bekerja di negara yang menerapkan hukum qishas seperti Arab
Saudi, dan Pakistan karena terkadang
para TKW terpaksa melakukan tindakan kriminal terhadap majikannya demi menjaga
kehormatan dirinya. Yang berhak melakukan qishas adalah yang memiliki hak,
yaitu para wali korban, dengan syarat mampu melakukan qisas dengan baik sesuai
syariat. Apabila tidak mampu, maka diserahkan kepada pemerintah atau wakilnya.
Hal ini tentunya dengan pengawasan dan naungan pemerintah atau wakilnya, agar
dapat mencegah sikap melampai batas dalam pelaksanaannya, serta untuk memaksa
pelaksana menunaikannya sesuai syariat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Ali, Zainudin, 2006. “Hukum Islam”. Jakarta: Sinar Grafika________.2007.”Huku
m Pidana Islam”.Jakarta: Sinar GrafikaAli, Zainudin, 2006. “Hukum Islam”. Jakarta: Sinar Grafika________.2007.”Huku
Ensiklopedi Hukum Islam.I Doi,Rahman.1996,”Hudud dan Kewarisan”.Jakarta,
Raja Grafindo PersadaRasjid, Sulaiman.1995.”Fiqh Islam”.Bandung:Sinar BaruAlgensindo Offset
Suryana, Toto.et al.2006.”Pendidikan Agama Islam”.Bandung:Tiga Mutiara.
B. Internet
www.wordpress.com
www.blogspot.com
Comments
Post a Comment
Jangan lupa komentar yaaa !!!