Qishash

BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam literatur masyarakat, khusus dalam kehidupan Islam terdapat berbagai permasalahan yang menyangkut tindakan pelanggaran yang dilakukan manusia. Dengan adanya hal itu, maka dibuatlah aturan yang mempunyai kekuatan hukum dengan berbagai macam sangsi. Sangsi yang diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Maka dari itu, dalam hukum Islam diterapkan jarimah (hukuman) dalam hukum Jinayah Islam yang bertindak sebagai preventif (pencegahan) kepada setiap manusia, dan tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia melanggar.
Maka dari itu adanya Qishash bukan sebagai tindakan yang sadis namun ini sebuah alternatif demi terciptanya hidup dan kehidupan yang sesuai dengan Sunnah dan ketentuan-ketentuan Ilahi.
Sebenarnya kalau hukum yang dibuat manusia belum sepenuhnya bisa mengikat, dan hal tersebut bisa direkayasa sekaligus bisa dilanggar, karena pada intinya hanya hukum Islam lah yang sangat cocok bagi kehidupan manusia di dunia. Hal ini terbukti dengan adanya hukum Islam banyak negara yang merasa cocok dengan berlakunya hukum Islam. Tapi ada satu hal yang masih menjadi pertanyaan apakah benar hukum islam itu sulit diterapkan dalam suatu tatanan kemasyarakatan atau itu hanya sebuah alasan dari segelintir orang yang tidak suka terhadap aturan tersebut.
Dalam makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai dengan perbuatannya itu. Maka dari itu didalam makalah ini akan dibahas mengenai Qishash/Hudud “Hukuman-hukuman”. Setelah mengetahu berbagi macam hukuman yang diakibatkan atas pelanggaran seseorang maka diharapkan akan muncul suatu hikmah dan tujuan kenapa hukuman itu ada dan dilaksanakan.

B.    PEMBATASAN MASALAH
Dalam upaya menspesifikan masalah dalam makalah ini perlu adanya batasan masalah yang akan diuraikan. Masalah yang akan dibahas adalah Pengertian dan Hikmah Qishash.





BAB II
PEMBAHASAN


”… Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya [Ahli waris], hendaklah yang mema’afkan mengikuti dengan cara yang baik dan yang diberi ma’af membayar diyat kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat…” (QS Al Baqarah : 178)
Allah swt yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, telah melarang hamba-hamba-Nya untuk melakukan perbuatan buruk (Fasiq) dan telah menetapkan balasan bagi pelakunya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Salah satu bentuk balasan atas perbuatan buruk, dalam hal ini Jinayat, adalah Qishash.

Pengertian Qishash
Qishash (bahasa arab: قصاص) adalah istilah dalam hukum islam yang berarti pembalasan, mirip dengan istilah "hutang nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh.
Salah satu bentuk balasan atas perbuatan buruk, dalam hal ini Jinayat, adalah Qishash. Menurut syara’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.
Atau Menurut syaraâ’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.

Qishash ada 2 macam :
a.    Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
b.    Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.

Syarat-syarat Qishash
a.    Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.
b.    Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
c.    Orang yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.
d.    Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
e.    Qishash itu dilakukan dengan jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.
f.     Orang yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa orang kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’ (HR. Turmudzi dan Nasaâ’)

Pembunuhan olah massa / kelompok orang
Sekelompok orang yang membunuh seorang harus diqishash, dibunuh semua..

Qishash anggota badan
Semua anggota tubuh ada qishashnya. Hal ini selaras dengan firman-Nya, ‘Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.’ (QS. Al-Maidah : 45)

SYARAT-SYARAT WAJIBNYA HUKUM QISHASH
Hukum qishash tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1.    Si pembunuh haruslah orang mukallaf (aqil baligh), sehingga anak kecil, orang gila, dan orang yang tidur tidak terkena hukum qishash. Nabi saw bersabda: “Diangkat pena dari tiga golongan: (Pertama) dari anak kecil hingga baligh, (kedua) dari orang tidak waras pikirannya hingga sadar (sehat), dan (ketiga) dari orang yang tidur hingga jaga.” (Shahih: Shahihul ‘Jami’us Shaghir no: 3512).
2.    Orang yang terbunuh adalah orang yang terlindungi darahnya, yaitu bukan orang yang darahnya terancam dengan salah satu sebab yang disebutkan dalam hadist Nabi saw:
"Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan satu di antara tiga … dst." (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7641).
3.    Hendaknya si terbunuh bukanlah anak si pembunuh, karena ada hadist Nabi saw: "Seorang ayah tidak boleh dibunuh karena telah membunuh anaknya." (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2214, Tirmidzi II: 428 no: 1422 dan Ibnu Majah II: 888 no: 2661).
4.    Hendaknya si korban bukanlah orang kafir, sedangkan si pembunuh orang muslim. Nabi saw bersabda: “Orang muslim tidak boleh dibunuh karena telah (membunuh) orang kafir.” (Hasan Shahih: Shahih Tirmidzi no: 1141, Fathul Bari XII: 260 no: 6915, Tirmidzi II: 432 no: 1433 dan Nasa’i VIII: 23).
5.    Hendaknya yang terbunuh bukan seorang hamba sahaya, sedang si pembunuh orang merdeka. Al-Hasan berkata: “Orang merdeka tidak boleh dibunuh karena (telah membunuh) seorang budak.” (Shahih Maqthu’: Shahih Abu Daud no: 3787, ‘Aunul Ma’bud XII: 238 no: 4494).

Ini adalah madzhab jumhur ulama’, mereka dengan banyak dalil yang kesemuanya tidak lepas dari pembicaraan. Syaikh Asy-Syinqithi rhm, dalam kitab Adhwa-ul Bayan menyebutkan dalil-dalil tersebut, kemudian beliau berkata:
“Riwayat-riwayat ini banyak, meskipun masing-masing darinya tidak lepas dari pembicaraan, namun sebagiannya memperkokoh sebagian yang lain dan saling menguatkan sehingga kesemuanya pantas dan boleh dijadikan hujjah. Dalil-dalil ini menetapkan bahwa orang merdeka tidak boleh dibunuh karena telah membunuh hamba sahaya. Mereka sepakat tidak ada hak menuntut qishash bagi hamba sahaya yang dianiaya oleh orang merdeka.
Jika tidak ada tuntutan qishash pada sebagian anggota badan, maka sudah barang tentu tidak ada qishash dalam kasus pembunuhan dan tidak ada yang menentang ketetapan ini, kecuali Daud (Az-Zhain) dan Ibnu Ali Laila. Dalil-dalil itu juga menjadi hujjah atas para ulama’ yang berpendapat dalam kasus pembunuhan (oleh orang merdeka terhadap budak) karena tersalah, tidak disengaja, hanya ada kewajiban membayar qimah (sesuatu yang senilai), bukan diat. Namun sekelompok ulama’ membatasi manakala qimahnya tidak sampai melebihi diat orang merdeka.
Dalil-dalil itu juga memutuskan bahwa kalu seorang merdeka menuduh hamba sahaya berbuat zina, maka ia (orang merdeka itu) tidak wajib dijatuhi hukum had menurut mayoritas ulama’, kecuali riwayat dari Ibnu Umar al-Hasan dan kelompok Zhahiriyah yang mewajibkan hukum had atas orang yang menuduh ummul berzina (secara khusus) tuduhan itu kepada ummul walad.”

SEKELOMPOK DIQSISHASH KARENA TELAH MEMBUNUH SEORANG
Apabila ada sekelompok orang sepakat membunuh satu orang, maka mereka semua dibunuh juga. Ini berpijak pada riwayat Imam Malik: Dari Sa’id bin Musayyab bahwa Umar bin Khathab ra pernah membunuh sekelompok orang, yaitu lima atau tujuh orang karena telah membunuh seorang laki-laki dengan pembunuhan secara tipu daya (yaitu membujuk korban hingga mau keluar ke tempat yang sepi lalu dibunuh), dan dia berkata, 'Andaikata penduduk negeri Shan’a bersekongkol membunuhnya, niscaya kubunuh mereka semuanya.'” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2201, Muwaththa’ Malik hal. 628 no: 1584, asy-Syafi’i dalam al-Umm VI: 22 dan Baihaqi VIII: 41).

JELASNYA PELAKSANAN HUKUM QISHASH
Hukum qishash bisa menjadi jelas dilaksanakan dengan salah satu dari dua hal berikut:
1.    Pengakuan dari pelaku
Dari Anas ra, bahwa ada seorang Yahudi menumbuk kepala seorang budak perempuan di antara dua batu. Lalu ia (budak itu) ditanya, “Siapa yang berbuat begini kepadamu? si A atau si B?” Hingga disebutlah nama orang Yahudi itu, lalu dia menganggukkan kepalanya. Kemudian didatangkanlah orang Yahudi itu, lalu (setelah ditanya) dia mengaku. Kemudian Nabi saw menyuruh agar kepala Yahudi itu ditumbuk dengan batu (juga). (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 198 no: 6876, Muslim III: 1413, Nasa’i VIII: 22 dan Ibnu Majjah II: 889 no: 2666).
2.    Kesaksian dua orang laki-laki yang adil
Dari Rafi’ bin Khadif ra berkata: “Pada suatu pagi ada seorang laki-laki dari kaum Anshar terbunuh di daerah Khaibar, lalu berangkatlah keluarganya menemui Nabi saw lantas mereka menyampaikan kasus pembunuhan tersebut kepada Beliau. Kemudian Beliau bersabda, “Apakah kelian memiliki dua laki-laki yang menyaksikan proses pembunuhan saudaramu itu?” Jawab mereka, “Ya Rasulullah, di sana tak ada seorang pun dari kaum muslimin. Mereka hanyalah kaum Yahudi dan tidak jarang mereka ini melakukan penganiayaan lebih kejam daripada ini.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, pilihlah lima puluh di antara mereka, kemudian ambillah sumpah mereka.” Namun mereka menolak. Kemudian Nabi saw membayar diat kepada ahli kurban dari kantongnya sendiri.” (Shahih Lighairihi: Shahih Abu Daud no: 3793 dan ‘Aunul Ma’bud XII: 250 no: 4501)

SYARAT-SYARAT PENYEMPURNAAN PELAKSANAAN QISHASH
Demi kesempurnaan qishash ada tiga syarat yang mesti dipenuhi:
1.    Ahli waris si kurban harus mukallaf. Jika ahli warisnya masih belum dewasa atau gila, maka si pembunuh harus dipenjara hingga ahli warisnya itu mukallaf.
2.    Pihak keluarga korban sepakat menuntut hukum qishash, karena itu manakala ada sebagian di antara mereka yang mema’afkan secara gratis, maka gugurlah hukum qishash dari si pembunuh.
Dari Zaid bin Wahab, bahwa Umar ra pernah diajukan kepadanya seorang laki-laki yang telah membunuh laki-laki lain. Kemudian keluarga si terbunuh menghendaki qishash, maka ada saudara perempuan si terbunuh --dan ia adalah isteri si pembunuh berkata--, “Sungguh bagianku saya maafkan kepada suamiku.” Kemudian Umar berkata, “Hendaklah laki-laki yang membunuh itu memerdekakan budak sebagai sanksi dari pembunuhannya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2222 dan X: 18188)
Darinya (Zaid bin Wahab), ia berkata, “Ada seorang suami mendapati laki-laki lain berduaan dengan isterinya, kemudian dia bunuh isterinya. Kemudian kasus tersebut diajukan kepada Umar bin Khatab ra lalu dia mendapati sebagian saudara isterinya berada di sana, kemudian ia (saudara isterinya itu) menshadaqahkan bagiannya kepadanya (si pembunuh). Kemudian Umar ra menyuruh (si pembunuh) membayar diat kepada mereka semua.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2225 dan Baihaqi VIII: 59)
3.    Pelaksanaan hukuman tidak boleh merembet kepada pihak yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hukum qishash yang wajib dijatuhkan kepada seorang perempuan yang hamil, maka ia tidak boleh dibunuh sebelum melahirkan kandungannya, dan sebelum menyusuinya pada awal penyusuannya.
Yaitu penyusuan pertama kali, penyusuan ini amat sangat penting bagi kesehatan sang bayi, sedangkan melaksanakan hukum qishash pada seorang ibu sebelum menyusuinya (penyusuan pertama), sangat membahayakan si bayi. Kemudian manakala setelah penyusuan pertama itu ada orang yang bersedia menyusuinya, maka serahkanlah kepadanya, lantas sang ibu harus diqishash. Ini sesuai dengan hadist Imam Muslim. Jika ternyata tidak didapati ibu yang siap menyusuinya, maka ibu itu dibiarkan supaya menyusui anaknya dua tahun. Ini sesuai dengan hadist berikut:
Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya ra bahwa ada seorang perempuan al-Ghamidiyah berkata kepada Nabi saw, “(Ya Rasulullah), sesungguhnya saya telah berbuat sebuah kejahatan.” Sabda Beliau, “Kembalilah!” Lalu ia kembali (pulang). Kemudian pada esok harinya, ia datang (lagi) lalu berkata, “(Ya Rasulullah), barangkali engkau menolakku sebagaimana halnya engkau pernah menolak Ma’iz bin Malik? Demi Allah, sesungguhnya saya benar-benar telah hamil.” Sabda Beliau kepadanya, “Kembalilah!” Kemudian ia kembali pulang, kemudian pada esok harinya, ia datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda kepadanya, “Kembalilah kau hingga kamu melahirkan!” Maka kembalilah sang perempuan, kemudian tatkala ia sudah melahirkan, ia datang lagi menemui Beliau dengan membawa bayinya, lantas berkata, “(Ya Rasulullah), ini bayi yang saya lahirkan.” Kemudian Beliau bersabda kepadanya, “Pulanglah dan susuilah bayimu itu hingga engkau menyapihnya.” Kemudian ia datang (lagi) dengan anak kecilnya yang sudah disapih, sementara di tangannya ada makanan yang dimakannya. Kemudian Rasulullah saw menyuruh agar anak kecil itu diserahkan kepada seorang sahabat yang hadir kala itu, lantas Beliau menyuruh shahabat menggali lubang untuk sang perempuan itu, lalu dirajam. Dan, adalah Khalid salah seorang yang merajamnya dengan batu, lalu dia (Khalid) mendapatkan percikan darahnya mengenai pipinya, lalu ia pun mengumpat dan mencacinya. Maka Nabi saw bersabda kepadanya, "Ya Khalid, tenanglah! (jangan emosi), demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh ia benar-benar telah bertaubat, yang andaikata taubat tersebut dilakukan oleh seorang yang banyak memungut pajak-pajak liar niscaya diampuni dosa-dosanya." Dan Rasulullah menyuruh (para sahabat mengurus jenazahnya), lalu jenazah wanita disholatkan, kemudian dikubur. (Shahih: Shahih Abu Daud no: 3733, Muslim III: 1321 no: 1695, Aunul Ma’bud XII: 123 no: 14419 dan redaksi hadist bagi Imam Abu Daud).

TEKNIS PELAKSANAAN HUKUM QISHASH
Prinsip pelaksanaan hukum qishash, si pembunuh harus dibunuh sebagaimana cara ia membunuh, karena hal ini merupakan hukuman yang setimpal dan sepadan. Allah swt menegaskan:
"Oleh sebab itu, barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu." (QS Al-Baqarah: 194)

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (QS An-Nahl: 126)
Di samping itu, Rasulullah saw pernah melempar dengan batu kepala orang Yahudi sebagaimana orang termaksud melempar dengan batu kepala seorang perempuan.

PELAKSANAAN HUKUM QISHASH MENJADI WEWENANG HAKIM
Musafir (pakar tafsir) kenamaan, al-Qurthubi mengatakan, “Tiada khilaf di kalangan ulama’ bahwa yang berwenang melaksanakan hukum qishash, khususnya balas bunuh, adalah pihak penguasa. Mereka inilah yang berwenang melaksanakan hukum qishash dan hukum had dan yang semisalnya, karena Allah swt menuntut segenap kaum Mukminin untuk melaksanakan qishash, kemudian ternyata mereka semua tidak sanggup untuk berkumpul melaskanakan hukum qishash maka mereka mengangkat penguasa (hakim) sebagai wali dari mereka dalam melaksanakan hukum qishash dan lain-lainnya yang termasuk hukum had.” (Al-Jami’ Li-ahkamil Qur-an II: 245 – 246).
Sebab yang demikian itu disebutkan oleh ash-Shawi dalam Hasyiyahnya atas tafsir al-Jalalain. Dia menulis sebagai berikut, "Manakala telah tetap bahwasanya pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja sebagai sebuah permusuhan, maka wajib atas hakim syar’i untuk memberi wewenang untuk wali si terbunuh terhadap si pembunuh. Lalu pihak hakim melaksanakan kebijakan yang dituntut oleh wali (keluarga) si terbunuh terhadap si pembunuh, yaitu balas bunuh, atau memaafkan, atau menuntut diat. Dan wali (keluarga) si terbunuh tidak boleh bertindak terhadap si pembunuh sebelum mendapat izin resmi dari hakim. Karena dalam hal ini terdapat kerusakan dan pengrusakan terhadap wewenang hakim. Oleh sebab itu, manakala pihak wali (keluarga) si terbunuh membunuh si pembunuh sebelum mendapat izin dari penguasa, maka pelakunya harus dijatuhi hukuman ta'zir (hukuman yang berdasar kebijakan hakim'." (Fiqhus Sunnah II: 453).

HUKUM QISHASH SELAIN BALAS BUNUH
Sebagaimana telah berlaku secara sah hukum qishash berupa balas bunuh, maka begitu juga berlaku secara sah hukum yang tidak sampai pada pembunuhan. Allah swt berfirman:
"Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada qishashnya." (QS Al-Maaidah: 45)
Meskipun hukum ini telah diwajibkan pada ummat sebelum kita, sehingga ia menjadi syar’un man-qablana (syariat yang pernah dibelakukan pada umat sebelum kita), namun ia merupakan syariat bagi kita pula karena diakui atau ditetapkan oleh Nabi saw. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebagai berikut:
Dari Anas bin Malik ra bahwa Rubayyi’ binti an-Nadhr bin Anas ra telah memcahkan gigi seri seorang budak perempuan, kemudian mereka (keluarga Rubayyi’) bersikeras untuk membayar diat kepada mereka (keluarga si budak), lalu mereka (keluarga si budak), lalu mereka (keluarga si budak) tidak mau menerima melainkan qishash. Maka datanglah saudara Rubayyi’, Anas bin Nadhr, lalu bekata, “Ya rasulullah, engkau akan memecahkan gigi seri Rubayyi’! Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang haq, janganlah engkau memecahkannya”. Kemudian Beliau bersabda, “Wahai Anas, menurut ketetapan Allah swt (harus) qishash.” Kemudian mereka pada ridha dan memaafkan (Rubayyi’). Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah swt ada yang kalau bersumpah atas nama Allah swt pasti melaksanakannya.” (Shahih: Shahihhul Jami’us Shaghir no: 2228, Fathul Bari V: 306 no: 2703, ‘Aunul Ma’bud XII: 333 no: 4566, Nasa’i VIII no: 27 dan Ibnu Majah II: 884 no: 2649).

SYARAT-SYARAT QISHASH SELAIN BALASAN AKAN PEMBUNUHAN
Untuk Qishash yang selain balas bunuh ditetapkan syarat-syarat berikut:
a.    Yang melaksanakan penganiayaan harus sudah mukallaf
b.    Sengaja melakukan jinayat, tindak penganiayaan. Karena pembunuhan yang bersifat keliru, tidak disengaja, pada asalnya tidak memastikan si pembunuh harus dituntut balas bunuh. Demikian pula halnya tindak pidana yang lebih ringan daripadanya.
c.    Hendaknya status si penganiaya dengan yang teraniaya sama. Oleh karena itu, seorang muslim yang melukai kafir dzimmi tidak boleh diqishash, demikian pula dengan orang merdeka yang melukai hamba sahaya, dan seorang ayah yang melukai anaknya.

HUKUM QISHASH YANG MENIMPA ANGGOTA TUBUH
Untuk melaksanakan hukum qishash yang menimpa bagian anggota tubuh ada tiga syarat yang harus dipenuhi:
1.    Memungkinkan pelaksanaan qishash ini berjalan secara adil dan tidak melahirkan penganiayaan baru. Misalnya memotong persendian siku, pergelangan tangan, atau kedua sisi hidung yang lentur, bukan tulangnya. Maka tidak ada qishash pada tubuh bagian dalam, tidak pula pada tengah lengan dan tidak pula pada tulang yang terletak di bawah gigi (tulang rahang).
2.    Nama dan letak anggota tubuhnya sama. Karenanya, bagian anggota yang kanan tidak boleh dibalas dengan bagian anggota badan yang kiri, bagian anggota tubuh yang kiri tidak boleh dengan yang kanan, jari kelingking tidak boleh dengan jari manis, dan tidak pula sebaliknya karena tidak sama dalam hal nama, dan tidak pula bagian anggota tubuh yang asli dibalas dengan yang tambahan (melalui proses operasi) karena tidak sama dalam letak dan daya manfaatnya.
3.    Kondisi bagian anggota tubuh si penganiaya harus sama dengan yang teraniaya dalam hal kesehatan dan kesempurnaan. Oleh sebab itu, tidak boleh anggota tubuh yang sehat dibalas dengan yang berpenyakit dan tidak pula tangan yang sehat lagi sempurna dibalas dengan tangan yang kurang jari-jarinya: namun boleh sebaliknya.

DIQISHASH KARENA SENGAJA MELUKAI ORANG LAIN
Adapun kasus melukai orang lain secara sengaja, maka dalam kasus tersebut tidak wajib diqishash, kecuali pelaksanaannya sangat memungkinkan, yaitu sekiranya bisa melukai si penganiaya sama dengan luka yang diderita si korban, tanpa ada kelebihan dan pengurangan. Karenanya, apabila pelaksanan qishash ini tidak mungkin menghasilkan luka yang sama dan sepadan, melainkan mesti kadar ukurannya lebih, atau dapat membahayakan si penganiaya, atau justru membahayakan orang yang dijatuhi qishash ini, maka dalam hal ini tidak wajib diqishash, akan tetapi wajib membayar diat kepada si teraniaya.
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 853 – 873

Hikmah Qishas
1.    Terpelihara jiwa dari gangguan pembunuh. Apabila sesorang mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh juga. Karena akibat perbuatan membunuh orang, tentu ia takut membunuh orang lain.

2.    Menjaga masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan menumpahkan darah orang lain. Yang demikian itu disebutkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya :
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 179).

3.    Mewujudkan keadilan dan menolong orang yang terzalimi, dengan memberikan kemudahan bagi wali korban untuk membalas kepada pelaku seperti yang dilakukan kepada korban. Karena itulah, Allah SWT berfirman :
وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَاناً فَلاَ يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُوراً
“Dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. al-Isra`: 33).

4.    Menjadi sarana taubat dan penyucian dari dosa yang telah dilanggarnya, karena qisas menjadi kafarah (penghapus dosa) bagi pelakunya. Hal ini dijelaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya :
 تُبَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا قَرَأَ عَلَيْهِمْ الْآيَةَ فَمَنْ وَفَّى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ عَلَيْهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
“‘Berbai’atlah kepadaku untuk tidak berbuat syirik, tidak mencuri, dan tidak berzina.’ Beliau membacakan kepada mereka ayat, (lalu bersabda), ‘Barangsiapa di antara kalian yang menunaikannya maka pahalanya ada pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan barangsiapa yang melanggar sebagiannya lalu di hukum maka hukuman itu sebagai penghapus dosa baginya. (Adapun) barangsiapa yang melanggarnya lalu Allah tutupi maka urusannya diserahkan kepada Allah, bila Dia kehendaki maka Dia mengazabnya dan bila Dia menghendaki maka Dia mengampuninya.” (Muttafaqun ‘alaihi).


Larangan Qishash di dalam Masjid
Sesungguh Rasulullah SAW telah melarang untuk melaksanakan Qishash di dalam mesjid sebagaimana hadits beliau sebagai berikut: Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang melaksanakan qishash di dalam masjid, melantunkan sya’ir dan melaksanakan hukum hudud di dalamnya.“ Diriwayatkan pula dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Seorang anak tidak boleh menuntut qishash terhadap ayahnya dan dilarang melaksanakan hukum hudud di dalam masjid,” (HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah).








Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Qishas adalah mengambil pembalasan yang sama atau serupa, mirip dengan istilah “utang nyawa dibayar dengan nyawa”. Tidak selamanya penerapan qishas disetiap negara baik. Karena ada kalanya penerapan qishash baik digunakan guna memperminimalisir tindak kejahatan dan kriminal. Lalu qishas juga tidak selamanya pantas digunakan bagi para TKW yang bekerja di negara yang menerapkan hukum qishas seperti Arab Saudi,  dan Pakistan karena terkadang para TKW terpaksa melakukan tindakan kriminal terhadap majikannya demi menjaga kehormatan dirinya. Yang berhak melakukan qishas adalah yang memiliki hak, yaitu para wali korban, dengan syarat mampu melakukan qisas dengan baik sesuai syariat. Apabila tidak mampu, maka diserahkan kepada pemerintah atau wakilnya. Hal ini tentunya dengan pengawasan dan naungan pemerintah atau wakilnya, agar dapat mencegah sikap melampai batas dalam pelaksanaannya, serta untuk memaksa pelaksana menunaikannya sesuai syariat.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku
Ali, Zainudin, 2006.
“Hukum Islam”. Jakarta: Sinar Grafika________.2007.”Huku
m Pidana Islam”.Jakarta: Sinar Grafika
Ensiklopedi Hukum Islam.I Doi,Rahman.1996,”Hudud dan Kewarisan”.Jakarta,
Raja Grafindo PersadaRasjid, Sulaiman.1995.”Fiqh Islam”.Bandung:Sinar BaruAlgensindo Offset
Suryana, Toto.et al.2006.”Pendidikan Agama Islam”.Bandung:Tiga Mutiara.

B. Internet
www.wordpress.com
www.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Ilmu Hadits Riwayah Dan Dirayah

Pengalaman tes di Bank Mandiri

Pidato Bahasa Inggris dan terjemahan tentang Reading is a window to the world