PENELITIAN RASULULLAH TERHADAP SYAIR
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
syair
Kata sya’ir atau syi’ir (الشعر)
menurut etimologi berasal dari kata ‘شعر اوشعر’
yang berarti mengetahui atau merasakan. Adapun menurut terminology terdapat
beberapa pendapat diantaranya: “Suatu kalimat yang sengaja disusun dengan
menggunakan irama dan sajak yang mengungkapkan tentang khayalan dan imajinasi
yang indah”
Syair ialah kalimat yang ber-muqaffa dan ber-wazan dengan
disengaja. Karena itu, hal-hal serupa yang diucapkan secara tidak sengaja bukan
dinamakan sebagai syair.
Dr. Ubadah berkata – seperti halnya Imam Syafi’i dan Al-Ghazali
berpendapat bahwa untaian sya’ir sama saja dengan ucapan biasa. Yang baik
darinya adalah baik, sedangkan yang buruk adalah buruk pula. Demikian pula
mendengarkan sya’ir, ada yang mubah, yang dianjurkan, yang wajib, yang makruh
dan yang haram!
Kemudian ia membagi sya’ir ke dalam tujuh bagian :
1.
Membangkitkan
untuk berziarah ke tempat-tempat suci, dan mengajak kaum Muslim dari seluruh
penjuru bumi agar bergegas menuju al-haramain asy-syarifain (Makkah dan
Madinah).
2.
Membakar
semangat untuk berperang guna membela akidah dan Negara.
3.
Menggambarkan
sengitnya pertempuran, kegagahan dalam perang tanding serta ketabahan para pemberani
di saat-saat yang genting.
4.
Mengenang
jasa orang yang telah wafat.
5.
Melukiskan
saat-saat yang penuh kegembiraan dan kepuasan hati, baik untuk dikenang ataupun
diharapkan kelanggengannya.
6.
Melukiskan
cinta yang suci, mengungkap perasaan para pencinta dan mengharapkan pertemuan
kembali setelah berpisah.
7.
Melukiskan
kebesaran Illahi dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya dengan segala keagungan
yang memang layak bagi-Nya.
B.
Hadist
tentang Syair
Syair telah menjadi bagian dari tradisi orang-orang arab jahiliyah,
sejarah menunjukkan bahwasanya pada zaman Rasulullah Saw telah terbentuk sebuah
pasar syair yang dikenal dengan nama Pasar ‘Uqadz tempat para ahli syair dari
segala penjuru qabilah melantunkan syir-syair karya mereka, dan bagi
syair-syair terbaik diberikan hadiah dan karyanya ditempelkan pada dinding
ka’bah.
Dalam Islam terdapat dua bentuk penjelasan tentang kedudukan syair
ada teks yang menjelaskan tentang kebolehannya dan adapula yang mencelanya,
berikut beberpa teks hadis yang menjelaskan kebolehan syair dan bersyair:
عَنْ عَمْرِو بْنِ
الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَدِفْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ هَلْ مَعَكَ مِنْ شِعْرِ أُمَيَّةَ بْنِ أَبِي
الصَّلْتِ شَيْءٌ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ هِيهْ فَأَنْشَدْتُهُ بَيْتًا فَقَالَ هِيهْ
ثُمَّ أَنْشَدْتُهُ بَيْتًا فَقَالَ هِيهْ حَتَّى أَنْشَدْتُهُ مِائَةَ بَيْتٍ.
Artinya:
Dari Amru bin al-Syarid dari Ayahnya ia berkata : ‘suatu ketika aku
bersama Rasulullah Saw kemudian beliau berkata: “Apakah kamu mengetahui
beberapa (bait) dari syair karya Umayyah bin ash-Shalt?”, aku menjawab : ‘ya’,
beliau berkata: “lantunkanlah!”, kemudian aku melantunkan satu bait, beliau
berkata: “lanjutkan” kemudain aku melantunkan satu bait, beliau berkata:
“lanjutkan” hingga aku melantunkan 100 bait (syair)
Selain riwayat di atas terdapat pula riwayat lain sebagaimana yang
dikeluarkan oleh al-Tirmidzi dalam sunannya :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ فِي عُمْرَةِ
الْقَضَاءِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ بَيْنَ يَدَيْهِ يَمْشِي وَهُوَ
يَقُولُ: (خَلُّوا بَنِي الْكُفَّارِ عَنْ سَبِيلِهِ # الْيَوْمَ نَضْرِبْكُمْ
عَلَى تَنْزِيلِهِ)
(ضَرْبًا
يُزِيلُ الْهَامَ عَنْ مَقِيلِهِ # وَيُذْهِلُ الْخَلِيلَ عَنْ خَلِيلِهِ)
فَقَالَ لَهُ عُمَرُ
يَا ابْنَ رَوَاحَةَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَفِي حَرَمِ اللَّهِ تَقُولُ الشِّعْرَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلِّ عَنْهُ يَا عُمَرُ فَلَهِيَ أَسْرَعُ فِيهِمْ
مِنْ نَضْحِ النَّبْلِ
Artinya :
Dari Anas Bahwasanya Rasulullah Saw masuk ke Makkah pada masa umrah
dan Abdullah bin Rawah sedang berjalan di depan beliau sambil berkata :
“Berikan jalan kepada anak orang-orang kafir #
Hari ini kami akan memukul kalian dirumah kalian
Dengan pukulan yang menghilangkan kesedihan dari peraduannya #
Dan menjauhkan seorang kekasih dari kekasihnya
Umar kemudian berkata kepadanya : ‘wahai Ibnu Rawah dihadapan
Rasulullah Saw dan didalam masjid al-haram kamu melantunkan syair?’ kemudian
Nabi Saw berkata kepada Umar : “Biarkan dia wahai Umar sebab hal itu lebih
mempercepat dari siraman yang baik”
Dalam riwayat yang lain Rasulullah Saw memuji syair salah seorang
sahabat yang bernama Labid bin Rabi’ah Rasulullah Saw bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَصدق كَلِمَةٍ قالها
الشاعر كَلِمَةُ لَبِيدٍ أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا اللَّهَ بَاطِلٌ وكاد أمية
بن أبي الصلت أن يسلم
Artinya ;
Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam beliau
berkata : “Kalimat yang paling benar yang diucapkan oleh penyair adalah kalimat
Labid: “Ketahuilah segala sesuatu yang selain Allah adalah bathil (rusakn dan
binasa)”. Dan hampir saja Umayyah bin Abu al-Shalt memeluk Islam”.
Dalam Riwayat lain Rasulullah Saw mengemukakan bahwasanya terdapat
kandungan hikmah dibalik bait-bait syair sebagaimana sabda Beliau Saw:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ
كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ
الشِّعْرِ حِكْمَةً
Artinya :
Dari Ubai bin Ka’ab Bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya
terdapat hikmah diantara (bait-bait) syair”.
Adapun hadis yang menerangkan akan ketidak bolehan syair dan
bersyair adalah :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ
يَمْتَلِئَ شِعْرًا
Artinya:
Dari Ibnu Umar dari Nabi Saw beliau bersabda: “Lamabung seseorang
penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan syair”.
C.
Pemahaman
Hadis-hadis Syair
Dari beberapa teks hadis di atas menunjukkan akan terjadinya
kontroversi disisi lain Rasulullah Saw membenarkan dan menyuruh sebahgian dari
sahabat beliau untuk melantunkan syair, bahkan beliau sendiri melantunkan syair
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَت
قِيلَ لَهَا هَلْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَمَثَّلُ
بِشَيْءٍ مِنْ الشِّعْرِ قَالَتْ كَانَ يَتَمَثَّلُ بِشِعْرِ ابْنِ رَوَاحَةَ
وَيَتَمَثَّلُ وَيَقُولُ وَيَأْتِيكَ بِالْأَخْبَارِ مَنْ لَمْ تُزَوِّدِ
Artinya :
Dari Aisyah beliau berkata: seseorang bertanya kepadanya: ‘Apakah
Rasulullah Pernah melantunkan syair, Aisyah menjawab: “Beliau pernah
melantunkan Syair Ibnu Rawahah dan beliau melantunkan ‘Dan telah datang
kepadamu berita tanpa tanbahan’.
Namun pada sisi yang lain Rasulullah Saw melarang untuk bersyair
sebagaimana sabda beliau Saw :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ
يَمْتَلِئَ شِعْرًا
Artinya:
Dari Ibnu Umar dari Nabi Saw beliau bersabda: “Lambung seseorang
penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan syair”.
Ketika melihat hadis kedua tentang pelarangan bersyair secara
zahir, maka akan ditemukan pelarangan untuk bersyair secara mutlak, sebab
Rasulullah Saw menyebutkan bahwa “perut seseorang dipenuhi oleh nanah (yang
dapat merusaknya) lebih baik daripada dipenuhi oleh syair”, oleh karena itu
terdapat beberapa ulama yang melarang syair secara mutlak berdasarkan hadis
tersebut. Imam Ibnu Hajar berkata :
“Para ulama terdahulu berbeda pendapat tentang apabila isi sebuah
kitab seluruhnya adalah syair, Al-Sya’bi beprndapat bahwa hal tersebut (kitab
dipenuhi oleh syair) tidak boleh, dan al-Zuhry berpendapat bahwa telah menjadi
sebuah sunnah terdahulu bahwa basamalah yidak boleh tercampur dengan syair,
sementara Said bin Jubair dan Jumhur serta pilihan al-Khatib bahwa buku yang
dipenuhi dengan syair dan basmalah tercampur dengan syair adalah boleh”
Sebenarnya hadis tentang pelarangan bersyair memiliki asabab
al-wurud sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari riwayat Abu Said
al-Khudri beliau berkata :
بَيْنَا نَحْنُ
نَسِيرُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَرْجِ إِذْ
عَرَضَ شَاعِرٌ يُنْشِدُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خُذُوا الشَّيْطَانَ أَوْ أَمْسِكُوا الشَّيْطَانَ …الخ
Artinya:
“Ketika kami sedang berjalan bersama Rasulullah Saw di al-’Araj,
tiba –tiba seorang penyair membacakan syair kepada kami Rasulpun berkata :
“Tahan Syaitan itu, …dst”
Ibnu Baththal berkata: sebahagian ulama berpendapat bahwa syair
yang dimaksud dalam hadis adalah syair-syair yang mengandung hujatan terhadap
Rasulullah Saw . Akan tetapi Abu ubaid secara pribadi berdasarkan kesepakatan
ulama menganggap bahwa penafsiran tentang makna syair adalah penafsiran yang
salah sebab kaum muslimin telah sepakat bahwa satu kalimat yang mengandung
hujatan kepada Rasulullah Saw maka akan menjadikan kufur. Akan tetapi
dikalangan sebahagian ulama melarang syair dan bersyair secara mutlak hal
tersebut didasarkan perkataan Rasulullah Saw : “tahan Syaitan itu” dan firman
Allah yang Artinya:
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. (Q.S.
al-Syu’ara’ : 224)
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut mereka yang melarang syair
secara mutlak menganggap bahwa syair dan bersyair merupkan pekerjaan syaitan
yang sesat. Para ahli tafsir seperti al-Thabary beliau berpendapat bahwa para
ahli syair tersebut mengikuti jejak orang-orang yang sesat bukan jejak
orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan yang dimaksud dengan orang yang sesat
menurut Ibnu Abbas adalah para pembuat syair dari kalangan orang-orang kafir
dan yang lainnya bependapat yang dimaksud dengan orang sesat adalah Syaitan.
Ikrimah berkata bahwa suatu jetika terdapat dua ahli syair yang saling mencaci
satu sama lain (dengan menggunakan syair), maka Allah menurunkan ayat ini
(al-Sya’ara’ : 224). Qatadah berpendapat bahwa para ahli syair memuji seseorang
dengan hal-hal yang bathil dan mencela dengan hal-hal yang bathil pula.
Imam al-Qurthuby mengomentari hadis Abu Said al-Khudri dengan
mengatakan bahwa para ulama berkata bahwasanya Rasulullah Saw melakukan hal
tersebut –yaitu mencela penyair tersebut- karena beliau Saw telah mengetahui
keadaan penyair tersebut, karena penyair tersebut dikenal sebagai penyair yang
menjadikan syair-syairnya sebagai jalan untuk mendapatkan penghasilan sehingga
dia berlebihan dalam memuji ketika diberi, dan berlebihan dalam mencela ketika
tidak diberi, sehingga menyiksa manusia baik dari segi harta maupun kehormatan.
Oleh karena itu mereka yang melakukan hal ini wajib untuk diingkari.
An-Nawawi berkata : syair itu hukumnya boleh selama tidak terdapat
didalamnya hal-hal yang keji dan sejenisnya.
Al-Mubarakfury berkata: yang dimaksud dengan memenuhi (perutnya
dengan syair) adalah ketika syair telah menguasainya dimana dia lerbh
disibukkan dengannya dari al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam liannya, maka hal
tersebut menjadi syair yang tercela apapun bentuknya.
Maka dari itu Imam al-Bukhary dalam shahihnya memberikan bab khusus
tentang syair dengan nama bab dibencinya syair ketika lebih mendominasi manusia
dari al-Qur’an dan dzikir kepada Allah. Jadi apabila seseorang menjadikan
al-Qur’an dan Ibadah kepada Allah sebagai kesibukan utama, maka baginya boleh
untuk membuat syair dan melantunkankannya selama syair tersebut tidak
bertentangan dengan aturan-aturan syari’at.
Berdasarkan pada analisis dari pendapat para ulama di atas dapat
dipahami secara kontekstual bahwa hadis Rasulullah Saw yang menyebutkan secara
eksplisit larangan syair dan bersyair bersifat temporal karena syair yang
terlarang adalah syair yang mengandung pujian yang berlebihan dan dicampuri
dengan kebohongan serta syair yang mengandung cacian, celaan dan hinaan
terhadap harkat dan martabat manusia baik secara khusus maupun umum. Sehingga
hadis tentang larangan syair dan bersyair hanya dapat dipahami dengan kaidah :
العبرة بخصوص السبب لا
بعموم اللفظ
“Yang dijadikan sebagai patokan adalah kekhususan sebab bukan
keumuman lafadh”
Akan tetapi Rasulullah Saw sebagai seorang arab memiliki
kecenderungan melantunkan syair dan mendengarkan syair sebagaimana hadis-hadis
yang menjelaskan akan kebolehan syair dan melantunkan syair tetapi beliau tidak
membuat atau menysun syair karena kedudukan beliau sebagai Rasul hal ini
ditegaskan oleh dalam firmannya yang artinya: “Dan kami tidak mengajarkan syair
kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu
tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan” (Q.S. Yasin :
69).
Ayat di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Saw tidak membuat atau
menyusun syair dan tidak mengatakan sebait syair pun, jika beliau ingin
melantunkan syair beliau tidak menyempurnakan atau senantiasa memotong
timbangan syair tersebut, sebagai salah contoh sebagaimana yang diriwayatkan
oleh al-Tirmidzi :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَت
قِيلَ لَهَا هَلْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَمَثَّلُ
بِشَيْءٍ مِنْ الشِّعْرِ قَالَتْ كَانَ يَتَمَثَّلُ بِشِعْرِ ابْنِ رَوَاحَةَ
وَيَتَمَثَّلُ وَيَقُولُ وَيَأْتِيكَ بِالْأَخْبَارِ مَنْ لَمْ تُزَوِّدِ
Artinya :
Dari Aisyah beliau berkata: seseorang bertanya kepadanya: ‘Apakah
Rasulullah Pernah melantunkan syair, Aisyah menjawab: “Beliau pernah
melantunkan Syair Ibnu Rawahah dan beliau melantunkan ‘Dan telah datang
kepadamu berita tanpa tanbahan’.
Penjelasan dari Aisyah menunjukkan bahwasanya Rasulullah Saw hanya
menyebutkan dan melantunkan potongan syair karya Abdullah bin Rawahah pada masa
perang Khandak dengan tujuan agar lebih bersemangat, karena sesungguhnya syair
karya Ibnu Rawahah menyebutkan :
ستبدي لك الأيام ماكنت
جاهلا ويأتيك من لم تزوده بالأخبار
“Akan tampak kepadamu hari hari dimana kebodohanmu, Dan akan datang
kepadamu berita dari yang tidak kamu sangka”
Dan banyak lagi riwayat-riwayat lainnya yang menunjukkan bahwa
beliau hanya menyebutkan syair karya sahabat-sahabat beliau dengan cara
memotongnya bukan dari syair-yair karya beliau karena pelarangan dari Allah.
Diantara hikmah larangan Allah terhadap Rasul-Nya untuk menyusun syair dan
melantunkannya adalah agar anggapan kaum kafir bahwa Raslullah Saw adalah
seorang ahli syair dan al-Qur’an merupakan syair karya Muhammad Saw terbantahkan.
Wallahu a’lam
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahawa hadis tentang
larangan syair dan bersyair bersifat temporal karena syair yang terlarang
adalah syair yang menyalahi aturan-aturan syariat, dan syair yang tercela adalah
syair-syair yang disusun untuk merendahkan martabat manusia secara umum dan
kaum muslimin secara khusus dan syair yang sangat menyibukkan melebihi
kesibukan dalam membaca al-Qur’an dan beribadah kepada Allah. Adapun
syair-syair yang disusun dengan tidak mengenyampingkan apalagi meninggalkan
ibadah kepada Allah dengan tujuan untuk menyadarkan manusia dari keterpurukan
mereka atau membangkitkan semangat kaum muslimin dan melemahkan semangat kaum
kafir dan sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka syair tersebut adalah syair
yang dibolehkan dan bahkan mendapatkan posisi terpuji dalam Islam sebagaimana
yang pernah diberikan kepada para ahli syair dari kalangan sahabat seperti
Hassan, Labid, Abdullah bin Rawahah dan selainnya yang dikenal sebagai ahli
syair pada masa mereka. Selian itu larangan mutlak untuk menyusun syair dan
melantunkannya hanya dikhususkan kepada Rasulullah Saw dan tidak kepada
umatnya.
¬¬Wallahu a’lam.
Sumber :
Comments
Post a Comment
Jangan lupa komentar yaaa !!!