1. Dasar-dasar Tasawuf dalam Al-Qur’an dan Hadis
Para pengkaji tentang tasawuf sepakat
bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh
Nabi Saw, dan sebagian besar dari kalangan sahabat dan tabi’in. Kezuhudan ini
merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang
berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi
yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah
Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan
lain-lain.
a. Dasar-dasar dari
Al-Qur’an
Meskipun terjadi
perbedaan makna dari kata shufy akan tetapi jalan yang ditempuh kaum
sufi berlandasakan Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan
urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur’an
yang berbunyi:
مَنْ
كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ
حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
Artinya:
Barang siapa yang menghendaki
keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa
yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari
keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. (Q.S
Asy-Syuura [42] : 20)
Diantara nash-nash al-Qur’an yang
mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat
adalah firman Allah dalam Q.S al-Hadid [57] ayat: 20
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ
بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الأمْوَالِ وَالأوْلادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ
نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الآخِرَةِ
عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Artinya:
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya
kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta
dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi
hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.
Ayat ini menandaskan bahwa kebanyakan
manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang
bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan
menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafus
mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah
dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan
nasab dan banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu). Akan tetapi semua
hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya
seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di
sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan,
sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari
hal-hal yang melallaikan tersebut.
Ayat al-Qur’an lainnya yang dijadikan
sebagai landasan kesufian adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan kewajiban
seorang mu’min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada
Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat
menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut
cukup variatif tetapi penulis mmencukupkan pada satu diantara ayat –ayat
tersebut yaitu firman Allah dalam Q.S ath-Thalaq [65] ayat : 3
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ
حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Artinya:
Dan memberinya rezki dari arah yang
tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan
yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi
tiap-tiap sesuatu.
Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang
menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah
ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap
kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah dalam Q.S as-Sajadah [32] ayat :
16 yang berbunyi :
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya:
Lambung mereka jauh dari tempat
tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan
harap
Maksud dari perkataan Allah Swt
: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya” adalah bahwa mereka
tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam.
Terdapat banyak ayat yang berbicara
tentang urgensi rasa takut dan pengharapan hanya kepada Allah semata akan
tetapi penulis cukupkan pada kedua ayat terdahulu.
Diantara ayat-ayat yang menjadi
landasan tasawuf adalah nash-nash Qura’ny yang menganjurkan untuk beribadah
pada malam hari baik dalam bentuk bertasbih ataupun quyamullail diantaranya
adalah firman Allah :
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ
مَقَامًا مَحْمُودًا
Artinya:
Dan pada sebahagian malam hari
bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu;
Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji. (Q.S al-Isra’
[17] ayat : 79
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلا. وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلا طَوِيلا
Artinya:
Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu)
pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, Maka sujudlah kepada-Nya
dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari. (Q.S
al-Insan [76] ayat : 25-26)
وَالَّذِينَ
يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
Artinya:
Dan orang yang melalui malam hari
dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (Q.S Al-Furqaan [25] ayat :
64)
Tiga ayat di atas menunjukkan bahwa
mereka yang senantiasa menjauhi tempat tidur di malam hari dengan menyibukkan
diri dalam bertasbih dan menghidupkan malam-malamnya dengan shalat dan
ibadah-ibadah sunnah lainnya hanya semata-mata untuk mengharapkan rahmat, ampunan,
ridha, dan cinta Tuhannya kepadanya akan mendapatkan maqam tertinggi di sisi
Allah.
Selain daripada hal-hal yang telah
penulis uraikan sbelumnya, diantara pokok-pokok ajaran tasawuf adalah mencintai
Allah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan hal ini berlandaskan kepada firman
Allah swt dalam Q.S at-Taubah [9] ayat : 24 yang berbunyi
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي
الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Artinya:
Katakanlah: “Jika bapa-bapa ,
anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan
dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
Keputusan-Nya”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
Ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan
terhadap Allah, Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya harus menjadi prioritas
utama di atas segala hal, bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus
melebihi di atas kecintaan kepada ayah, ibu, anak, istri, keluarga, harta,
perniagaan dan segala hal yang bersifat duniawi, atau dengan kata lain bahwa
seseorang yang ingin mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan mendambakan
tempat terbaik diakhirat hendaknya menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai
kecintaan tertinggi dalam dirinya.
b.
Dasar-dasar Dari Hadis
Jika kita melihat dengan seksama akan
sejarah kehidupan Rasulullah Muhammad Saw beserta para sahabat beliau yang
telah mendapatkan keridhaan Allah, maka akan ditemukan sikap kezuhudan dan
ketawadhu’an yang terpadu dengan ibadah-ibadah baik wajib maupun sunnah bahkan
secara individu Rasulullah Saw tidak pernah meninggalkan shalat lail hingga
lutut beliau memar akibat kebanyakan berdiri, ruku’ dan sujud di setiap malam
dan beliau Saw tidak pernah meninggalkan amalan tersebut hingga akhir hayat
beliau Saw, hal ini dilakukan oleh beliau Saw karena kecintaan beliau kepada
sang penggenggam jiwa dan alam semesta yang mencintainya Dia-lah Allah yang
cinta-Nya tidak pernah terputus kepada orang-orang yang mencintai-Nya.
Uraian tentang hadis fi’liyah di atas
merupakan salah satu bentuk kesufian yang dijadikan landasan oleh kaum sufi
dalam menjalankan pahamnya.
Selain itu terdapat pula hadis-hadis
qauliyah yang menjadi bagian dari dasar-dasar ajaran tasawuf dalam Islam,
diantara hadis-hadis tersebut adalah:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى
عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا
يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ
Artinya:
Dari sahabat Sahal bin Saad as-Sa’idy
beliau berkata: datang seseorang kepada Rasulullah Saw dan berkata: ‘Wahai
Rasulullah ! tunjukkanlah kepadaku sutu amalan, jika aku mengerjakannya maka
Allah akan mencintaiku dan juga manusia’, Rasulullah Saw bersabda: “berlaku
zuhudalah kamu di dunia, maka Allah akan mencintaimu, dan berlaku zuhudlah kamu
atas segala apa yang dimiliki oleh manusia, maka mereka (manusia) akan
mencintaimu”.[1]
عَن زَيْدُ بْنُ ثَابِت قال : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ
عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ
الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ
اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا
وَهِيَ رَاغِمَةٌ
Artinya:
Dari Zaid bin Tsabit beliau berkata :
Aku mendengarkan Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan dunia
sebagai tujuannya, maka Allah akan berlepas diri dari segala urusannya dan
tidaklah ia mendapatkan dari dunia sesuatu apapun keculi apa yang telah di
tetapkan baginya. Dan barang siapa yang sangat menjadikan akhirat sebaga
tujuannya, maka Allah akan mengumpulkan seluruh harta kekayaan baginya, dan
menjadikan kekayaan itu dalam hatinya, serta mendapatkan dunia sedang ia dalam
keadaan tertindas”.[2]
Hadis pertama menunjukkan perintah
untuk senantiasa berlaku zuhud di dunia, sementara hadis kedua menjelaskan akan
tercelanya kehidupan yang bertujuan berorientasi keduniaan belaka, dan mulianya
kehidupan yang berorientasi akhirat. Kedua hadis tersebut menjelaskan kemuliaan
orang-orang yang hanya menjadikan Allah sebagai tujuan utama dalam hidupnya dan
merasa cukup atas segala yang Allah telah karunianakan kepadanya.
Selain dari kedua hadis di atas
terdapat pula banyak hadis yang memberikan wasiat kepada orang-orang mu’min
agar tidak bertumpu pada kehidupan dunia semata, dan hendaklah ia senantiasa
memangkas segala angan-angan keduniaan, serta tidak mematrikan dalam dirinya
untuk hidup kekal di dunia dan tidak pula berusaha untuk memperkaya diri di
dalamnya kecuali sesuai dengan apa yang ia butuhkan, oleh karena itu Rasulullah
Saw berwasiat kepada Abdullah bin Umar sambil menepuk pundaknya dan bersabda:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيل
Artinya:
“Hiduplah kamu di dunia seolah-seolah kamu adalah orang asing
atau seorang musafir”[3]
Selain tiga hadis di atas masih
terdapat banyak hadis lainnya yang menjadi landasan munculnya tasawuf atau
sufisme.
Dari keterangan-keterangan yang
berdasarkan al-Qur’an dan hadis di atas menunjukkan bahwa ajaran tasawuf yang
menjadi landasan utamanya adalah kezuhudan terhadap dunia demi mencapai
tingkatan atau maqam tertinggi di sisi Allah yaitu ketika seseorang menjadikan
dunia sebagai persinggahan sementara dan menjadikan rahmat, ridha, dan
kecintaan Allah sebagai tujuan akhir.
2.
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf
1.
Pertumbuhan Tasawuf
Jauh sebelum lahirnya agama islam, memang sudah ada ahli Mistik yang
menghabiskan masa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya; antara
lain terdapat pada India Kuno yang beragam Hindu maupun Budha. Orang-orang
mistik tersebut dinamakan Gymnosophists oleh penulis barat dan disebut
al-hukama’ul uroh oleh penulis Arab. Yang dapay diartikan sebagai orang-orang
bijaksana yang berpakaian terbuka. Hal tersebut dimaksudkan, karena ahli-ahli
mistik orang-orang India selalu berpakaian dengan menutup separuh badannya.
Selanjutnya dapat dikemukakan beberapa nash yang mengandung ajaran
tasawuf yaitu
a.
Nash-nash al-qur’an, antara lain QS;
Al-Ahzab ayat 41-42 yang artinya: : Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah
dengan menyebut nama Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya di waktu pagi dan
petang”.
b.
Nash-nash hadits yang antara lain
artinya berbunyi;” Bersabda Rosulullah saw: takutilah firasat orang-orang
mu’min, karena ia dapat memandang dengan nur (petunjuk Allah). H.R.Bukhary yang
bersumber dari Abi Sa’id Al-Khudriyyi.
Kehidupan Rosulullah saw yang menggambarkan kehidupan sebagai sufi yang
sangat sederhana, karena beliau menjauhkan dirinya dari kehidupan mewah, yang
sebenarnya merupakan amalan zuhud dalam ajaran Tasawuf.
2.
Perkembangan Tasawuf
a.
Pada abad pertama dan kedua Hijriyah
1.
Perkembangan tasawuf
pada masa sahabat
Para sahabat juga
mencontohi kehidupan rosulullah yang serba sederhana, dimana hidupnya hanya
semata-mata diabdikan kepada tuhannya. Beberapa sahabat yang tergolong sufi di
abad pertama, dan berfungsi sebagai maha guru bagi pendatang dari luar kota
Madinah, yang tertarik kepada kehidupan shufi, para sahabat-sahabat tersebut
antara lain, Khulafaurrasyidin, Salman Al-Farisiy, Abu Dzarr Al-Ghifary, dll.
2.
Perkembangan tasawuf pada masa tabi’in
Ulama-ulama sufi dari kalangan tabi’in adalah murid
dari ulama-ulama sufi dari kalangan shahabat. Kalau berbicara tasawuf dan
perkembangannya pada abad pertama, dengan mengemukakan tokoh-tokohnya dari
kalangan shahabat, maka pembicaraan perkembangan tasawuf pada abad kedua dengan
tokoh-tokohnya pula. Tokoh-tokoh ulama sufi Tabi’in antara lain, Al-Hasan
Al-Bashry,Rabi’ah Al-Adawiyah, Sufyaan bin sa’id Ats-Tsaury, Daud Ath-Thaaiy,
dll.
b.
Pada abad ketiga dan keempat hijriyyah.
1. Perkembangan tasawuf pada abad ketiga hijriyyah
Pada abad ini perkembangan tasawuf pesat, hal ini ditandai dengan adanya
segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang
berkembang pada masa itu, sehingga mereka membaginya ke dalam tiga macam,
yakni; Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, ilmu akhlaq dan Metafisika.
Tokoh-tokoh sufi pada masa ini diantaranya; Abu Sulaiman Ad-Daaraany, Ahmad bin
Al-Hawaary Ad-Damasqiy, Abul Faidh Dzuun Nun bin Ibrahim Al-Mishry, dll.
2. Perkembangan tasawuf pada abad ke empat hijriyyah
Pada abad ini ditamdai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat
dibandingkan dengan kemajuannya di abad ketiga hijriyyah, karena usaha maksimal
para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing.
Tokoh-tokoh sufinya antara lain Musa Al-Anshaary, Abu Hamid bin Muhammad, Abu
Zaid Al-Adamy, Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab, dll.
c.
Pada abad kelima hijriyyah
Disamping adanya pertentangan yang turun temurun antara Ulama sufi dengan
ulama Fiqih, maka pada abad kelima ini, keadaan semakin rawan ketika
berkembangnya mahzab Syi’ah ismaa’iliyah; yaitu suatu mahzab yang hendak
mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib.
Karena menganggapnya bahwa dunia ini harus diatur oleh imam, karena dialah yang
langsung menerima petunjuk dari Rosulullah saw.
Menurut mereka ada 12 imam yang berhak mengatur dunia ini yang disebut
sebagai imam mahdi, yang akan mmenjelma ke dunia dengan membawa keadilan dan
memurnikan agama islam. Kedua belas imam itu adalah:
·
Ali bin Abi Thalib
·
Hasan bin Ali
·
Husein bin Ali
·
Ali bin Husein
·
Muhammad Al-Baakir bin Ali bin Husein
·
Ja’far shadiq bin Muhammad Al Baakir
·
Musa Al-Kazhim bin Ja’far Shadiq
·
Ridhaa bin Kazhim
·
Muhammad Jawwad bin Ali Ridha
·
Ali Al-Haadi bin Jawwaad
·
Hasan Askary bin Al-Haadi
·
Muhammad bin Hasan Al-Mahdi
d.
Pada abad keenam, ketujuh dan kedelapan Hijriyyah
1. Perkembangan tasawuf
pada abad keenam Hijriyyah; para ulama yang sangat berpengaruh pada zaman ini
adalah Syihabuddin Abul Futu As-Suhrawardy, Al-Ghaznawy,
2. Perkembangan tasawuf
pada abad ketujuh Hijriyyah; ada beberapa ahli tasawuf yang berpengaruh di abad
ini diantaranya; Umar Abdul Faridh, Ibnu Sabi’iin, Jalaluddin Ar-Ruumy, dll.
e.
Pada abad kesembilan, kesepuluh Hijriyyah dan sesudahnya.
Dalam beberapa abad ini, betul-betul ajaran tasawuf sangat sunyi di dunia
islam, artinya nasibnya lebih buruk lagi dari keadaannya pada abad keenam,
ketujuh dan kedelapan Hijriyyah. Factor yang menyebabkan runtuhnya ajaran
tasawuf ini antara lain; ahli tasawuf sudah kehilangan kepercayaan di kalangan
masyarakat islam. Serta adanya penjajah bangsa eropa yang beragama Nasrani ynag
menguasai seluruh negeri islam.
3.
Pembagian Tasawuf
Untuk mempermudah
pemahaman tentang perkembangan tasawuf dan perubahan pola pikirnya, para
peneliti membagi tasawuf dalam aplikasinya sebagai berikut:
a.
Tasawuf Salafi (
akhlaqi )
Yang dimaksud
dengan salafi di sini adalah suatu paham yang dimiliki oleh para zuhad yang kemudian diaplikasikan dengan perilaku terpuji. Faham tasawuf ini
adalah faham yang diajarkan oleh Rasulullah SAW yang bersumberkan dari
Al-qur’an yang kemudian diikuti dan dipraktekkan oleh Sahabat, tabiin dan
seterusnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa tasawuf salafi ini adalah tasawufnya
Rasulullah SAW. Khalwat yang dilakukan Rasulullah di Gua Hira adalah benih
pertama bagi kehidupan tasawuf atau kehidupan rohaniah yang disebut dengan
ilham atau kehidupan rohaniah.Di sanalah bermulanya Rasulullah SAW mendapat
hidayah, membersihkan hati dan mensucikan jiwa dari noda-noda penyakit yang
biasanya menghinggapi sukma.
Selama hayat
Rasulullah, semua prilaku beliau selalu menjadi perhatian dan anutan para
sahabat, karena segala sifat terpuji terhimpun pada diri beliau. Dan karena
itulah semua pola kehidupan Rasulullah menjadi dasar utama bagi para ulama
tasawuf. Misalnya saja, dalam sehari semalam beliau minimal membaca istighfar
70 kali,melaksanakan sholat dua pertiga malam, belum termasuk sholat
fardhu,rawatib serta dhuha yang tidak kurang dari delapan rakaat setiap hari.
Dalam melaksanakan sholat tahajjud beliau tidak lebih dari sebelas rakaat, tapi
dalam tiap sujud lamanya sama dengan lamanya sahabat membaca lima puluh ayat.
Sholat beliau penuh dengan khusyu’ dan tuma’ninah yang sempurna. Dan inilah
yang menjadi dasar dan unsur tasawuf yang diamalkan dan dijadikan suri tauladan
ulama-ulama tasawuf pada masa masa setelahnya.
b.
Tasawuf Irfani
Tasawuf ini
mempunyai prinsip bahwa jika ingin melakukan prilaku tasawuf ada beberapa
tingkatan atau tahapan yang mengarah pada pembebasan hati dari segala kehidupan
dunia. Tingkatan itu adalah :
·
Maqam taubat
·
Makam Wara’
·
Maqam zuhud
·
Maqam fakir
·
Maqam sabar
·
Maqam tawakkal
·
Maqam ridho
Di antara
tokoh-tokohnya adalah Rabiah al Adawiyah, Abu al faid zunnun bin Ibrahim al
Misri, Junaid al Baghdadi, dan abu Yazid al-Bistami.
c.
Tasawuf Falsafi
Tasawuf yang
berawal dari zuhud kemudian pada perkembangannya bermuara pada filsafat, yang
pada awalnya adalah aplikasi kepada perilaku terpuji kemudian berlanjut kepada
teori. Pada fase ini para sufi mengadakan pengkajian yang lebih mendalam
tentang kandungan ilmu tasawuf, sehingga kemudian tasawuf berkembang bukan
hanya zuhud dalam arti yang sederhana, tetapi mendapat pengaruh luar seperti
ajaran filsafat yunani, ajaran budaya timur dan lainnya yang kelihatannya memang seperti ajaran Islam,
tetapi bila diteliti lebih lanjut terkadang bukan Islam. Sebagai contoh adalah
adanya faham wahdatul wujud, yaitu faham tentang keesaan dan kesatuan
wujud yang beranggapan bahwa yang ada secara hakiki hanyalah satu, yaitu Tuhan.
Sedangkan wujud dari semua yang diciptakan Tuhan bukanlah wujud hakiki tetapi hanyalah
bayangan.
Sumber
http://fatikhun-pustaka.blogspot.com/2012/01/sejarah-perkembangan-tasawuf.html
Comments
Post a Comment
Jangan lupa komentar yaaa !!!