Tasawuf Irfani

Tasawuf Irfani
  1. Hakikat Irfani
Secara etimologis, kata Irfan merupakan kata jadian (mashdar) dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan diindentikkan dengan ma’rifat sufistik. Ahli irfan adalah orang yang berma’rifat kepada Allah.Irfan diperoleh seseorang melalui jalan al-idrak al- mubasyir al wujudani (penagkapan langsung secara emosional), bukan penangkapan secara rasional.
 Sebagai sebuah ilmu, irfan memiliki dua aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggung jawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika. Bagian praktis ini disebut sayr wa suluk (perjalanan rohani). Bagian ini menjelaskan bagaimana seseorang penempuh rohani (salik) yang ingin mencapai tujan puncak kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara berurutan, dankeadaan jiwa (hal) yang bakal dialaminya sepanjang perjalanannya tersebut.
Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah ilahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemanya. Namun,  jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada ketersibukan mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya
Abu Abdul Rahman al-Sulami
BIOGRAFI
Nama lengkap al-Sulami adalah Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi yang bergelar Abu Abdul Rahman al-Sulami, lahir tahun 325 H dan wafat pada bulan Sya'ban 412 H/1012 M. Dia pakar hadits, guru para sufi,l dan pakar sejarah.
Dia seorang syeikh thariqah yang telah dianugerahi penguasaan dalam berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf. Dia mengarang berbagai kitab risalah dalam ilmu tasawuf setelah mewarisi ilmu tasawu dari ayah dan datuknya.
Ayahnya, Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi, wafat 348 H/958 M, ketika al-Sulami menginjak masa remaja. kemudian pendidikannya diambil alih oleh datuknya, Abu 'Amr Ismail ibn Nujayd al-Sulami (w. 360 H/971 M).

PEMIKIRAN
Manusia akan menjadi hamba ('abd) sejati kalau dia sudah bebas (hurr: merdeka) dari selain Tuhan.
Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak Allah, maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa menentang sedikitpun (qana'ah). Karena فاينما تولوا فثم وجه الله , kemanapun engkau berpaling, disitulah wajah Allah (QS. 2:115).
Dalam konsep dzikir, al-Sulami berpendapat bahwa perbandingan antara dzikir dan fakir adalah lebih sempurna fakir, karena kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir bukan oleh fakir dalam proses pembukaan kerohanian. Ada beberapa tingkatan mengenai dzikir, yaitu dzikir lidah, dzikir hati, dzikir sirr (rahasia), dan dzikir ruh.

CORAK PEMIKIRAN
al-Sulami mengambil beberapa tasawuf dari para syeikh yang masyhur, misalnya Ibn Manazil (w. 320 H/932 M), Abu Ali al-Thaqafi, Abu Nashr al-Sarraj (pengarang kitab al-Luma' fi al-Tasawuf), Abu Qasim al-Nasrabadzi dan banyak yang lainnya, dari hal itu, otomatis warna dan corak tasawuf al-Sulami sedikit banyak dipengaruhi oleh tasawuf mereka.
Pada abad ke-3 dan ke-4 H, tasawuf berfungsi sebagai jalan mengenal Allah SWT (ma'rifah) yang tadinya hanya sebagai jalan beribadah. Tasawuf pada masa itu merupakan pengejawantahan tasawuf teoritis. al-Sulami yang lahir dan masuk kelompok sufi pada masa itu, terkenal sebagai penulis sejarah biografi kaum sufi masyhur yang semasa dengannya yaitu dalam kitabnya Adab al-Mutasawwafah. Selain itu, dia juga terkenal dengan kitabnya Thabaqah al-Sufiyin yang juga memaparkan biografi-biografi para sufi.[
al-Sulami menitik tekankan tasawuf pada ketaatan terhadap al-Qur'an, meninggalkan perkara bid'ah dan nafsu syahwat, ta'dzim pada guru/syeikh, serta bersifat pema'af.

KARYA-KARYA AL-SULAMI
Diantara karya-karyanya, yaitu :
a. Adab al-Mutasawwafah
b. Thabaqah al-Sufiyun
c. Risalah al-Malamatiyyah
d. Ghalathah al-Sufiyah
e. al-Futuwwa
f. Adab al-Suhba wa Husn al-'Ushra
g. al-Sama'
h. al-Arba'in fi al-Hadith
i. al-Farq Bayna al-Syari'ah wa al-Haqiqah
j. Jawami' Adab al-Sufiyah
k. Manahij al-'Irfan
l. Maqamat al-Awliya'
m. al-Ikhwah wa al-Akhawat min al-Sufiyah
n. dan lain-lain


Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid Al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Beliau dilahirkan sekitar tahun 200 H/814 M di Bustam, salah satu desa di daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia.
Dahulu Abu Yazid Al-Bustami bernama Thayfur bin Isa Al-Bisthamy. Kakeknya seorang  majusi namun telah masuk islam.  Ia merupakan salah satu dari tiga bersaudara: Adam, Thayfur dan Ali. Mereka semua ahli zuhud dan ibadat. Sedangkan yang agung budinya adalah Abu Yazid.
Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan Ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga Ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Ketika masih kecil, Abu Yazid Al-Bustami sudah gemar belajar berbagai ilmu pengetahuan. Sebelum mempelajari ilmu tasawuf, Abu Yazid Al-Bustami mempelajari ilmu tasawuf, dia belajar agama islam terutama dalam bidang fiqh menurut mazhab Hanafi. Kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat dari Abu Ali Sindi.
Abu Yazid Al-Bustami adalah seorang tokoh sufi yang membawa paham yang berbeda dengan  ajaran tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran tasawuf yang dibawanya banyak ditentang oleh ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia keluar masuk penjara. Abu Yazid Al-Bustami meninggal di Bustam pada tahun 261 H/875 M.

2.2  Pemikiran Tasawuf  Abu Yazid Al-Bustami
Dalam perkembangan tasawuf, yang dipandang sebagai tokoh sufi pertama yang memunculkan persoalan fana dan baqa adalah Abu Yazid Al-Bustami.
Sebagai pahamnya yang dapat dianggap sebagai timbulnya fana dan baqa adalah :
أَعْرِفُهُ بِىْ فَفَنِيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
Artinya:
“Aku tahu pada tuhan melalui diriku hingga aku fana’ (hancur), kemudian aku tahu pada-nya melalui dirinya maka aku pun hidup.” .
جَنَّنِى بِى فَمُتُّ ثُمَّ جَنَّنِىْ بِهِ فَعِشْتُ فَقُلْتُ اَلْجُنُوْنُ بِىْ فَنَاءٌ وَالْجُنُوْنُ بِكَ بَقَاءٌ
Artinya :
“ Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati ; kemudian ia membuat aku gila padanya, dan akupun hidup…..aku berkata : Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila padamu adalah kelanjutan hidup.”
a.      Fana’
Dari segi bahasa al-fana’ berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana’ berbeda dengan al-fasad (rusak), fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain.
Adapun arti fana’ menurut kalangan sufi adalah penghancuran diri (fana’ al-nafs) yaitu perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Pendapat lain mengatakan hilangnya sifat-sifat yang tercela dan yang nampak hanya sifat-sifat terpuji, hilangnya keinginan yang bersifat duniawi dan bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan.
Menurut Abu Yazid al-Bustami, fana’ berarti hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi sehingga tidak lagi merasakan kehadiran tubuh jasmaniahnya sebagai manusia, kesadaran menyatu dalam iradah Tuhan tetapi bukan dalam wujud Tuhan
Dalam proses al-fana’, ada empat situasi yang dialami oleh seseorang yaitu al-sakar, al-satahat, al-zawal al-Hijab dan Ghalab al-Syuhud. Sakar adalah situasi yang terpusat pada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya. Syatahat secara bahasa berarti gerakan sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang terlontar dalam keadaan sakar. Al-Zawal al-Hijab diartikan dengan bebas dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah berada di alam ilahiyat dan ghalab al-Syuhud merupakan tingkat kesempurnaan musyahadah.

b.      Baqa’
Baqa’ merupakan akibat dari fana’ yang secara harfiah berarti kekal, sedangkan menurut para sufi, baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia karena lenyapnya sifat-sifat manusia.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan dari fana’ dan baqa’ adalah mencapai penyatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan sehingga yang disadarinya hanya ada Tuhan dalam dirinya.
c.       Ittihad
Selain pemikirannya mengenai fana’ dan baqa’, Abu Yazid Al-Bustami juga dikenal sebagai penyebar dan pembawa ajaran ittihad dalam tasawuf.
Ittihad artinya bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi yang telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.
Dengan fana`-Nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat tuhan. Keberadaanya dekat pada tuhan dapat dilihat dari Syathahat yang diucapkan beliau :
لَسْتُ أَتَعَجَّبَ مِنْ حُبِّيْ لَكَ فَأَنَا عَبْدٌ فَقِيْرٌ
وَلَكِنِّيْ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبِّكَ لِيْ وَأَنْتَ مَلِكٌ قَدِيْرٌ
Artinya:
“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-mu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku. Karena engkau adalah Raja Mahakuasa”

2.3  Corak Pemikiran Abu Yazid Al-Bustami
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis atau filosof dan sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka disebut tasawuf filsafati yakni tasawuf yang kaya akan pemikiran-pemikiran filsafat.
Salah satu dari tokoh sufi yang memiliki corak pemikiran filsafati atau teosofi yaitu Abu Yazid Al-Bustami. Selain beliau, tokoh sufi lain yang juga dikenal sebagai perintis yaitu Ibn Musarrah dari Andalusia.


2.4  Karya-karya Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid tidak meninggalkan karya tulis, tetapi ia mewariskan sejumlah ucapan dan ungkapan mengenai pemahaman tasawwufnya yang disampaikan oleh murid-muridnya dan tercatat dalam beberapa kitab tasawwuf klasik, seperti ar-Risalah al-Qusyairiyyah, Tabaqat as-Sufiyyah, Kasyf al-Mahjub, Tazkirah al-Auliya, dan al-Luma. Di antara ungkapannya disebut oleh kalangan sufi dengan istilah satahat, yaitu ungkapan sufi ketika berada di pintu gerbang ittihad (kesatuan dengan Allah SWT). Ucapan dan ungkapannya yang digolongkan satahat adalah seperti berikut.

“Maha suci aku, alangkah agung kebesaranku.”
“Tidak ada Tuhan kecuali aku, maka sembahlah aku.”
“Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku.”
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”, Abu Yazid berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha kuasa dan Mahatinggi.
Secara harfiah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid atau yang juga dikenal Bayazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Bayazid pribadi. Dialog yang terjadi sebenarnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah firman Tuhan yang disalurkan melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs.



Husain Ibn Manshur Al-Hallaj
Biografi Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, ia lahir di kampung Tur yang bercorak Arab dekat Baida bagian selatan Persia, pada tanggal 26 Maret 866M yang bertepatan pada tahun 244 H/858 M. Kakeknya Muhammad, semula adalah penyembah api, pemeluk agama Majusi sebelum kemudian masuk Islam. Dan ganeologis Al-Hallaj ada yang mengatakan masih keturunan Abu Ayyub sahabat Rasulullah SAW. Adapun nama “al-Hallaj” yang digelarkan kepadanya dan bahkan lebih terkenal, ialah karena ayah al-Hallaj adalah seorang penenun kain wool (woolcardec), cucu dari Gebr. Bersama ayahnya, al-Hallaj berimigrasi ke sebuah pusat tekstil di Ahwaz dan Tustar.  Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal.

Sejak kecilnya, Al-Hallaj telah bergaul dengan para sufi terkenal. Mulai usia 16 tahun, ia berguru kepada tokoh sufi abad ke-3, yakni Sahl bin Abdullah Al-Tusturi. Selama dua tahun ia belajar kepada Al-Tusturi dengan latihan-latihan yang berat. Kemudian pergi ke Basrah (Irak), lalu ke Baghdad. Ia pernah hidup sebagai pertapa bersama guru sufinya al-Tutsuri, amr Al-Makki, dan Junaid Al-Baghdadi, pada waktu 873-879.
Setelah itu, Al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf, sehingga tidak ada seorang syeikh ternama pun yang tidak pernah dimintainya nasihat dan tuntunannya. Dan dalam pengembaraannya itu ia sempat tiga kali menunaikan ibadah haji.
Dari hasil pengembaraannya itu, Al-Hallaj kemudian menemukan pandangan hidupnya sendiri yang berbeda dari para guru sufi yang dimintai fatwanya. Sehingga pada usia 53 tahun, ia ramai menjadi bahan pembicaraan para ulama, terutama karena pandangan sufistiknya yang dinilai membahayakan. Bahkan ulama fikih terkenal, Ibnu Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa bahwa ajaran mistik Al-Hallaj adalah ajaran sesat. Maka dipenjarakanlah Al-Hallaj selama setahun dan kemudian melarikan diri dari penjara atas pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati kepadanya.[1]
Dari penjara Baghdad, al-Hallaj melarikan diri ke Sus wilayah Ahwas. Disini ia menyembunyikan diri selama 4 tahun. Namun pada tahun 301 H/903 M, ia pun tertangkap dan dimasukkan ke penjara lagi slama 8 tahun. Dan pada tahun 309 H/921M, diadakanlah persidangan ulama di bawah kerajaan bani Abbas pada masa kekhalifahan Al-Muqtadir Billah. Maka pada tanggal 18 Dzulhijah 309 H, dijatuhkanlah sebuah hukuman berat bagi Al-Hallaj, yakni berupa hukum bunuh yakni dengan prosesi sebagai berikut :  
a.       Dipukul dan dicambuk menggunakan cemeti.
b.      Disalib
c.       Dipotong kedua tangan dan kedua kakinya.
d.      Dipenggal lehernya.
e.       Semua anggota tubuhnya dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.
Dalam riwayat lain dikatakan, bahwsannya dalam tiang gantungan, Al-Hallaj dicambuk 1000 kali tanpa mengadu kesakitan. Lalu, dipenggal lehernya. Namun sebelum dipancung, ia diberi kesempatan melakukan shalat dua rakaat, baru kemudian kedua kaki dan tangannya dipotong. Badannya digulung dalam tikar bamboo, direndamkan kedalam nafta, kemudian dibakar. Abu mayatnya itu dihanyutkan ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan selanjutnya dipersaksikan kepada khalayak ramai.[2]

2.      Pemikiran Tasawuf Al-Hallaj
Al-Hallaj adalah seorang tokoh sufistik yang kontroversial. Ia memiliki pemikiran sufistik baru yang praktis tidak sejalan dengan pemikiran sufistik pada umumnya. Satu di antara kebaruannya itu adalah konsep hubungan manusia dengan Tuhan yang dikenal dengan konsep Hulul. Juga pemikirannya tentang Haqiqah Muhammadiyah dan tentang Kesatuan segala agama.[3]
Ø  Ajaran Hulul
Paham ajaran tasawuf Al-Hallaj yang dipaparkan dalam bentuk syair dan natsar. Ajaran Hulul menurut keterangan Abu Nasr Al-Tusi dalam kitabnya al-Luma’ adalah ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[4]
Menurut Al-Hallaj, Allah mempunyai dua sifat dasar, yakni sifat dasar, yakni sifat ketuhanan (Lahut) dan sifat kemanusiaan (Nasut). Demikian halnya dengan manusia, disamping memiliki sifat Nasut, manusia juga memiliki sifat Lahut.
Paham Al-Hallaj ini dapat pula dilihat dari tafsirannya mengenai kejadian Adam dalam ayat alQur’an yang berbunyi :

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS : al-Baqarah: 34).[5]
Berikut ini bait-bait syair dari Al-Hallaj yang menjelaskan tentang konsep hulul :
Kau antara kalbu dan denyutku, berlaku
Bagaikan air mata menetes dari kelopakku
Bisik-Mu pun tinggal dalam relung kalbuku
Bagaikan ruh yanghulul dalam tubuh jadi satu
Dari ungkapan-ungkapan yang tertuang di atas. Yang dimaksud dengan Hulul ialah kesatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan serta pada Hulul terkandung kefana’an total kehendak manusia dalam kehendak ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari Allah.
Maka dengan cara inilah, menurut al-hallaj seorang sufi bias bersatu dengan Tuhan. Jadi ketika Al-Hallaj berkata : ana al-haq (Aku adalah tuhan) bukanlah ruh Al-Hallaj yang mengucapkan itu, tetapi ruh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya. Dengan kata lain, bahwa Al-Hallaj sebenarnya tidak mengaku dirinya Tuhan. Hal ini pernah pula ditegaskan bhwa :
Aku adalah yang Maha Benar
Dan bukanlah yang Maha benar itu aku
Aku hanya satu dari yang Maha Benar
Maka bedakanlah aku dari yang Maha Benar[6]
Ø  Haqiqat Muhammadiyah
Menurut Al Hallaj Nur Muhammad merupakan asal atau sumber dari segala sesuatu , segala kejadian, amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dengan perantaraan Nur Muhammad itulah alam ini dijadikan. Nur Muhammad bisa diartikan juga sebagai pusat kesatuan alam dan pusat kesatuan nubuwwat segala Nabi, dan nabi-nabi itu, nubuwwat-nya ataupun dirinya hanyalah sebagian dari Nur Muhammad itu. Segala macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran dari Nur Muhammad.
Menurut Al Hallaj, kejadian Nabi Muhammad terbentuk dari dua rupa. Pertama, rupanya yang qadim dan azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang ada ini. Kedua, ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seorang Rasul dan Nabi yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang qadim akan tetap ada meliputi alam.
Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad ini nampak adanya pengaruh ajaran filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, teori terjadinya alam semesta diperkenalkan oleh Al Farabi dengan mentransfer teori emanasi Neo Platonisme Plotinus, maka dalam tasawuf teori ini mula-mula diperkenalkan oleh Al Hallaj dengan konsep barunya yang disebut Nur Muhammad atau Haqiqah Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang maujud.
Ø  Kesatuan Segala Agama
Semua agama pada hakikatnya adalah satu, karena semuanya mempunyai tujuan yang sama yaitu mengakui dan menyembah Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan semua agama. Menurut al-hallaj agama-agama itu diberikan kepada manusia bukan atas pilihannya sendiri, tetapi dipilihkan untuknya.
Perbedaan yang ada dalam agama-agama itu hanyalah sekedar bentuk dan sifatnya, sedangkan hakikat dan tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama menyembah Allah. Hal ini berarti tidak ada perbedaan antaramonothoisme (paham satu Tuhan) dengan politheisme (paham banyak Tuhan), atau antara iman dan kufur. Dalam hubunganini al-Hallaj menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh ‘Abd al-hakim Hassan : “Antara kufur dan iman hanya berbeda dari segi namanya saja, sedangkan dari segi hakikatnya tidak ada perbedaan antara keduanya”.[7]

3.      Corak pemikiran Tasawuf al-Hallaj
Corak pemikiran tasawuf Husain Ibn Mansur Al-Hallaj (w.922 M) adalah corak falsafi, yaitu pemikiran dan ajaran sufistik yang banyak terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran yunani, persia, india serta teologi kristen. Yang dimaksud pengaruh di sini adalah hanya dalam aspek metodologinya saja, tidak sampai dalam tataran ajaran-ajaranya, walaupun ada sebagian yang diduga memiliki pengaruh dalam ajaran. Corak falsafi lebih banyak mengunakan simbol-simbol khusus atau alegoris yang sulit dipahami orang umum.
Al-Hallaj dituding penganut Wahdatul wujud, padahal tudingan tersebut semata karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama. Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan Al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya.[8]

4.      Karya-Karya Al-Hallaj
Tentang karya-karya al-Hallaj, menurut Ibnu Nadim tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Sebagiannya antara lain :
v  Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal asmaul kulliyah.
v  Kitab Al Ushul wal Furu’.
v  Kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts.
v  Kitab Al ‘Adlu wat Tauhid.
v  Kitab ‘Ilmul Baqa dan Fana.
v  Kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa.
v  Kitab “Hua, Hua”.
v  Kitab At Thawwasin.
Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 kitab itu. Menurut At-Taftazani, kitab At-Thawasin merupakan kitab al-Hallaj yang paling lengkap dalam menggambarkan paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami, sehingga mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya. Disamping itu, kitab tersebut berisi rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.[9]

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Ilmu Hadits Riwayah Dan Dirayah

Pengalaman tes di Bank Mandiri

Pidato Bahasa Inggris dan terjemahan tentang Reading is a window to the world