Tasawuf Irfani
Tasawuf
Irfani
- Hakikat Irfani
Secara etimologis, kata Irfan merupakan kata jadian
(mashdar) dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan). Adapun secara
terminologis, ‘irfan diindentikkan dengan ma’rifat sufistik. Ahli irfan
adalah orang yang berma’rifat kepada Allah.Irfan diperoleh seseorang melalui
jalan al-idrak al- mubasyir al wujudani (penagkapan langsung secara
emosional), bukan penangkapan secara rasional.
Sebagai sebuah ilmu, irfan memiliki dua
aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah bagian
yang menjelaskan hubungan dan pertanggung jawaban manusia terhadap dirinya,
dunia, dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika. Bagian
praktis ini disebut sayr wa suluk (perjalanan rohani). Bagian ini
menjelaskan bagaimana seseorang penempuh rohani (salik) yang ingin mencapai
tujan puncak kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh
tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara berurutan, dankeadaan jiwa (hal)
yang bakal dialaminya sepanjang perjalanannya tersebut.
Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan
perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, Tuhan serta
alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah ilahi)
yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian
ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemanya. Namun, jika filsafat
hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan
diri pada ketersibukan mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
rasional untuk menjelaskannya
Abu Abdul Rahman al-Sulami
BIOGRAFI
Nama lengkap al-Sulami adalah Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi yang bergelar Abu Abdul Rahman al-Sulami, lahir tahun 325 H dan wafat pada bulan Sya'ban 412 H/1012 M. Dia pakar hadits, guru para sufi,l dan pakar sejarah. Dia seorang syeikh thariqah yang telah dianugerahi penguasaan dalam berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf. Dia mengarang berbagai kitab risalah dalam ilmu tasawuf setelah mewarisi ilmu tasawu dari ayah dan datuknya.
Ayahnya, Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi, wafat 348 H/958 M, ketika al-Sulami menginjak masa remaja. kemudian pendidikannya diambil alih oleh datuknya, Abu 'Amr Ismail ibn Nujayd al-Sulami (w. 360 H/971 M).
PEMIKIRAN
Manusia akan menjadi hamba ('abd) sejati kalau dia sudah bebas (hurr: merdeka) dari selain Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak Allah, maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa menentang sedikitpun (qana'ah). Karena فاينما تولوا فثم وجه الله , kemanapun engkau berpaling, disitulah wajah Allah (QS. 2:115).
Dalam konsep dzikir, al-Sulami berpendapat bahwa perbandingan antara dzikir dan fakir adalah lebih sempurna fakir, karena kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir bukan oleh fakir dalam proses pembukaan kerohanian. Ada beberapa tingkatan mengenai dzikir, yaitu dzikir lidah, dzikir hati, dzikir sirr (rahasia), dan dzikir ruh.
Nama lengkap al-Sulami adalah Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi yang bergelar Abu Abdul Rahman al-Sulami, lahir tahun 325 H dan wafat pada bulan Sya'ban 412 H/1012 M. Dia pakar hadits, guru para sufi,l dan pakar sejarah. Dia seorang syeikh thariqah yang telah dianugerahi penguasaan dalam berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf. Dia mengarang berbagai kitab risalah dalam ilmu tasawuf setelah mewarisi ilmu tasawu dari ayah dan datuknya.
Ayahnya, Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi, wafat 348 H/958 M, ketika al-Sulami menginjak masa remaja. kemudian pendidikannya diambil alih oleh datuknya, Abu 'Amr Ismail ibn Nujayd al-Sulami (w. 360 H/971 M).
PEMIKIRAN
Manusia akan menjadi hamba ('abd) sejati kalau dia sudah bebas (hurr: merdeka) dari selain Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak Allah, maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa menentang sedikitpun (qana'ah). Karena فاينما تولوا فثم وجه الله , kemanapun engkau berpaling, disitulah wajah Allah (QS. 2:115).
Dalam konsep dzikir, al-Sulami berpendapat bahwa perbandingan antara dzikir dan fakir adalah lebih sempurna fakir, karena kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir bukan oleh fakir dalam proses pembukaan kerohanian. Ada beberapa tingkatan mengenai dzikir, yaitu dzikir lidah, dzikir hati, dzikir sirr (rahasia), dan dzikir ruh.
CORAK PEMIKIRAN
al-Sulami mengambil beberapa tasawuf dari para syeikh yang masyhur, misalnya Ibn Manazil (w. 320 H/932 M), Abu Ali al-Thaqafi, Abu Nashr al-Sarraj (pengarang kitab al-Luma' fi al-Tasawuf), Abu Qasim al-Nasrabadzi dan banyak yang lainnya, dari hal itu, otomatis warna dan corak tasawuf al-Sulami sedikit banyak dipengaruhi oleh tasawuf mereka.
Pada abad ke-3 dan ke-4 H, tasawuf berfungsi sebagai jalan mengenal Allah SWT (ma'rifah) yang tadinya hanya sebagai jalan beribadah. Tasawuf pada masa itu merupakan pengejawantahan tasawuf teoritis. al-Sulami yang lahir dan masuk kelompok sufi pada masa itu, terkenal sebagai penulis sejarah biografi kaum sufi masyhur yang semasa dengannya yaitu dalam kitabnya Adab al-Mutasawwafah. Selain itu, dia juga terkenal dengan kitabnya Thabaqah al-Sufiyin yang juga memaparkan biografi-biografi para sufi.[
al-Sulami menitik tekankan tasawuf pada ketaatan terhadap al-Qur'an, meninggalkan perkara bid'ah dan nafsu syahwat, ta'dzim pada guru/syeikh, serta bersifat pema'af.
KARYA-KARYA AL-SULAMI
Diantara karya-karyanya, yaitu :
a. Adab al-Mutasawwafah
b. Thabaqah al-Sufiyun
c. Risalah al-Malamatiyyah
d. Ghalathah al-Sufiyah
e. al-Futuwwa
f. Adab al-Suhba wa Husn al-'Ushra
g. al-Sama'
h. al-Arba'in fi al-Hadith
i. al-Farq Bayna al-Syari'ah wa al-Haqiqah
j. Jawami' Adab al-Sufiyah
k. Manahij al-'Irfan
l. Maqamat al-Awliya'
m. al-Ikhwah wa al-Akhawat min al-Sufiyah
n. dan lain-lain
Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid Al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid
bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Beliau dilahirkan sekitar tahun 200 H/814 M di
Bustam, salah satu desa di daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia.
Dahulu Abu Yazid Al-Bustami bernama Thayfur bin Isa
Al-Bisthamy. Kakeknya seorang majusi
namun telah masuk islam. Ia merupakan
salah satu dari tiga bersaudara: Adam, Thayfur dan Ali. Mereka semua ahli zuhud
dan ibadat. Sedangkan yang agung budinya adalah Abu Yazid.
Keluarga Abu Yazid termasuk
keluarga yang berada di daerahnya tetapi ia lebih memilih hidup sederhana.
Sejak dalam kandungan Ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai
kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan
memberontak sehingga Ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan
kehalalannya.
Ketika masih kecil, Abu
Yazid Al-Bustami sudah gemar belajar berbagai ilmu pengetahuan. Sebelum
mempelajari ilmu tasawuf, Abu Yazid Al-Bustami mempelajari ilmu tasawuf, dia
belajar agama islam terutama dalam bidang fiqh menurut mazhab Hanafi. Kemudian dia memperoleh pelajaran
tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat dari Abu Ali Sindi.
Abu Yazid Al-Bustami adalah
seorang tokoh sufi yang membawa paham yang berbeda dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh para
tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran tasawuf yang dibawanya banyak ditentang
oleh ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia keluar masuk penjara. Abu
Yazid Al-Bustami meninggal di Bustam pada tahun 261 H/875 M.
2.2 Pemikiran Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami
Dalam
perkembangan tasawuf, yang dipandang sebagai tokoh sufi pertama yang
memunculkan persoalan fana dan baqa adalah Abu Yazid Al-Bustami.
Sebagai pahamnya yang dapat dianggap sebagai timbulnya
fana dan baqa adalah :
أَعْرِفُهُ بِىْ فَفَنِيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ
فَحَيَيْتُ
Artinya:
“Aku tahu
pada tuhan melalui diriku hingga aku fana’ (hancur), kemudian aku tahu pada-nya
melalui dirinya maka aku pun hidup.” .
جَنَّنِى بِى فَمُتُّ ثُمَّ جَنَّنِىْ بِهِ فَعِشْتُ
فَقُلْتُ اَلْجُنُوْنُ بِىْ فَنَاءٌ وَالْجُنُوْنُ بِكَ بَقَاءٌ
Artinya :
“ Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati ;
kemudian ia membuat aku gila padanya, dan akupun hidup…..aku berkata : Gila
pada diriku adalah kehancuran dan gila padamu adalah kelanjutan hidup.”
a. Fana’
Dari segi bahasa al-fana’
berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana’ berbeda dengan al-fasad (rusak), fana’
artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu
kepada sesuatu yang lain.
Adapun arti fana’ menurut
kalangan sufi adalah penghancuran diri (fana’ al-nafs) yaitu perasaan atau
kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Pendapat lain mengatakan
hilangnya sifat-sifat yang tercela dan yang nampak hanya sifat-sifat terpuji,
hilangnya keinginan yang bersifat duniawi dan bergantinya sifat-sifat
kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan.
Menurut Abu Yazid
al-Bustami, fana’ berarti hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi
sehingga tidak lagi merasakan kehadiran tubuh jasmaniahnya sebagai manusia,
kesadaran menyatu dalam iradah Tuhan tetapi bukan dalam wujud Tuhan
Dalam proses al-fana’, ada
empat situasi yang dialami oleh seseorang yaitu al-sakar, al-satahat, al-zawal
al-Hijab dan Ghalab al-Syuhud. Sakar adalah situasi yang terpusat pada satu
titik sehingga ia melihat dengan perasaannya. Syatahat secara bahasa berarti
gerakan sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai ucapan yang terlontar
di luar kesadaran, kata-kata yang terlontar dalam keadaan sakar. Al-Zawal
al-Hijab diartikan dengan bebas dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan
telah berada di alam ilahiyat dan ghalab al-Syuhud merupakan tingkat
kesempurnaan musyahadah.
b. Baqa’
Baqa’ merupakan akibat dari
fana’ yang secara harfiah berarti kekal, sedangkan menurut para sufi, baqa’
adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia
karena lenyapnya sifat-sifat manusia.
Berdasarkan uraian di atas
dapat diketahui bahwa tujuan dari fana’ dan baqa’ adalah mencapai penyatuan
secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan sehingga yang disadarinya hanya ada
Tuhan dalam dirinya.
c. Ittihad
Selain pemikirannya
mengenai fana’ dan baqa’, Abu Yazid Al-Bustami juga dikenal sebagai penyebar
dan pembawa ajaran ittihad dalam tasawuf.
Ittihad artinya bahwa
tingkatan tasawuf seorang sufi yang telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan.
Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai
telah menjadi satu.
Dengan fana`-Nya Abu Yazid
meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat tuhan. Keberadaanya dekat pada tuhan
dapat dilihat dari Syathahat yang diucapkan beliau :
لَسْتُ أَتَعَجَّبَ مِنْ حُبِّيْ لَكَ فَأَنَا عَبْدٌ
فَقِيْرٌ
وَلَكِنِّيْ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبِّكَ لِيْ وَأَنْتَ
مَلِكٌ قَدِيْرٌ
Artinya:
“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-mu
karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku.
Karena engkau adalah Raja Mahakuasa”
2.3 Corak Pemikiran Abu Yazid Al-Bustami
Berkembangnya
tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam
perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, menarik perhatian para pemikir muslim
yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil
sejumlah sufi yang filosofis atau filosof dan sufis. Konsep-konsep tasawuf
mereka disebut tasawuf filsafati yakni tasawuf yang kaya akan
pemikiran-pemikiran filsafat.
Salah
satu dari tokoh sufi yang memiliki corak pemikiran filsafati atau teosofi yaitu
Abu Yazid Al-Bustami. Selain beliau, tokoh sufi lain yang juga dikenal sebagai
perintis yaitu Ibn Musarrah dari Andalusia.
2.4 Karya-karya Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid tidak
meninggalkan karya tulis, tetapi ia mewariskan sejumlah ucapan dan ungkapan
mengenai pemahaman tasawwufnya yang disampaikan oleh murid-muridnya dan
tercatat dalam beberapa kitab tasawwuf klasik, seperti ar-Risalah al-Qusyairiyyah, Tabaqat as-Sufiyyah, Kasyf al-Mahjub,
Tazkirah al-Auliya, dan al-Luma. Di antara ungkapannya disebut oleh
kalangan sufi dengan istilah satahat,
yaitu ungkapan sufi ketika berada di pintu gerbang ittihad (kesatuan dengan
Allah SWT). Ucapan dan ungkapannya yang digolongkan satahat adalah seperti berikut.
“Maha suci aku, alangkah
agung kebesaranku.”
“Tidak ada Tuhan kecuali
aku, maka sembahlah aku.”
“Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku.”
Suatu ketika seseorang
melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu Yazid bertanya, “Siapa yang
engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”, Abu Yazid berkata. ”Pergilah, di
rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha kuasa dan Mahatinggi.
Secara harfiah,
ungkapan-ungkapan Abu Yazid atau yang juga dikenal Bayazid itu adalah pengakuan
dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan
demikian maksudnya. Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan
akunya Bayazid pribadi. Dialog yang terjadi sebenarnya adalah monolog.
Kata-kata itu adalah firman Tuhan yang disalurkan melalui lidah Bayazid yang
sedang dalam keadaan fana’an nafs.
Husain
Ibn Manshur Al-Hallaj
Biografi Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu
Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, ia lahir di kampung
Tur yang bercorak Arab dekat Baida bagian selatan Persia, pada tanggal 26 Maret
866M yang bertepatan pada tahun 244 H/858 M. Kakeknya Muhammad, semula adalah
penyembah api, pemeluk agama Majusi sebelum kemudian masuk Islam. Dan ganeologis
Al-Hallaj ada yang mengatakan masih keturunan Abu Ayyub sahabat Rasulullah SAW.
Adapun nama “al-Hallaj” yang digelarkan kepadanya dan bahkan lebih terkenal,
ialah karena ayah al-Hallaj adalah seorang penenun kain wool (woolcardec), cucu
dari Gebr. Bersama ayahnya, al-Hallaj berimigrasi ke sebuah pusat tekstil di
Ahwaz dan Tustar. Al-Hallaj merupakan
syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal.
Sejak kecilnya, Al-Hallaj telah bergaul
dengan para sufi terkenal. Mulai usia 16 tahun, ia berguru kepada tokoh sufi
abad ke-3, yakni Sahl bin Abdullah Al-Tusturi. Selama dua tahun ia belajar
kepada Al-Tusturi dengan latihan-latihan yang berat. Kemudian pergi ke Basrah
(Irak), lalu ke Baghdad. Ia pernah hidup sebagai pertapa bersama guru sufinya
al-Tutsuri, amr Al-Makki, dan Junaid Al-Baghdadi, pada waktu 873-879.
Setelah itu, Al-Hallaj pergi mengembara
dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu
tasawuf, sehingga tidak ada seorang syeikh ternama pun yang tidak pernah
dimintainya nasihat dan tuntunannya. Dan dalam pengembaraannya itu ia sempat
tiga kali menunaikan ibadah haji.
Dari hasil pengembaraannya itu,
Al-Hallaj kemudian menemukan pandangan hidupnya sendiri yang berbeda dari para
guru sufi yang dimintai fatwanya. Sehingga pada usia 53 tahun, ia ramai menjadi
bahan pembicaraan para ulama, terutama karena pandangan sufistiknya yang
dinilai membahayakan. Bahkan ulama fikih terkenal, Ibnu Daud al-Isfahani
mengeluarkan fatwa bahwa ajaran mistik Al-Hallaj adalah ajaran sesat. Maka
dipenjarakanlah Al-Hallaj selama setahun dan kemudian melarikan diri dari
penjara atas pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati kepadanya.[1]
Dari penjara Baghdad, al-Hallaj
melarikan diri ke Sus wilayah Ahwas. Disini ia menyembunyikan diri selama 4
tahun. Namun pada tahun 301 H/903 M, ia pun tertangkap dan dimasukkan ke
penjara lagi slama 8 tahun. Dan pada tahun 309 H/921M, diadakanlah persidangan
ulama di bawah kerajaan bani Abbas pada masa kekhalifahan Al-Muqtadir Billah.
Maka pada tanggal 18 Dzulhijah 309 H, dijatuhkanlah sebuah hukuman berat bagi
Al-Hallaj, yakni berupa hukum bunuh yakni dengan prosesi sebagai berikut :
a.
Dipukul dan dicambuk menggunakan cemeti.
b.
Disalib
c.
Dipotong kedua tangan dan kedua kakinya.
d.
Dipenggal lehernya.
e.
Semua anggota tubuhnya dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.
Dalam riwayat lain dikatakan, bahwsannya
dalam tiang gantungan, Al-Hallaj dicambuk 1000 kali tanpa mengadu kesakitan.
Lalu, dipenggal lehernya. Namun sebelum dipancung, ia diberi kesempatan
melakukan shalat dua rakaat, baru kemudian kedua kaki dan tangannya dipotong.
Badannya digulung dalam tikar bamboo, direndamkan kedalam nafta, kemudian
dibakar. Abu mayatnya itu dihanyutkan ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke
Khurasan selanjutnya dipersaksikan kepada khalayak ramai.[2]
2.
Pemikiran Tasawuf Al-Hallaj
Al-Hallaj adalah seorang tokoh sufistik
yang kontroversial. Ia memiliki pemikiran sufistik baru yang praktis tidak
sejalan dengan pemikiran sufistik pada umumnya. Satu di antara kebaruannya itu
adalah konsep hubungan manusia dengan Tuhan yang dikenal dengan konsep Hulul.
Juga pemikirannya tentang Haqiqah Muhammadiyah dan tentang Kesatuan segala
agama.[3]
Ø
Ajaran Hulul
Paham ajaran tasawuf Al-Hallaj yang
dipaparkan dalam bentuk syair dan natsar. Ajaran Hulul menurut keterangan Abu
Nasr Al-Tusi dalam kitabnya al-Luma’ adalah ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah
sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[4]
Menurut Al-Hallaj, Allah mempunyai dua
sifat dasar, yakni sifat dasar, yakni sifat ketuhanan (Lahut) dan sifat
kemanusiaan (Nasut). Demikian halnya dengan manusia, disamping memiliki sifat
Nasut, manusia juga memiliki sifat Lahut.
Paham Al-Hallaj ini dapat pula dilihat
dari tafsirannya mengenai kejadian Adam dalam ayat alQur’an yang berbunyi :
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ
فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah
mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan
orang-orang yang kafir. (QS : al-Baqarah: 34).[5]
Berikut ini bait-bait syair dari
Al-Hallaj yang menjelaskan tentang konsep hulul :
Kau antara kalbu dan denyutku, berlaku
Bagaikan air mata menetes dari kelopakku
Bisik-Mu pun tinggal dalam relung kalbuku
Bagaikan ruh yanghulul dalam tubuh jadi satu
Dari ungkapan-ungkapan yang tertuang di atas. Yang
dimaksud dengan Hulul ialah kesatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan
serta pada Hulul terkandung kefana’an total kehendak manusia dalam kehendak
ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari Allah.
Maka dengan cara inilah, menurut
al-hallaj seorang sufi bias bersatu dengan Tuhan. Jadi ketika Al-Hallaj berkata
: ana al-haq (Aku adalah tuhan) bukanlah ruh Al-Hallaj yang mengucapkan itu,
tetapi ruh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya. Dengan kata lain, bahwa
Al-Hallaj sebenarnya tidak mengaku dirinya Tuhan. Hal ini pernah pula
ditegaskan bhwa :
Aku adalah yang Maha Benar
Dan bukanlah yang Maha benar itu aku
Aku hanya satu dari yang Maha Benar
Maka bedakanlah aku dari yang Maha Benar[6]
Ø Haqiqat
Muhammadiyah
Menurut Al Hallaj Nur Muhammad merupakan asal atau sumber
dari segala sesuatu , segala kejadian, amal perbuatan dan ilmu pengetahuan,
dengan perantaraan Nur Muhammad itulah alam ini dijadikan. Nur Muhammad bisa
diartikan juga sebagai pusat kesatuan alam dan pusat kesatuan nubuwwat segala
Nabi, dan nabi-nabi itu, nubuwwat-nya ataupun dirinya hanyalah sebagian dari
Nur Muhammad itu. Segala macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran dari
Nur Muhammad.
Menurut Al Hallaj, kejadian Nabi Muhammad terbentuk dari
dua rupa. Pertama, rupanya yang qadim dan azali, yaitu dia telah terjadi
sebelum terjadinya segala yang ada ini. Kedua, ialah rupanya sebagai manusia,
sebagai seorang Rasul dan Nabi yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan
mengalami maut, tetapi rupanya yang qadim akan tetap ada meliputi alam.
Dalam teori kejadian alam dari Nur Muhammad ini nampak
adanya pengaruh ajaran filsafat. Kalau dalam filsafat Islam, teori terjadinya
alam semesta diperkenalkan oleh Al Farabi dengan mentransfer teori emanasi Neo
Platonisme Plotinus, maka dalam tasawuf teori ini mula-mula diperkenalkan oleh
Al Hallaj dengan konsep barunya yang disebut Nur Muhammad atau Haqiqah
Muhammadiyah sebagai sumber dari segala yang maujud.
Ø Kesatuan Segala
Agama
Semua agama pada hakikatnya adalah satu, karena semuanya
mempunyai tujuan yang sama yaitu mengakui dan menyembah Allah, Tuhan semesta
alam, Tuhan semua agama. Menurut al-hallaj agama-agama itu diberikan kepada
manusia bukan atas pilihannya sendiri, tetapi dipilihkan untuknya.
Perbedaan yang ada dalam agama-agama itu hanyalah sekedar
bentuk dan sifatnya, sedangkan hakikat dan tujuannya adalah sama, yaitu
sama-sama menyembah Allah. Hal ini berarti tidak ada perbedaan
antaramonothoisme (paham satu Tuhan) dengan politheisme (paham banyak Tuhan),
atau antara iman dan kufur. Dalam hubunganini al-Hallaj menjelaskan,
sebagaimana dikutip oleh ‘Abd al-hakim Hassan : “Antara kufur dan iman hanya
berbeda dari segi namanya saja, sedangkan dari segi hakikatnya tidak ada
perbedaan antara keduanya”.[7]
3. Corak
pemikiran Tasawuf al-Hallaj
Corak pemikiran tasawuf Husain Ibn Mansur Al-Hallaj
(w.922 M) adalah corak falsafi, yaitu pemikiran dan ajaran sufistik yang banyak
terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran yunani, persia, india serta teologi
kristen. Yang dimaksud pengaruh di sini adalah hanya dalam aspek metodologinya
saja, tidak sampai dalam tataran ajaran-ajaranya, walaupun ada sebagian yang
diduga memiliki pengaruh dalam ajaran. Corak falsafi lebih banyak mengunakan
simbol-simbol khusus atau alegoris yang sulit dipahami orang umum.
Al-Hallaj dituding penganut Wahdatul wujud, padahal
tudingan tersebut semata karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani
Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana tasawuf yang
mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah
Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya
adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj
adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya
hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka
yang sedang terkejut dalam waktu yang lama. Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada
pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan Al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana
Sufi lainnya.[8]
4.
Karya-Karya Al-Hallaj
Tentang karya-karya al-Hallaj, menurut
Ibnu Nadim tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Sebagiannya antara lain :
v
Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal asmaul kulliyah.
v
Kitab Al Ushul wal Furu’.
v
Kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts.
v
Kitab Al ‘Adlu wat Tauhid.
v
Kitab ‘Ilmul Baqa dan Fana.
v
Kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa.
v
Kitab “Hua, Hua”.
v
Kitab At Thawwasin.
Kedelapan kitab ini adalah yang
terpenting di antara 47 kitab itu. Menurut At-Taftazani, kitab At-Thawasin
merupakan kitab al-Hallaj yang paling lengkap dalam menggambarkan paham
tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami, sehingga mungkin banyak
pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya. Disamping itu, kitab
tersebut berisi rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak gampang
dimengerti.[9]
Comments
Post a Comment
Jangan lupa komentar yaaa !!!