Pemikiran Al-Ghazali
PENDAHULUAN
Imam Al-Ghazali,
sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Ia adalah tokoh terkemuka dalam kancah filsafat
dan tasawuf. Ia juga memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke
seantero dunia Islam.
Sosok Al-Ghazali
mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Ia seorang ulama, pendidik, ahli pikir,
dan pengarang yang produktif. Karya tulisnya ini tidak sedikit yang
dialihbahasakan ke dalam berbagai bahasa di Eropa.
Al-Ghazali adalah
sosok yang banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah yang begitu luas. Ia
telah menggeluti pemikiran-pemikiran, mengkaji dengan detail filsafat dan
teologi, sufi, bahkan ajaran-ajaran mistik gereja Kristen.
Ironisnya sejarah
dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum
mengetahui secara lengkap sejarah hidup dan
pemikiran-pemikirannya yang berharga yang tersebar dalam karya tulisnya.
Untuk mengenal
sekilas sejarah hidup, pemikiran-pemikiran, dan judul-judul karya tulis yang
telah disusun oleh Al-Ghazali, penulis mencoba menyajikannya dalam makalah
sederhana ini. Harapan penulis agar setiap pembaca yang mengikutinya, hendaknya
dapat mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
PEMBAHASAN
I. Biografi dan Karya Tulis Al-Ghazali
1. Biografi Al-Ghazali
Abu Hamid,
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali Al-Tusi, al-Imam
al-Jalil Hujjat al-Islam, lahir di Tus pada tahun 450 H/1059 M. Ia mendapat
julukan Abu Hamid karena salah seorang putanya yang meninggal sewaktu masih
kecil, bernama Hamid. Ia terkenal dengan sebutan “Al-Ghazzali” dan
“Al-Ghazali”. Sebutan “Al-Ghazzali” didasarkan pada pekerjaan dan keahlian
bapak dan kakeknya yaitu menenun. Adapun sebutan “Al-Ghazali” didasarkan pada
daerah Ghazalah di Thusi, Khurasan, Persia (Iran), tempat kelahiran beliau. Ini
dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Ada juga yang mengatakan
penisbatan namanya ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali yaitu Majdudin
Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin
Abul Fadhl bin Ubaidillah. Anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang
mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan
ditasydid (Al Ghazzali).
Ayah beliau gemar
mempelajari ilmu tasawuf, karenanya ia (ayahnya) hanya mau makan dari hasil
usahanya sendiri menenun wol dan menjualnya di kota Thusi. Ia juga terkenal
pencinta ilmu. Usai dari pekerjaannya, sering menghadiri ceramah yang diberikan
para ulama. Setelah mendengar ceramah, ia selalu berdoa dengan kerendahan
hatinya, untuk dianugerahi anak yang kelak menjadi seorang da’i dan ahli agama.
Allah swt mengabulkan do’anya dengan dikaruniakan kepadanya dua orang putera
dan beberapa puteri. Ayah mereka wafat, saat usia Al-Ghazali diduga berusia 6
tahun. Sebelum meninggal, ia mempercayakan pengasuhan Al-Ghazali dan
saudaranya, Ahmad, kepada salah seorang teman sufinya untuk dididik dan
dibimbingnya dengan baik. Ia menyatakan penyesalan mendalam akan keterbatasan
pendidikannya, dan berharap tidak menimpa anak-anaknya. Oleh karenanya ia
meninggalkan sejumlah bekal untuk pembiayaan pendidikan mereka. Dia berpesan,
“Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin
memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon
engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk
keduanya.”
Teman sufi itu
menanggung pendidikan kedua anak itu sampai bekal yang ditinggalkannya habis.
Sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sederhana ini tidak
mampu memberikan tambahan nafkah. Maka, Al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke
suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Dia berkata,
“Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari
harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya
menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut
ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Di madrasah
inilah Al-Ghazali bertemu dengan Yusuf Al-Nassaj, seorang guru sufi ternama
pada masa itu. Sepeninggal gurunya, Al-Ghazali belajar di Thus pada seorang
ulama bernama Ahmad ibnu Muhammad Al-Razakani. Selanjutnya ia belajar kepada
Abu Nashr Al-Isma’ily di Jurjan dan akhirnya ia masuk ke sekolah Nizhamiyah di
Naisapur yang dipimpin oleh Imam Abu Al-Ma’ali ‘Abd Malik Al-Juwayni yang
terkenal dengan julukan Imam Al-Haramain. Imam ini sangat menonjol kemahirannya
dalam ilmu kalam al Asy’ary, bahkan ia pengikut setia aliran ini. Dari penganut
madzhab Syafi’i inilah Al-Ghazali memperoleh ilmu fiqih, ilmu kalam, dan ilmu
logika. Karena kecerdasan yang dimilikinya, semua ilmu tersebut dapat
dikuasainya dalam waktu singkat. Di sini pula ia pernah belajar teori dan
praktik tasawuf kepada Abu Ali Al-Fadhl ibnu Muhammad ibnu Ali Al-Farmadhi.
Dengan demikian, semakin lengkaplah ilmu yang diterimanya di Naisapur. Dengan
kecerdasan dan daya analisis kritis yang luar biasa serta daya hafal yang kuat,
ia memperlihatkan aktivitas studi yang mengagumkan. Imam Al-Haramain pun
mengangkatnya menjadi asisten guru besar dalam memberi kuliah dan bimbingan
kepada para mahasiswa, yang jumlah seluruhnya mencapai 400 orang.
Setelah
Al-Haramain wafat pada 25 Rabi’ul Akhir 478 H, Al-Ghazali pindah ke Mu’askar
dan berhubungan baik dengan Nizham Al-Mulk, Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk,
yang kemudian mengangkatnya menjadi guru besar di sekolah Nizhamiyah Bagdad dan
memintanya untuk pindah ke kota itu. Pengangkatannya ini terjadi saat
Al-Ghazali berusia tiga puluhan tahun, didasarkan atas reputasi ilmiahnya yang
begitu hebat.
Di kota Bagdad,
nama Al-Ghazali semakin populer. Ia banyak dikunjungi orang untuk ditimba
ilmunya, dan mereka mengagumi kuliah dan dialog-dialognya, sehingga reputasi
dan kharismanya mengalahkan para gubernur, para menteri, dan istana khilafah
sendiri. Di sini pula ia mulai berpolemik dengan golongan Ta’limiyah/Bathiniyah
Isma’iliyah dan kaum filosof. Setelah meneliti filsafat dan menyusun
kitab-kitab hasil penelitiannya ini, ia mengalihkan perhatiannya pada
Ta’limiyah untuk menemuka ilmu yaqini sekaligus menjalankan tugas dari Khalifah
untuk menyusun buku tentang hakikat mazhab mereka. Prestasi dalam melikuidasi
pemikiran kaum Bathini ini memperkokoh gelar Hujjat al-Islam.
Al-Ghazali memang
Hujjat al-Islam. Ia membela Islam dalam menolak orang-orang Nasrani, juga
serangannya terhadap kaum Bathini dan kaum filosofi. Ia membentengi mazhab
al-Asy’ariyah, walaupun ia mengritik kajian teoritik yang dilakukan oleh kaum
Mutakallimin dan sikap mereka yang berlebih-lebihan dalam berdebat dan
bermusuhan.
Kekecewaannya
terhadap tidak ditemukannya ilmu yaqini dan terhadap perkembangan situasi
politik yang semakin memburuk, mendorongnya untuk mengkaji tasawuf. Pada
periode ini ia menghadapi dilema berat dan menderita krisis rohani, apakah maju
terus dengan segala risikonya menuju kepuasan, atau mundur yang berarti gagal
total. Akibat krisis ini ia menderita sakit selama enam bulan sehingga dokter
kehabisan daya mengobatinya. Sesudah diambil putusan yang pasti dan sembuh dari
sakitnya, dengan berpura-pura akan menunaikan ibadah haji di hadapan Khalifah
dan teman sejawatnya, ia keluar dari Bagdad pada tahun 488 H.
Dari Bagdad ia
mengembara ke Damaskus. Di Masjid Jami’ Damaskus, ia mengisolasi diri (‘uzlah)
untuk beribadah dan ber-khalwat selama dua tahun. Pada tahun 490 H, ia menuju
Palestina, berdoa di samping makam Nabi Ibrahim a.s. Kemudian ia berangkat ke
Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam
Rasulullah saw. Akhirnya ia terlepas dari kegoncangan jiwa ini dengan jalan
tasawuf.
Setelah sembuh
dari penyakit rohaninya ini, ia kembali memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di
Bagdad atas desakan Perdana Menteri Fakhr Al-Mulk, anak Nizham Al-Mulk. Setelah
Perdana Menteri ini terbunuh, ia kembali ke Thus tempat kelahirannya. Di sini
ia membangun madrasah untuk mengajar tasawuf. Usaha ini ia lakukan sampai ia
wafat pada Jumadil Akhir 505 H/8 Desember 1111 M. Ia wafat dalam usia 55 tahun.
2. Karya Tulis Al-Ghazali
Karya tulis
Al-Ghazali sangat banyak. Di bawah ini hanya akan disebutkan beberapa karya
ilmiahnya yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam.
ü Teologi
1. Al-Munqidh min adh-Dhalal
2. Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
3. Al-Risalah al-Qudsiyyah
4. Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din
5. Mizan al-Amal
6. Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum
al-Akhirah
ü Tasawuf
1. Ihya Ulumuddin
2. Kimiya as-Sa'adah
3. Misykah al-Anwar
ü Filsafat
1.
Maqasid
al-Falasifat
2.
Tahafut
al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang
kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut
ü
Fiqih
1. Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul
ü Logika
1.
Mi`yar al-Ilm
2.
al-Qistas
al-Mustaqim
3.
Mihakk al-Nazar
fi al-Manthiq
II. Pemikiran-pemikiran
Al-Ghazali
1. Hakikat Ilmu dan Struktur Filsafat Ilmu
Al-Ghazali
Dalam menentukan
hakikat ilmu Al-Ghazali sependapat dengan gurunya, Al-Juwayni, yaitu bersifat
nazari, yakni bahwa ilmu itu dihasilkan dari penalaran yang mendefinisikannya
sangat sulit dan hanya bisa dikonsepsi dengan analisis/klasifikasi dan contoh.
Meskipun dalam hal ini ia mengikuti gurunya, tetapi konsep dasar yang
melatarbelakanginya berbeda, yaitu mengenai hakikat “ada” yang membentuk
konsepnya mengenai hubungan lafazh, makna, dan definisi. Dari sini Al-Ghazali
lebih banyak muncul sebagai seorang filosof daripada sebagai mutakallimin.
Terdapat empat derajat klasifikasi “ada” yaitu 1) sesuatu pada realitasnya
sendiri, 2) dalam konsep mental, 3) dalam lafazh (ungkapan lisan), dan 4) dalam
tulisan
Menurutnya,
pengonsepsian hakikat ilmu lebih mudah dengan analisis/klasifikasi untuk
memperoleh makna formal, dan dengan contoh untuk memperoleh makna esensial.
Dengan analisis, ilmu berbeda dengan iradah (kehendak), qudrah (kemampuan) dan
sifat jiwa lain, dan berbeda dengan i’tiqâd (presuposisi), zann (dugaan kuat),
syak (skeptik), jahl (ketidaktahuan) dan berbeda dengan apa yang diperoleh
bukan dengan pembuktian dan berawal dari skeptik.Dengan demikian, hakikat ilmu
tidak cukup hanya dengan sesuainya kepercayaan atau pernyataan dan realitas
objek, tetapi juga harus berdasarkan metode ilmiah tertentu yang berpangkal
pada skeptik, dan putusan itu merupakan keyakinan yang pasti. Metode analitik
dengan ketiga kriteria ilmu menyangkut aspek ontologis, epistemologis, dan
aksiologis yang diajukan Al-Ghazali, dirumuskan oleh Ar-Razi bahwa ilmu adalah
“putusan akal yang pasti dan sesuai dengan realitas objek berdasarkan metode ilmiah
tertentu.”
Dari sudut
struktur prosesial, ada sembilan langkah sistematik yang terbagi tiga sebagai
bedikut:
I.
Tahap
Pra-Penelitian:
1. Identifikasi masalaH
2. Penetapan tujuan penelitian (tercapainya ilmu)
3. Introspeksi dan skeptik
II.
Tahap Proses
Penelitian;
4.
Tahap ontologis
dasar: Asumsi dasar (yaqiniyyah)
III.
Tahap
Epistemologis:
5.
Metodologi
(sarana dan cara) mencapai ilmu fase I
6.
Penyimpulan fase
I (sebagian final, berupa ilmu yaqini atau dugaan kuat, sebagian tentatif)
7.
Aplikasi ilmu
praksis atau zann (dugaan kuat) untuk penyempurnaan jiwa
8.
Tercapainya kasyf
(musyahadah, yaqiniyyah) dan ilmu yaqini sebagai pembuktian dan ilmu final
IV.
Tahap Akhir
(Aksiologi Akhir)
9.
Tercapainya
kebahagiaan abadi (sa’adah abadiyyah)
2. Ontologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali
Esensi ontologi Al-Ghazali adalah
Allah dan selain Allah. Ontologi filsafat ilmu Al-Ghazali tampak dari empat
definisi mengenai ilmu yang dikemukakannya yaitu:
a.
Ilmu artinya
adalah salinan (yang terhasilkan dalam mental subjek) yang sesuai dengan objek
ilmu
b.
Ilmu adalah
ketetapan zihn (akal) pada sesuatu dengan kepastian yang berdasarkan argumen
bahwa ia begini atau bukan begini, dan kenyataan sesuatu itu demikian
c.
‘Alim (yang mengetahui) adalah rumusan tentang
kalbu yang padanya salinan hakikat segala sesuatu bertempat, ma’lum (yang
diketahui) adalah rumusan tentang hakikat segala sesuatu, dan ilmu adalah
rumusan tentang terhasilkannya salinan objek itu pada cermin (kalbu) .... Sebab
ilmu adalah rumusan tentang sampainya hakikat itu ke dalam kalbu
d.
Ilmu adalah
rumusan tentang pengambilan akal terhadap gambar-gambar objek akal dan
kenyataannya pada dirinya, serta tercetaknya gambar-gambar itu pada akal
Berdasarkan
keempat asumsi dasar itu, Al-Ghazali mengklasifikasikan “ada” ke dalam empat
kategori gradual yaitu: “ada hakiki”, “ada dalam mental subjek yang mengetahui”
(yang menjelmakan gambar atau salinan), “ada dalam lafazh lisan” dan “ada dalam
tulisan.”
Menurutnya, ilmu
merupakan sebuah sistem pernyataan ilmiah yang akhirnya bermuara pada konsepsi.
Di sinilah diperlukan alat definisi dan argumen.
3. Epistemologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali
Al-Ghazali
mengenal tiga sarana pokok bagi manusia untuk memperoleh ilmu, yaitu pancaindra
(al-hawas al-khams) berikut khayal dan estimasi (wahm), akal, dan intuisi
(dzauq). Pancaindra bekerja di dunia fisis-sensual, dan berhenti pada batas
kawasan akal. Akal bekerja di kawasan abstrak dengan memanfaatkan input dari
pancaindra melalui khayal dan wahm, dan berhenti pada kawasan tak terjangkau
akal.
Ketiga sarana itu
terlihat dari konsep Al-Ghazali mengenai struktur dan potensi-potensi jiwa
manusia seperti dikemukakan di atas. Dalam konsep ini terlihat bahwa akal teoretis
(‘alimah) merupakan inti hakikat manusia. Di satu pihak, ilmu yang terdapat
pada akal teoretis itu menimbulkan motif (iradah), yang melalui akal praktis
membangkitkan potensi diri (qudrah) untuk melahirkan gerak fisik. Di pihak lain
ilmu muncul dari dua saluran, yaitu saluran luar, yakni wahm dan khayal dari
pancaindra, dan saluran dalam, yakni ilham atau wahyu malaikat dari Allah.
Adapun cara
mencapai ilmu menurut Al-Ghazali dijelaskan sebagai berikut. Ilmu yang muncul
dalam qalbu manusia diperoleh dengan dua cara, yaitu daruri dan bukan daruri.
Jenis pertama ada pada diri manusia sejak lahir secara potensial, tetapi baru
muncul secara aktual ketika akal telah sempurna, dan ketika muncul salinan
objek empiri-sensual dalam khayal yang dilihat akal. Jenis kedua muncul dengan
dua cara, yaitu: a) tanpa diusahakan, seperti wahyu kepada nabi dan ilham
kepada para wali, dan b) usaha langsung, baik berupa istidlal (mencari
petunjuk), nazr (penalaran, penelitian dan kesimpulan), maupun ta’allum
(belajar).
4. Aksiologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali
Dalam filsafat
ilmu Al-Ghazali terdapat sedikitnya tujuh prinsip penerapan ilmu, yaitu: 1)
prinsip objektivitas-kontekstualitas (namun tetap mempertimbangkan konteks
sesuai tuntutan norma-norma etis-yuridis), 2) prinsip ilmu untuk amal dan
kebahagiaan, 3) prinsip prioritas, 4) prinsip proporsionalitas, 5) prinsip
ikhlas, 6) prinsip tanggung jawab moral dan profesional, dan 7) prinsip kerja
sama ilmu dengan politik
Adapun strategi
pengembangan ilmu Al-Ghazali mengandung prinsip sebagai berikut: 1) prinsip
integralisme (baik terhadap ketiga pilar penyangga hakikat ilmu maupun terhadap
disiplin-disiplin ilmu parsial), 2) prinsip trlilogi pengembangan ilmu
(fakta/ontologis, metode/epistemologis, dan nilai etis-yuridis/aksiologis), 3)
prinsip memperluas kawasan kemungkinan, 4) prinsip mengutamakan falsifikasi, 5)
prinsip meminimalisasi pengkafiran dan memperluas rahmat, dan 6) prinsip
substansialitas-utilitas.
III. Analisis
Kritis terhadap Pemikiran Al-Ghazali
Menurut Anwar (2007),
filsafat ilmu seseorang, termasuk Al-Ghazali, hanya bisa dipahami dan dinilai
secara akurat bila dianalisis secara kritis dan komprehensip dari kelima aspek,
yaitu orisinalitas, korespondensi, koherensi-konsistensi dan karakteristik
bentuk logika, implikasinya bagi perkembangan ilmu, dan konsekuensinya bagi
perkembangan praksis manusia.
1. Aspek Orisinalitas Pemikiran
Mengetahui
orisinalitas itu tidak mudah. Sebab, kada masa Al-Ghazali, akumulasi ilmu-ilmu
rasional dan ilmu keislaman sudah demikian memuncak dan mengarah pada stagnasi,
sementara ilmu-ilmu empirik-sensual kurang mendapat perhatian. Filsafat ilmu
Al-Ghazali di satu sisi di satu sisi merupakan responsi dan solusi terhadap
realitas aktual pada masanya, sedangkan di sisi lain merupakan reformulasi dari
solusi dan bahan-bahan ilmiah yang sudah terakumulasi, yang merupakan jawaban
atas problem fundamental kefilsafatannya dalm menemukan kebenaran dan
kebahagiaan abadi.
Dari aspek
orisinalitasnya, filsafat ilmu Al-Ghazali bisa dipandang orisinal karena
filsafatnya itu merupakan sebuah formula baru dalam sebuah sistem filsafat ilmu
yang utuh.
2. Aspek Korespondensi Kebenaran
Dari aspek
korespondensi atau kesesuaian sistem pemikiran dengan realitas objeknya,
disimpulkan bahwa filsafat ilmu Al-Ghazali memiliki korespondensi. Pertama,
karena kelima pilar filsafatnya merupakan kebenaran objektif yang layak
dipertahankan dan dikembangkan. Kelima pilar itu adalah: 1) bahwa ada sesuatu
di luar mental subjek yang mempunyai esensi pada dirinya, 2) untuk mengetahui
esensi segala sesuatu itu, selain Allah, ada jalannya, 3) manusia sebagai
subjek ilmu mempunyai kapabilitas yang cukup untuk menelusuri jalan itu, 4)
bahwa tangkapan/representasi objek pada mental subjek dan pernyataannya,
berdasarkan metode ilmiah tertentu, itulah hakikat ilmu, dan 5) bahwa ilmu
adalah untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia sesuai hakikat dan fungsinya di
tengah alam semesta. Kedua, sifat esensial filsafatnya yang moderat
(sintetik-integralistik), di samping rasional, radikal-esensial dan lugas,
tampak dalam semua dimensi dan aspek filsafat ilmunya. Ketiga, konsep-konsepnya
cocok dengan realitasnya sendiri. Konsep Al-Ghazali mengenai dunia fisis
tentang esensi, sifat esensial sesuatu, hubungan kausal dan koneksial satu sama
lain, sesuai dengan realitas sebagaimana diamati pancaindra dan dipahami akal.
3. Aspek Konsistensi Logis
Dari aspek
koherensi-konsistensi, filsafat ilmu Al-Ghazali memenuhi kriteria
koheren-konsisten. Ungkapannya dalam beberapa kitab yang tampak seperti
kontradiksi, dikarenakan tendensi yang kuat untuk sintesisasi-integralisasi dan
perbedaan penekanan.
4. Implikasi Teoritis
Implikasinya bagi
perkembangan ilmu di Timur terlihat dari menyatunya teologi, filsafat, tasawuf,
dan fiqih, serta mendekatnya Sunni dan Syi’i. Sedangkan di Barat, filsafat ilmu
Al-Ghazali memberikan kontribusi intelektual bagi timbulnya renessans Eropa.
Pengaruh filsafatnya itu masuk melalui kitab-kitabnya yang dikaji para tokoh
Barat dan melalui Ibnu Rusyd yang merupakan Gazalisme minus prinsip-prinsip
ilmiah dan sufisme.
5. Konsekuensi bagi Kehidupan Praktis
Manusia
Konsekuensinya
bagi kehidupan praksis manusia, filsafat ilmu Al-Ghazali kelihatannya dapat
memecahkan problem kehidupan manusia dewasa ini dalam dimensi moral dan
spiritual. Hal ini dimungkinkan apabila filsafat ilmunya diterapkan secara
total-integral antara abstrak-metafisis dengan konkret material secara seimbang,
tidak sebagian-sebagian.
PENUTUP
Hakikat ilmu
menurut Al-Ghazali adalah dihasilkannya salinan objek pada mental subjek
sebagaiman realitas objek itu sendiri, dinyatakan dalam bentuk proposisi
berdasarkan metode ilmiah tertentu untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia.
Ontologi ilmu
filsafat Al-Ghazali mencakup dunia fisis, dunia proses mental, dunia metafisis,
dan realitas mutlak. Sumber ilmunya mencakup empiri sensual, penalaran
rasional, dan wahyu yang bukti kebenarannya berakar pada realitas
empirik-rasional.
Epistemologi
istem Sembilan Tahap” yang terdiri atas tiga fase, yaitu fase pra-penelitian
(penetapan prinsip-prinsip ilmiah), fase epistemologi I (penalaran rasional
berdasarkan data empirik-sensual atau teks wahyu), dan fase epistemologi II
(penyingkapan) melalui latihan dan perjuangan berupa pembersihan diri dari segala
sifat dan akhlak tercela, pengisian diri dengan dengan akhlak terpuji, termasuk
dkikir dan meditasi.
Dalam aksiologi
filsafat ilmu Al-Ghazali terdapat sedikitnya tujuh prinsip penerapan ilmu,
yaitu: 1) prinsip objektivitas-kontekstualitas (namun tetap mempertimbangkan
konteks sesuai tuntutan norma-norma etis-yuridis), 2) prinsip ilmu untuk amal
dan kebahagiaan, 3) prinsip prioritas, 4) prinsip proporsionalitas, 5) prinsip
ikhlas, 6) prinsip tanggung jawab moral dan profesional, dan 7) prinsip kerja
sama ilmu dengan politik.
Bila
dianalisis secara kritis dan komprehensip dari kelima aspek, yaitu
orisinalitas, korespondensi, koherensi-konsistensi dan karakteristik bentuk
logika, implikasinya bagi perkembangan ilmu, dan konsekuensinya bagi
perkembangan praksis manusia, pemikiran Al-Ghazali layak dikatakan sebagai
filsafat.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi
Ontologi dan Aksiologi. Bandung, Pustaka Setia
Madkour, Ibrahim. 1995. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah:
Manhaj wa Tatbiqub al-Juz al-Sani. Terjemahan oleh Yudian Wahyudi
Asmin dengan Judul Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Smith,
Margareth. Al-Ghazali-The Miystic. 2000. Terjemahan oleh Amrouni dengan judul
Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali. Jakarta: Riora Cipta
Supriadi, Dedi.2009. Pengantar Filsafat Islam: Konsep,
Filsuf, dan Ajarannya. Bandung: Pustaka Setia
Zar,
Sirajuddin. 2010. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Pers
http://maspalah.blogspot.com/2011/02/filsafat-ilmu-al-ghazali.html
Comments
Post a Comment
Jangan lupa komentar yaaa !!!