Aliran Fuqoha dalan Ushul Fiqh



Aliran Fuqaha
Aliran kedua ini dikenal dengan istilah aliran Fuqaha yang dianut oleh para ulama mazhab Hanafi. Dinamakan mazhab fuqaha karena para ulama dalam aliran pembahasannya berangkat dari hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam (madzab) mereka, yakni dalam menetapkan kaidah selalu berdasarkan pada hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jika terdapat kaidah yang bertentangan dengan hukum-hukum furu’ yang diterima dari imam-imam mereka, maka kaidah itu diubah sedemikian rupa dan disesuaikan dengan hukum-hukum furu’ tersebut. Jadi para ulama dalam aliran ini selalu menjaga persesuaian antara kaidah dengan hukum furu’ yang diterima dari imam-imam mereka. Misalnya, mereka menetapkan kaidah bahwa “dalil yang umum itu bersifat qath’i (pasti).” Akibatnya, apabila terjadi pertentangan dalil umum dengan hadist ahad (bersifat dzanni), maka dalil umum itu yang diterapkan karena hadis ahad hanya bersifat dzanni (relatif), sedangkan dalil umum bersifat Qath’i yang tidak bisa dikalahkan dan di khususkan oleh yang dzanni.
Di kalangan aliran fuqaha terdapat ahli ushul fiqih yang berupaya untuk mengompromokan kedua aliran tersebut, diantaranya adalah Imam Kamal ibn Al-Humam dalam kitab ushul fiqihnya  Al-Tahrir. Dari sekian banyak kitab ushul fiqih yang dianggap sebagai kitab ushul fiqih standar dalam aliran ini adalah Kitab Al Ushul yang disusun oleh Imam Abu Al Hasan Al Karkhi, Kitab Al Ushul disusun oleh Abu Bakr Al Jashshash, Kitab Ushul Al Sarakhsi disusun oleh Imam Al Sarakhsi, Kitab Ta’sis Al Nazhar disusun oleh Imam Abu Zaid Al Dabusi, dan Kitab Kasyf Al Asrar disusun oleh Imam Al Bazdawi.
Pada abad ke-8 hijriah muncul Imam Abu Ishaq Al Syatibi dengan bukunya Al Muwafaqat fi Al Ushul Al Syari’ah. Pembahasan ushul fiqih yang dikemukakan Imam Al Syatibi dalam kitab ini di samping menguraikan berbagai kaidah yang berkaitan degan aspek-aspek kebahasaan, ia juga mengemukakan Maqasid al-syari’ah (tujuan-tujuan syara’ dalam menentukan hukum), yang selama ini kurang diperhatikan oleh ulama ushul fiqih. Setiap permasalahan dan kaidah kebahasaan yang ia kemukakan senantiasa dikaitkan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Dengan demikian Iman Al Syatibi memberikan warna baru di bidang ushul fiqih dan kitabnya yang diberi nama Al Muwafaqat fi Al Ushul Al Syari’ah yang oleh para ahli ushul fiqih kontemporer dianggap sebagai buku ushul fiqih yang komprehensip dan akomodatif untuk zaman sekarang.
II.4. Aliran Fuqaha’
Aliran ini dianut ulama-ulama mazhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha’, karena aliran ini dalam membangun teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam mazhab mereka. Artinya, mereka tidak membangun suatu teori kecuali setelah melakukan analisis terhadap masalah-masalah furu’ yang ada dalam mazhab mereka. Dalam menetapkan teori tersebut, apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hukum furu’, maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hukum furu’ tersebut. Oleh sebab itu, aliran ini berupaya agar kaidah yang mereka susun sesuai dengan hukum-hukum furu’ yang berlaku dalam mazhabnya, sehingga tidak satu kaidah pun yang tidak bisa diterapkan.
Berbeda dengan aliran Syafi’iyyah/Mutakal¬limin yang sama sekali tidak terpengaruh oleh furu’ yang ada dalam mazhab¬nya, sehingga sering terjadi pertentangan kaidah dengan hukum furu’ dan terkadang kaidah yang dibangun sulit untuk diterapkan. Apabila suatu kaidah bertentangan dengan furu’, maka mereka berusaha untuk mengubati kaidah tersebut dan membangun kaidah lain yang sesuai dengan masalah furu’ yang mereka hadapi. Misalnya, mereka menetapkan kaidah bahwa “dalil yang umum itu bersifat qath’i (pasti)”. Akibatnya, apabila terjadi pertentangan dalil umum dengan hadhsahod (bersifat zhanni), maka dalil yang umum itu yang diterapkan, karena hadits ahad hanya bersifat zhanni (relatif), sedangkan dalil umum tersebut bersifat qath’i, yang qath’i tidak bisa dikalahkan dan dikhususkan oleh yang zhanni.
Di kalangan aliran fuqaha’ sendiri ada ahli ushul fiqh yang berupaya untuk mengkompromikan kedua aliran tersebut, di antaranya adalah Imam Kamal ibn al-Humam dalam kitab ushul fiqhnya, al-Tahnr. Dari sekian banyak kitab ushul fiqh, yang dianggap sebagai kitab ushul fiqh standar dalam aliran ini adalah Kitab al-Ushul yang disusun Imam Abu al-Hasan al-Karkhi, Kitab al-Ushul, disusun Abu Bakr al-Jashshash, Ushul al-Sarakhsi, disusun Imam al-Sarakhsi, Ta'sis al-Nazhar, disusun Imam Abu Zaid al-Dabusi (wafat 430 H), dan kitab Kasyfal-Asrar, disusun Imam al-Bazdawi.
Adapun kitab-kitab ushul fiqh yang menggabungkan teori Syafi'iyyah/ Jumhur Mutakallimin dengan teori fuqaha’, di antaranya adalah:
1. Tanqih al-Ushul, yang disusun Shadr al-Syari’ah (wafat 747 H). Kitab ini merupakan rangkuman dari tiga buku ushul fiqh, yaitu Kasyf al-Asrar karya Imam al-Bazdawi al-Hanafi, al-Mahshul karya Fakh al-Din al-Razi al-Syafi’i, dan Mukhtashar Ibn al-Hajib karya Ibn al-Hajib al-Maliki.
2. Al-Tahrir, disusun Kamal al-Din Ibn al-Humam al-Hanafi (wafat 861 H).
3. Jam’u al-Jawami’, disusun Taj al-Din ‘Abd al-Wahhab al-Subki al-Syafi’i (wafat 771H).
4. Musallam al-Tsubut, disusun Muhibullah ibn ‘Abd al-Syakur (wafat 1119 H).
Pada abad ke-8 Hijriah muncul Imam Abu Ishaq al-Syathibi (wafat 790 H) dengan bukunya al-Muwafaqatfi al-Ushul al-Syari’ah. Pembahasan ushul fiqh yang dikemukakan Imam al-Syathibi dalam kitabnya ini, di samping menguraikan berbagai kaidah yang berkaitan dengan aspek-aspek kebahasaan, la juga mengemukakan maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan syara’ dalam menetapkan hukum), yang selama ini kurang diperhatikan oleh ulama ushul fiqh. Setiap permasalahan dan kaidah kebahasaan yang ia kemukakan senantiasa dikaitkan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. De¬ngan demikian, Imam al-Syathibi memberikan warna baru di bidang ushul fiqh dan kitabnya al-Muiwafaqat fi al-Ushul al-Syari’ah, yang oleh para ahli ushul fiqh kontemporer dianggap sebagai buku ushul fiqh yang konprehensif dan akomodatif untuk zaman sekarang.

2.    Aliran Hanafiyah (Fuqaha)
Aliran ini juga disebut dengan aliran kaum juris (fuqaha) dengan menggunakan metode induktif, yaitu menetapkan teori-teori umum yang didasarkan pada hukum-hukum furu’.[10]Aliran fuqaha dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqih. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqih mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat fiqih Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.[11]
Aliran ini juga disebut aliran yang menggunakan metode ushul Hanafiyah karena mengarah pada penyusunan ushul fiqih yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Hal ini berarti bahwa pengikut madzhab melakukan ijtihad untuk memelihara hukum fiqih yang dicapai oleh ulama pendahulu madzhabnya. Mereka mengemukakan kaidah-kaidah yang mendukung dan menguatkan madzhab mereka. Ulama fuqaha yang lebih banyak menggunakan metode ini adalah ulama kelompok Hanafiyah.[12] Oleh karena itu, metode ushul fiqh yang digunakan dalam aliran ini disebut aliran Hanafiyah.
Para ulama di dalam aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dan pembahasan ushul fiqh dengan menggunakan kaidah-kaidah yang telah digunakan oleh imam mereka, dengan tujuan untuk melestarikan atau membumikan karya-karya imam mereka. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab mereka banyak menyebutkan masalah-masalah khilafiyah. Perhatian mereka hanya tertuju pada penjabaran ushul fiqh imam-imam mereka terhadap masalah khilafiyah mereka sendiri. Namun kadangkala mereka juga memperhatikan kaidah-kaidah ushul fiqh dalam perkara-perkara yang sudah disepakati.
Berbeda dengan aliran Syafi’iyyah/Mutakal­limin yang sama sekali tidak terpengaruh oleh furu’ yang ada dalam mazhab­nya, sehingga sering terjadi pertentangan kaidah dengan hukum furu’ dan terkadang kaidah yang dibangun sulit untuk diterapkan. Apabila suatu kaidah bertentangan dengan furu’, maka mereka berusaha untuk mengubah kaidah tersebut dan membangun kaidah lain yang sesuai dengan masalah furu’ yang mereka hadapi[13]. Misalnya, mereka menetapkan kaidah bahwa “dalil yang umum itu bersifat qath’i (pasti)”. Akibatnya, apabila terjadi pertentangan dalil umum dengan hadis ahad (bersifat zhanni), maka dalil yang umum itu yang diterapkan, karena hadits ahad hanya bersifat zhanni (relatif), sedangkan dalil umum tersebut bersifat qath’i, yang qath’i tidak bisa dikalahkan dan dikhususkan oleh yang zhanni.
Penyusunan seperti ini dilakukan oleh aliran Hanafiyah karena Abu Hanifah tidak meninggalkan buku ushul fiqih. Ushul fiqih madzhabnya disimpulkan kemudian oleh pengikutnya dari hasil-hasil fatwa para muridnya. Setiap kaidah diuji kebenarannya dengan hasil ijtihad yang telah terbentuk, bukan sebaliknya dimana hasil ijtihad yang sudah terbentuk diuji kebenarannya dengan kaidah-kaidah ushul fiqih seperti dalam aliran mutakallimin.[14] Diantara ciri khas aliran Hanafiyah, bahwa kaidah yang disusun dalam Ushul Fiqh mereka semuanya dapat diterapkan. Ini logis karena penyusunan Ushul Fiqh mereka terlebih dahulu disesuaikan dengan hukum furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka. Pendekatan semacam ini, memberi peluang kepada para ulamanya untuk melahirkan kaidah-kaidah baru, yang sebelumnya belum diangkat oleh ulama madzhabnya sendiri. Kendati demikian, kaidah-kaidah baru tersebut, pada faktanya tidak senantiasa terkait dengan kaidah-kaidah ulama madzhabnya itu[15].
Ini tentu berbeda dengan aliran Syafi’iyah atau mutakkalimin yang tidak berpedoman pada hukum furu’ dalam menyusun Ushul Fiqh mereka. Konsekuensinya, tidak jarang terjadi pertentangan antara Ushul Fiqh Syafi’iyah dengan hukum furu’ dan kadangkala kaidah yang disusun aliran ini sulit diterapkan. Abu zahrah menyatakan bahwa perbedaan prinsipil antara aliran kalam dengan aliran Hanafiyah, terletak pada posisi kaidah-kaidah ushul ulama madzhabnya. Kaidah-kaidah imam al-Syafi’i sebagai tokoh utama aliran kalam, bagi para pengikutnya merupakan kaidah-kaidah umum yang langsung dapat dikembangkan pada berbagai furu’ yang mereka hadapi. Sementara kaidah-kaidah Abu Hanifah, bagi para pengikutnya banyak dipergunakan sebagai rujukan dalam perumusan kaidah-kaidah baru[16].
Meskipun aliran ushul fiqih ini tampaknya statis serta sedikit manfaatnya lantaran semata-mata untuk memperthankan madzhab tertentu, akan tetapi secara umum madzhab metode tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran fiqih, pengaruh tersebut antara lain sebagai berikut:
1)   Meskipun metode tersebut semata-mata untuk mempertahankan madzhabnya, Akan tetapi sebagai metode untuk berijtihad ia merupakan kaidah-kaidah yang berdiri sendiri, sehingga dapat dijadikan perbandingan antara kaidah-kaidah tersebut, dengan kaidah-kaidah yang lain. Dengan mengadakan perbandingan, maka secara obyektif dan diperoleh metode yang lebih benar dan kuat.
2)   Karena metode tersebut diterapkan terhadap masalah-masalah furu’, maka ia bukan merupakan pembahasan yang universal dan kaidah-kaidah yang umum yang dapat diterapkan pada masalah-masalah furu’. Dengan mengkaji universalitas kaidah-kaidah tersebut, akan memberikan kekuatan tersendiri.
3)   Mengkaji ushul fiqih dengan sistem tersebut, sama dengan mengkaji perbandingan masalah-masalah fiqih. Kajian tersebut bukannya membandingkan antara masalah-masalah pokok. Sehingga seseorang tidak hanya mengkaji masalah-masalah cabang yang tidak ada kaidahnya, tetapi memperdalam masalah-masalah yang bersifat universal untuk menggali hukum masalah-masalah furu’ (juz’i).
4)   Kajian ini memberikan kaidah pada masalah-masalah furu’, seperti masalah-masalah pokok. Dengan kaidah ini akan diketahui cara menetapkan hukum, merinci masalah-masalah furu’, serta memberikan ketentuan hukum terhadap permasalahan yang terjadi pada saat itu dan belum pernah terjadi pada masa imam-imam terdahulu. Tentu hukum-hukum tersebut tidak akan menyimpang dari ketentuan madzhab mereka, karena hukum-hukum tersebut merupakan pokok yang menetapkan hukum-hukum masalah furu’.[17]
Tidak dapat diragukan lagi, bahwa dengan berkembangnya madzhab tersebut, mak menjadi luaslah cakrawala hukum. Demikian juga para ulamanya tidak hanya mandeg pada hukum-hukum yang diriwayatkan dari para imam madzhab saja, tetapi mereka juga mengembangkan hukum-hukum tersebut dan menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang terjadi dengan menggunakan metode dari para imam terdahulu.
Adapun kitab-kitab ushul fiqih yang disusun menurut aliran ini adalah:
1)      al-Ushul karya Abil Hasan al-Karkhi (wafat 340 H).
2)      Ushulul Fiqh karya Abu Bakar ar-Razi yang terkenal dengan nama al-Jashshash (wafat 380 H).
3)      Ta’sisun Nazhar karya ad-Dabusi (wafat 430 H).
Setelah itu munculah seorang ulama besar yang bernama al-Bazdawi (wafat 483 H). Dia menyusun sebuah kitab yang diberi nama Ushul al-Bazdawi, sebuah kitab usul fiqih yang ringkas dan mudah dicerna. Kitab tersebut terbilang kitab yang paling jelas dan mudah yang disusun menurut metode madzhab Hanafi. Kemudian muncul pula imam as-Sarkhasi penyusun kitab al-Mabshuth yang menyusun sebuah kitab yang senada dengan kitab al-Bazdawi, hanya lebih luas dan mendetail. setelah itu terbitlah beberapa kitab yang disusun menurut metode tersebut yang meresume dan menjabarkan kitab-kitab terdahulu, seperti kitab al-manar.[18]
            Suatu hal yang wajar bila dikatakan bahwa para ulama yang memperdalam ilmu ushul fiqih, baik dari madhab Syafi’i, Maliki maupun Hanbali telah banyak yang menyusun kitab ushul fiqih, menurut metode Hanafi dalam menerapkan kaidah-kaidah kulliyah (universal) pada masalah-masalah furu’ yang terdapat dalam madzhab mereka masing-masing. Seperti kitab Tanqihul Fushul fi ‘Ilmil Ushul, karya al-Qarafi. Kitab tersebut disusun menurut metode madzhab Hanafi dan menjelaskan tentang kaidah-kaidah madzhab Maliki yang diterapkan dalam masalah-masalah furu’. Kitab At-Tamhid fi Takhrijil Furu’ alal Ushul karya Imam Asnawi (wafat 777 H), seorang pengikut madzhab Syafi’i. Dalam kitab tersebut, dia menjelaskan penerapan kaidah-kaidah ushul madzhab Syafi’i terhadap masalah-masalah furu’. Demikian juga kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim yang menjelaskan tentang madzhab Hanbali.[19]

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Ilmu Hadits Riwayah Dan Dirayah

Pengalaman tes di Bank Mandiri

Pidato Bahasa Inggris dan terjemahan tentang Reading is a window to the world