Pengaruh pembelajaran aqidah akhlak terhadap perilaku siswa MTs AL- Khairiyah Mampang Jakarta Selatan



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan berasal dari Bahasa Yunani “peadegogie” yang terbentuk dari kata "pais” yang berarti anak dan “again” yang berarti membimbing. Dari arti kata itu maka dapat didefenisikan secara leksikal bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan pada anak oleh orang dewasa secara sengaja agar anak menjadi dewasa[1]. Kedewasaan anak ditentukan oleh kebudayaannya. Anak lahir dalam keadaan tidak berdaya dan orang dewasa membekalinya agar mampu mempertahankan kelangsungan hidup dan mengembangkan diri. Dalam pengertian ini maka pendidikan adalah sarana pewarisan keterampilan yang telah ada pada satu generasi dapat dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi sesudahnya sesuai dengan dinamika tantangan hidup yang dihadapi oleh anak.
Pendidikan adalah usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai- nilai dalam masyarakat dan kebudayaan ( Tim dosen FIP IKIP Malang, 1980: 1 ). Bila anak berperilaku sesuai dengan tuntutan kultural masyarakatnyamaka dia dikatakan sebagai manusia terdidik.
Pendidikan dapat dibatasi dalam pengertiannya yang sempit dan luas. Dalam arti sempit pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menolong anak didik menjadi matang kedewasaannya. Pendidikan dalam pengertian ini dilakukan oleh institusi formal sekolah. Dalam arti luas, semua manipulasi lingkungan yang


diarahkan untuk mengadakan perubahan perilaku anak merupakan pendidikan. Semua perubahan kepribadian yang positif bukan karena kematengan merupakan hasil dari proses pendidikan. Dalam pengertian ini pendidikan tidak terbatas pada usaha pendewasaan yang dilakukan oleh sekolah tetapi juga oleh keluarga dan masyarakat.
Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu dikirimlah anak ke sekolah. Dengan demikian sebenarnya pendidikan di sekolah adalah bagian dari pendidikan dalam keluarga. Dengan masuknya anak ke sekolah, maka terbentuklah hubungan antara rumah dan sekolah karena antara kedua lingkungan itu terdapat objek dan tujuan yang sama, yakni mendidik anak-anak. Untuk itu perlu mendorong atau memantau kegiatan pendidikan agama islam yang dialami oleh peserta didiknya di dua lingkungan pendidikan lainnya ( keluarga dan masyarakat ), sehingga terwujud kelarasan dan kesatuan tindak dalam pembinaannya.[2]
Agama sebagai dasar pijakan umat manusia memiliki peran yang sangat besar dalam proses kehidupan manusia. Agama telah mengatur pola  hidup manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhannya maupun berinteraksi dengan sesama manusia. Agama selalu mengajarkan yang terbaik dan tidak pernah menyesatkan penganutnya. Untuk itu sebagai benteng pertahanan diri anak didik dalam menghadapi berbagai tantangan di atas, sehingga dengan pendidikan agama ini, dapat menyelamatkan anak agar tidak terjerumus dalam keterbelakangan mental. Pendidikan agama merupakan system pendidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh umat manusia dalam rangka meningkatkan penghayatan dan pengalaman agama dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.[3]
Pendidikan agama islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama islam dari sumber utamanya kitab suci al- Qur’an dan al- Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan pengalaman.[4]
Misi pendidikan agama islam adalah mewujudkan nilai-nilai keislaman di dalam pembentukan manusia Indonesia. Manusia  Indonesia  yang  di  cita- citakan adalah manusia yang bertaqwa, beriman dan produktif dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi bagi peningkatan taraf hidupnya.
Hal ini sesuai dengan rumusan undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bab 1 tentang ketentuan umum pasal 1 dan 2 :
1.   Pendidikan adalah usaha saar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta dididik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,  akhlak mulia,serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat, bangsa dan Negara.
2.   Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.[5]
Di Madarasah pendidikan akhlak tercantum dalam mata pelajaran yakni aqidah akhlak yang menekankan pada kemampuan memahami dan mempertahankan keyakinan atau keamanan yang benar dengan mengamalkan nilai-nilai asmaul husna. Menciptakan suasana keteladanan dan pembiasaan dengan mengamalkan akhlak terpuji dan adab islam melalui pembinaan contoh perilaku sehari-hari. Akhlak mempunyai pengaruh besar terhadap individu manusia dan terhadap suatu bangsa. Dalam suatu syair dikatakan “Sesungguhnya bangsa itu tetap hidup selama bangsa itu berakhlak, jika akhlak mereka lenyap maka hancurlah mereka.[6]
Manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan bersih dalam keadaan seperti ini manusia akan mudah menerima kebaikan atau keburukan. Karena pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk menerima kebaikan atau keburukan hal ini dijelaskan Allah sebagai berikut:
Akan tetapi dalam perjalanannya akhlak menjadi hanya sekedar adab atau tata krama saja. Akhlak kehilangan subtansi filosofinya. Tidak heran jika saat ini,moralitas umat Islam Indonesia mengalami krisis akut akibatnya, keshalihan ritual seringkali tidak berkorelasi positif dengan keshalihan sosial. Padahal, akhlak merupakan ujung tombak agama. Inilah saatnya untuk menghidupkan akhlak kembali. Berdasarkan penelitian pendahuluan masih dijumpai siswa yang tidak menghormati orang tuanya, masih dijumpai siswa yang suka membolos, masih ada siswa yang tidak menghormati guru-gurunya,  masih ada siswa yang suka berkata kotor, dan masih dijumpai siswa yang suka meninggalkan shalat lima waktu, padahal itu semua adalah merupakan bagian dari akhlak yang tidak lain merupakan bagian dari ibadah.
Perilaku negative anak didik sebagai salah satu problem social sangat mengganggu keharmonisan juga keutuhan segala nilai dan kebutuhan dasar kehidupan social. Dalam kenyataan nya perilaku negative anak didik merusak nilai- nilai moral, nilai- nilai social, nilai agama, serta norma- norma hukum yang hidup bertumbuh didalamnya, baik hukum tertuis maupun hukum tidak tertulis.
Pada hakikatnya, perilaku negative anak didik bukanlah suatu problem social yang hadir dengan sendirinya ditengah- tengah masyarakat, akan tetapi problem tersebut muncul karena beberapa keadaan yang berkaitan, bahkan mendukung kenakalan itu. Kehidupan keluarga yang hancur lebur ( broken home ) dan tidak harmonis ( quasi home ) memberi dorongan yang kuat sehingga anak menjadi nakal ( delinquent ). Bukan hanya lingkungan terdekat yang buruk dapat mendorong anak menjadi nakal, akan tetapi kondisi lembaga pendidikan formal yang buruk pun dapat berpengaruh terhadap terjadinya perilaku negative anak didik. Di lembaga- lembaga penddikan formal, terdapat anak- anak baik kemudian menjadi nakal karena pengaruh teman- teman di sekolah yang memang sudah nakal duluan. Demikian pula keadaan lingkungan dengan kondisi negatif akan memberi dukungan dalam proses terjadinya perilaku negative anak didik.
Setiap sekolah memiliki mutu pendidikan, upaya peningkatkan mutu pendidikan sekolah tidak terlepas dari peningkatan mutu guru, fasilitas,  dan sarana prasarana serta pembentukan kurikulum termasuk penggunaan metode pengajaran aktif, dimana guru dalam tugasnya sebagai pengajar harus selalu beusaha agar siswanya mampu mencapai keberhasilan belajar yang optimal.
Kemampuan profesional seorang guru teruji oleh kemampuan menguasai berbagai metode, terutama metode active learning atau belajar aktif, yaitu suatu metode pembelajaran yang mengajak siswa untuk belajar aktif  ,mereka secara aktif menggunakan otak, baik untuk menemukan ide pokok dari materi pelajaran, memecahkan persoalan, atau mengaplikasikan apa yang baru mereka pelajari kedalam suatu persoalan yang ada dalam kehidupan nyata.
Di antara beberapa factor yang dapat mempengaruhi terhadap baik buruknya perilaku anak ada salah satu factor yang menarik untuk saya teliti adalah pembelajaran aqidah akhlak.
Dalam proses pendidikan, metode mempunyai kedudukan sangat penting guna mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan kehati- hatian dalam menentukan metode. Sebab jika salah mengambil suatu metode, tujuan pendidikan tidak akan tercapai bahkan akan membawa mudharat terhadap anak didik.
Menurut Islam, metode yang dapat digunakan untuk mendidik akhlak anak didik antara lain adalah, metode keteladanan, perhatian dan kasih sayang, nasihat, pembiasaan, cerita/ kisah, penghargaan ( reward ), dan hukuman ( punishment ).[7]
Di antara beberapa factor yang dapat mempengaruhi terhadap baik buruknya perilaku anak ada salah satu factor yang menarik untuk saya teliti adalah pembelajaran aqidah akhlak.
Dengan pendidikan aqidah akhlak diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan keimanan siswa yang diwujudkan dalam tingkah laku terpuji. Karena tingkah laku ditentukan oleh keseluruhan pengalaman yang didasari oleh pribadi seseorang. Kesadaran merupakan sebab dari tingkah laku. Artinya, bahwa apa yang difikir dan dirasakan oleh individu itu menentukan apa yang akan dikerjakan. Adanya nilai yang dominan mewarnai seluruh kepribadian seseorang dan ikut serta menentukan tingkah lakunya. Dengan demikaian dapat disadari betapa pentingnya peranan pendidikan aqidah akhlak dalam membentuk tingkah laku siswa seutuhnya. Maka dari itu, Pendidikan aqidah akhlak mempunyai arti dan peranan penting dalam membentuk tingkah laku siswa seutuhnya. Sebab dengan pendidikan   aqidah   akhlak   ini   siswa   tidak   diarahkan   kepada     pencapaian kebahagiaan hidup bukan di dunia saja, tetapi juga untuk kebahagiaan hidup di akhirat.
Dengan pendidikan aqidah akhlak siswa diarahkan mencapai keseimbangan antara kemajuan lahiriah dan batiniah, keselarasan hubungan antara manusia dalam lingkup sosial masyarakat dan lingkungannya juga hubungan manusia  dengan  Tuhannya.  Dan  dengan  pendidikan  aqidah  akhlak  pula siswa akan memiliki derajat yang tinggi yang melebihi makhluk lainnya. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pendidikan aqidah  akhlak dapat dipandang sebagai suatu wadah untuk membina dan membentuk tingkah laku siswa dalam mengembangkan pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) serta pembiasaan (psikomotorik).
Oleh sebab itu pendidikan aqidah akhlak bertujuan untuk menumbuhkan pola tingkah laku siswa melalui latihan kejiwaan, kecerdasan, penalaran, perasaan dan indera. Pendidikan aqidah akhlak dengan tujuan semacam itu harus melayani pertumbuhan siswa dalam segala aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah maupun bahasa. Pendidikan aqidah akhlak harus mendorong semua aspek tersebut ke arah keutamaan serta pencapaian kesempurnaan hidup berdasarkan nilai-nilai Islam.
Dan untuk mewujudkan tujuan di atas tentunya harus ditunjang dengan berbagai faktor seperti diantaranya guru atau pendidik, lingkungan, motivasi dan sarana yang relevan. Perkembangan dan pertumbuhan tingkah laku siswa berjalan cepat atau lambat tergantung pada sejauh mana faktor– faktor pendidikan aqidah akhlak dapat disediakan dan difungsikan sebaik mungkin. Yang dalam hal ini adalah lembaga sekolah pendidikan agama yang diberikan dilingkungan sekolah, lembaga sekolah pendidikan agama tidak hanya menyangkut proses belajar- mengajar yang berlangsung di kelas melalui intelegensia  ( kecerdasan otak ) semata, tetapi juga menyangkut pada hal- hal lain seperti dengan guru, teman dan lingkungan yang sangat berpengaruh pada tingkah lakunya.
Sebagai pelajaran yang tidak bisa terpisahkan dari pelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai suatu keseluruhan, pelajaran Aqidah Akhlak tidak akan mampu sepenuhnya dalam memotivasi peserta didik untuk mempraktikan nilai- nilai  keyakinan  keagamaan  dan  akhlak  karimah  dalam  kehidupan  sehari- hari tanpa berkorelasi dengan pelajaran PAI lainnya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya guru aqidah akhlak perlu bekerja sama dengan guru-guru lainnya, tenaga pendidik, orang tua dan pihak-pihak yang terkait agar anak-anak didik dapat menerapkan apa yang telah dipelajarinya baik dirumah ataupun disekolah.
Dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk membahas dan meneliti kedalam bentuk skripsi dengan judul “Pengaruh Pembelajaran Aqidah Akhlak Terhadap Perilaku Siswa Di Mts Al – Khairiyah Mampang Jakarta Selatan  Tahun Ajaran 2016- 2017.

B.       Identifikasi masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat di identifikasikan masalah sebagai berikut :
1.    Apakah pembelajaran aqidah akhlak dapat mempengaruhi perilaku siswa ?
2.    Apakah lingkungan keluarga dapat mempengaruhi perilaku siswa ?
3.    Apakah lingkungan sekolah dapat mempengaruhi perilaku siswa ?
4.    Apakah lingkungan masyarakat dapat mempengaruhi perilakusiswa?
5.    Apakah teman pergaulan dapat mempengaruhi perilaku siswa ?

C.       Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut serta demi terarahnya penelitian ini maka peneliti perlu membatasi masalah dan obyek penelitian sebagai berikut :
1.         Pembelajaran aqidah akhlah merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran- ajaran dasar yang terdapat dalam Agama Islam yang bersumber dari Al- Qur’an dan Hadits.
2.         Perilaku siswa
Sikap dan perbuatan baik dan buruk yang dilakukan siswa sebelum dan sesudah mempelajari mata pelajaran aqidah akhlak
D.      Perumusan masalah
Dalam kaitan dengan pembatasan masalah yang dikemukakan diatas, maka peneliti perlu melakukan perumusan masalah berupa :
1.         Bagaimana proses pembelajaran aqidah akhlak di MTs AL- Khairiyah Mampang Jakarta Selatan?
2.         Bagaimana perilaku siswa MTs AL- Khairiyah Mampang Jakarta Selatan?
3.         Apakah ada pengaruh pembelajaran aqidah akhlak terhadap perilaku siswa MTs AL- Khairiyah Mampang Jakarta Selatan?
E.       Kegunaan Penelitian
1.      Bagi Siswa: Dalam rangka memperbaiki diri siswa itu sendiri secara continue agar  dapat terus menerus berakhlak yang baik.
2.      Bagi Guru: Dalam rangka mengoptimalkan efektifitas kerjanya sebagai pendidik dan terus memperbaiki kualitas diri.
3.      Bagi peneliti: Memperdalam masalah akhlak siswa yang relevansinya dengan pendidikan akidah akhlak sebagai disiplin ilmu.
4.      Bagi Sekolah : Untuk meningkatkan kualitas sekolah karena sukses atau tidaknya lembaga sekolah dapat dilihat melalui akhlak siswanya yang telah mendapatkan pendidikan di sekolah yang bersangkutan.


BAB II
DESKRIPSI TEORITIS, KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A.    Deskripsi Teoritis
1.        Pembelajaran Aqidah Akhlak
a.    Pengertian Pembelajaran Aqidah Akhlak
     Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersususun, meliputi unsur- unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur, yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran.[1]
Aspek aqidah menekankan pada kemampuan memahami dan mempertahankan keyakinan/ keimanan yang benar serta menghayati dan mengamalkan nilai- nilai al- asma’ al- husna. Aspek akhlak menekankan pada pembiasaan untuk melaksanakan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak tercela dalam kehidupan sehari- hari. Dapat disimpulkan pembelajaran aqidah akhlak merupakan materi pembelajaran agama tentang Rukun Iman, sifat- sifat Allah, dan hubungan manusia dengan manusia terhadap sikap dan perilaku yang dalam pembahasannya mencakup mencakup uraian- uraian bagaimana cara bersikap dan berperilaku yang baik sesuai ajaran Islam serta contoh- contoh perbuatan yang terpuji yang dapat


diteladani dan contoh- contoh perbuatan tercela yang dapat dihindari dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Secara bahasa aqidah berasal dari “aqoda”, ya’qidu, a’qdan, ‘itiqodan yaitu kepercayaan hati atau keyakinan.[2] Sedangkan secara istilah aqidah berarti segala keyakinan yang ditetapkan oleh islam yang disertai oleh dalil- dalil yang pasti.[3] Pengertian aqidah secara terminology atau  istilah di kemukakan oleh para ahli diantaranya :
Menurut Imam Al-Ghazali menyatakan, apabila aqidah telah tumbuh pada jiwa seorang muslim, maka tertanamlah dalam jiwanya rasa bahwa Allah sajalah yang paling berkuasa,segala wujud yang ada ini hanyalah makhluk belaka.[4]
Menurut Abdullah Azzam, Aqidah adalah iman dengan semua rukun- rukunnya yang enam. Maksudnya adalah pengertian iman yaitu : keyakinan atau kepercayaan akan adanya Allah  SWT,  Malaikat-malaikat-Nya,  Kitab-kitab- Nya, Nabi-nabi-Nya, hari kebangkitan  dan Qadha  dan Qadar-Nya.
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa aqidah adalah dasar-dasar pokok kepercayaan atau keyakinan hati seorang muslim yang bersumber dari ajaran Islam yang wajib dianut oleh setiap  muslim  sebagai sumber  keyakinan  yang  mengikat dan mendasar.
Pengertian akhlak secara etimologis (lughot) adalah bentuk jamak dari “khuluq” yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at.[5] Sedangkan menurut istilah adalah pengetahuan yang menjelaskan tentang baik dan buruk, mengatur pergaulan manusia, dan menentukan tujuan akhir dari usaha dan pekerjaannya.[6]
Akhlak merupakan perilaku yang tampak (terlihat) dengan jelas, baik dalam kata-kata maupun perbuatan yang dimotivasi oleh dorongan karena Allah. Namun demikian, banyak pula aspek yang berkaitan dengan sikap batin ataupun pikiran, seperti akhlak diniyah yang berkaitan dengan berbagai aspek, yaitu pola perilaku kepada Allah, sesama manusia, dan pola perilaku kepada alam.     
Di dalam Ensiklopedi Pendidikan dikatakan bahwa akhlak ialah budi pekerti, watak, kesusilaan (kesadaran etika dan moral) yaitu kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliknya dan terhadap sasama manusia.[7]
Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk.[8] Perkataan ini bersumber dari kalimat yang tercantum dalam Al-qur’an:
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ   (القلم / ٦٨: ٤)      
      Artinya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS Al-Qolam:4).[9]

      Akhlak adalah عادةالارادة atau kehendak yang dibiasakan. Dengan kehendak itulah manusia melakukan suatu perbuatan, baik perbuatan batin maupun perbuatan lahir. Dan suatu perbuatan yang dibiasakan itulah yang dinamakan akhlak.
Definisi akhlak menurut ulama Islam, diantaranya adalah:
1)      Menurut Imam Ghazali Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu.[10]
2)      Menurut Muhammad Bin Ali Asy-Syarif Al-jurjani.
Al-jurjani mendefinisikan akhlak dalam bukunya, at-Ta’rifat sebagai berikut: akhlak adalah istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah ringan, tanpa berpikir dan merenung. Jika dari sifat tersebut terlahir perbuatan-perbuatan yang indah menurut akal dan syariat, dengan mudah, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang baik, sedangkan jika darinya terlahir perbuatan-perbuatan buruk, maka akhlak tersebut dinamakan akhlak buruk.
3)      Menurut Abdul Karim Zaidan
Akhlak merupakan nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorangdapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.
4)      Menurut Ibnu Araby, akhlak merupakan sesuatu keadaan yang dengannya manusia memerlukan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tidak memerlukan perbuatan tanpa adanya pemikiran dan usaha.[11]
      Dari beberapa pengertian akhlak diatas maka pada hakekatnya akhlak adalah budi pekerti, tingkah laku dan perilaku yaitu sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang mudah dilakukan tanpa pertimbangan pikiran. Sehingga dari akhlak itulah timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa di buat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Jika keadaan tersebut melahirkan perbuatan yang baik dan terpuji menurut hukum islam, disebut akhlak yang baik (akhlak mahmudah), jika perbuatan-perbuatan yang timbul itu tidak baik maka dinamakan akhlak yang buruk (akhlak madzmumah).
Adapun akhlak dibagi menjadi dua, menurut Abu Quasem yaitu:
1)      Akhlak Mahmudah : yaitu segala tingkah laku yang terpuji (baik) yang biasa juga dinamakan fadlillah, atau akhlak mulia yang harus dianut oleh setiap orang.[12]
Akhlak terpuji (mahmudah) dapat dibagi menjadi 5 bagian, yaitu:
a)      Akhlak kepada Allah, yaitu pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah.[13] Hal utama dari akhlak terhadap Allah SWT adalah adanya kesadaran akan keberadaannya dalam kehidupan manusia.
b)      Akhlak kepada orang tua, yaitu berbuat baik dan berterima kasih kepada keduanya.
c)      Akhlak kepada diri sendiri, yaitu control agama yang harus dilakukannya demi keselamatan dirinya sendiri, baik berupa perintah atau kewajiban yang erat hubungannya dengan tanggung jawab individu maupun larangan-larangan yang harus dihindari.[14]
d)     Akhlak kepada sesama, yaitu manusia sebagai makhluk sosial yang kelanjutan eksistensinya secara fungsional dan optimal banyak bergantung kepada orang lain, perlu bekerja sama dan saling tolong menolong dengan orang lain, menghargai gagasan orang lain serta perlu menciptakan suasana yang baik.[15]
e)      Akhlak kepada alam atau lingkungan, yaitu meliputi menyayangi binatang, merawat tumbuhan, memelihara kelestarian alam, mengelola, memjaga dan mengembangkan potensi alam sekitar sesuai dengan tuntutan dan batasan syariat agama untuk kepentingan bersama atau masyarakat bukan kepentingan pribadi atau golongan.[16]
2)      Akhlak Madzmumah : yaitu tingkah laku yang tercela atau akhlak yang jahat (qabihah).[17] Akhlak madzmumah merupakan penyakit jiwa yang sangat berbahaya, yang akan menghalangi peribadatan seorang muslim. Adapun yang termasuk akhlak madzmumah diantaranya adalah:
a)      Egois (Al-Nani’ah) artinya hanya mementingkan diri sendiri dan tidak peduli kepada orang lain. Manusia sebagai makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial sudah barang tertentu harus memperhatikan kepentingan orang lain di samping kepentingan pribadi.[18] Kita sebaiknya jangan boros dan kikir, tetapi harus pemurah. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Isra’ ayat 29.
Ÿwur ö@yèøgrB x8ytƒ »'s!qè=øótB 4n<Î) y7É)ãZãã Ÿwur $ygôÜÝ¡ö6s? ¨@ä. ÅÝó¡t6ø9$# yãèø)tFsù $YBqè=tB #·qÝ¡øt¤C  ÇËÒÈ  
           Artinya: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (QS Al-Isra’: 29).[19]
b)      Berbohong (Al Bahtaan) yaitu suka berdusta. Berdusta adalah mengada-adakan sesuatu (berbohong) yang sebenarnya tidak ada, dengan maksud untuk menjelekkan orang.[20] Allah SWT berfirman dalam QS An Nisaa’ ayat 112.
`tBur ó=Å¡õ3tƒ ºpt«ÿÏÜyz ÷rr& $\ÿùSÎ) ¢OèO ÏQötƒ ¾ÏmÎ/ $\«ÿƒÌt/ Ïs)sù Ÿ@yJtGôm$# $YY»tFökæ5 $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇÊÊËÈ 
      Artinya: Dan Barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, Maka Sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata. (QS An Nisaa’: 112)[21]
c)      Kikir (Al Bukhlu) adalah mempersempit pergaulan, sukar malah enggan dia memberikan sebahagian miliknya kepada orang lain. Orang yang kikir biasanya sulit sekali (bahkan tidak mau) berderma kepada orang lain. Padahal orang lain mungkin sangat membutuhkan pertolongan, terutama dalam soal kesulitan ekonomi.[22] Allah SWT berfirman dalam QS Al Lail ayat 8-10.
$¨Br&ur .`tB Ÿ@σr2 4Óo_øótGó$#ur ÇÑÈ   z>¤x.ur 4Óo_ó¡çtø:$$Î/ ÇÒÈ   ¼çnçŽÅc£uãY|¡sù 3uŽô£ãèù=Ï9 ÇÊÉÈ  
      Artinya: 8. Dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, 9. Serta mendustakan pahala terbaik, 10. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.(QS Al Lail: 8-10).[23]
d)     Mencari muka/pamer (Riyaa’) adalah syirik kecil, ibadah bukan karena Allah SWT, tetapi untuk dilihat orang.[24] Allah SWT berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 264.
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=ÏÜö7è? Nä3ÏG»s%y|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3sŒF{$#ur É©9$%x. ß,ÏÿYム¼ã&s!$tB uä!$sÍ Ĩ$¨Z9$# Ÿwur ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ¼ã&é#sVyJsù È@sVyJx. Ab#uqøÿ|¹ Ïmøn=tã Ò>#tè? ¼çmt/$|¹r'sù ×@Î/#ur ¼çmŸ2uŽtIsù #V$ù#|¹ ( žw šcrâÏø)tƒ 4n?tã &äóÓx« $£JÏiB (#qç7|¡Ÿ2 3 ª!$#ur Ÿw Ïôgtƒ tPöqs)ø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇËÏÍÈ  
      Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS Al Baqarah: 264).[25]
e)      Dengki (Al-Hasad) adalah perbuatan seseorang yang berefek negatif (bahkan merusak) terhadap orang lain. Seseorang yang mendengki biasanya menginginkan agar nikmat dan anugerah yang diterima orang lain bisa segera hilang.[26]  Allah SWT berfirman dalam QS Al-falaq (113) ayat 1-5.
ö@è% èŒqããr& Éb>tÎ/ È,n=xÿø9$# ÇÊÈ   `ÏB ÎhŽŸ° $tB t,n=y{ ÇËÈ   `ÏBur ÎhŽŸ° @,Å%yñ #sŒÎ) |=s%ur ÇÌÈ   `ÏBur Ìhx© ÏM»sV»¤ÿ¨Z9$# Îû Ïs)ãèø9$# ÇÍÈ   `ÏBur Ìhx© >Å%tn #sŒÎ) y|¡ym ÇÎÈ  
      Artinya: 1. Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, 2. Dari kejahatan makhluk-Nya, 3. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, 4. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, 5. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”. (QS Al-Falaq: 1-5).[27]
f)       Menggunjing (Al-Ghibah) adalah menceritakan kejelekan orang lain kepada seseorang atau sekelompok orang. Orang yang suka menggunjing biasanya ingin menjatuhkan nama seseorang yang digunjingnya. Rasulullah SAW bersabda:
وَعَنْ ٲَبِيْ مُوْسَي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللَّه ٲَيُّ الْمُسْلِمِيْنَ ٲَفْضَلُ؟ قَالَ : مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
      Artinya : Dari Abu Musa ra, ia bertutur, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapa yang paling utama di antara kaum muslimin?’ Beliau menjawab, ‘Ia adalah orang yang bisa menjaga lidah dan tangannya dari suka mengganggu dan melukai saudara-saudaranya sesama muslim.’” (Muttafaq alaih).[28]
      Akhlak merupakan subsistem dari sistem ajaran islam, maka pembidangan akhlak juga vertikal dan horizontal. Ada akhlak manusia kepada Tuhan, kepada sesama manusia, kepada diri sendiri dan kepada alam.[29]
     Mata pelajaran Aqidah Akhlak ialah suatu usaha mata pelajaran yang menjajarkan dan membimbing siswa untuk dapat mengetahui, memahami dan meyakini ajaran Islam serta dapat membentuk dan mengamalkan tingkah laku yang baik yang sesuai dengan ajaran Islam.[30]
     Mata pelajaran Aqidah Akhlak merupakan suatu mata pelajaran yang harus direalisasikan dalam bentuk tingkah laku atau perbuatan yang harmonis pada siswa, sebab pelajaran Aqidah Akhlak bukan hanya bersifat kognitif semata melainkan harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu seorang guru dalam melaksanakan pengajaran Aqidah Akhlak harus senantiasa memberi tauladan yang baik bagi siswa saat berada di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Dengan demikian pengajaran Aqidah Akhlak yang disampaikan oleh guru dapat diterima oleh siswa semaksimal mungkin sehingga tujuan yang telah diprogramkan dapat tercapai.
b.   Fungsi dan Tujuan Mata Pelajaran Aqidah Akhlak
     Mata pelajaran  Aqidah Akhlak di Madrasah Tsanawiyah berfungsi sebagai:
a.       Memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada siswa agar mau menghayati dan meyakini dengan keyakinan yang benar tentang Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhirat dan qadla qadarNya.
b.      Memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada siswa agar mau menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam tentang akhlak baik yang berhubungan dengan manusia dengan Allah, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam lingkungan.
     Adapun tujuan mata pelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah Tsanawiyah adalah :
a.       Agar siswa memiliki pengetahuan, penghayatan dan keyakinan yang benar terhadap hal-hal yang harus diimani sehingga keyakinan itu tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.\
b.      Agar siswa memiliki pengetahuan, penghayatan dan kemauan yang kuat untuk mengamalkan akhlak yang baik dan meninggalkan akhlak yang buruk baik dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan sehingga menjadi manusia yang berakhlak manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c.       Agar siswa memiliki aqidah yang benar serta akhlak yang baik untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.[31]
c.    Ruang Lingkup Pembelajaran Aqidah Akhlak
Secara garis besar, pelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah Aliyah meliputi keserasian, kesetaraan dan keseimbangan yang bermateri pokok sebagai berikut :
a.       Hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT, mencakup segi aqidah yang meliputi : iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya, hari akhirat dan qadla qadarnya.[32]
b.      Hubungan horizontal antara manusia dengan manusia mencakup segi akhlak yang meliputi kewajiban membiasakan akhlak yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain serta menjauhi akhlak yang buruk.[33]
c.       Hubungan manusia dengan alam lingkungan yang bersifat pelestarian alam, hewan, tumbuh-tumbuhan sebagai kebutuhan hidup manusia.[34]
d.   Metode Mengajar Pembelajaran Aqidah Akhlak
Bertitik tolak kepada pengertian metode pengajaran, yaitu suatu cara penyampaian bahan pelajaran untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, maka prinsip metode mengajar tidak dapat diabaikan karena metode mengajar tersebut turut menentukan berhasil tidaknya suatu proses belajar mengajar dan merupakan bagian integral dalam suatu sistem pengajaran. Oleh karena itu pemakaian metode harus sesuai dan selaras dengan karakteristik siswa, materi, kondisi lingkungan (setting) di mana pelajaran berlangsung.
Adapun metode mengajar dalam pembelajaran Aqidah Akhlak adalah sebagai berikut:
a.       Metode ceramah
Metode ceramah diartikan sebagai suatu cara penyampaian bahan secara lisan oleh guru di muka kelas. Peran murid di sini sebagai penerima pesan, mendengarkan, memperhatikan dan mencatat keterangan-keterangan guru bilamana diperlukan.
Keunggulan metode ceramah ini adalah :
1)      Penggunaan waktu yang efisien dan pesan yang disampaikan dapat sebanyak-banyaknya.
2)      Pengorganisasian kelas lebih sederhana.
3)      Dapat memberikan motivasi dan dorongan terhadap siswa dalam belajar.
4)      Fleksibel dalam penggunaan waktu dan bahan.
Kelemahan metode ceramah ini adalah :
1)      Guru seringkali mengalami kesulitan dan mengukur pemahaman siswa tentang materi yang diceramahkan.
2)      Siswa cenderung bersifat pasif dan sering keliru dalam menyimpulkan penjelasan guru.
3)      Bilamana guru menyampaikan bahan yang sebanyak-banyaknya dalam tempo yang terbatas menimbulkan kesan pemaksaan terhadap kemampuan siswa.
4)      Cenderung membosankan dan perhatian siswa berkurang.
b.      Metode diskusi
Metode diskusi adalah suatu cara mempelajari materi pelajaran dengan memperdebatkan masalah yang timbul dan saling mengadu argumentasi secara rasional dan obyektif.
Keunggulan metode diskusi ini adalah :
1)      Suasana kelas menjadi bergairah.
2)      Dapat menjalin hubungan sosial antar individu siswa.
3)      Hasil diskusi dapat dipahami oleh siswa karena mereka secara aktif mengikuti perdebatan yang berlangsung dalam diskusi.
4)      Melatih siswa untuk disiplin dan menghargai pendapat orang lain.
Kelemahan-kelemahan metode diskusi adalah :
1)      Adanya sebagian siswa yang kurang berpartisipasi secara aktif dalam diskusi dapat menimbulkan sikap acuh tak acuh dan tidak bertanggung jawab terhadap hasil diskusi.
2)      Sulit meramalkan hasil yang ingin dicapai karena penggunaan waktu yang terlalu panjang.
3)      Para siswa kesulitan mengeluarkan ide-ide atau pendapat mereka secara ilmiah atau sistematis.
c.       Metode tanya jawab
Metode tanya jawab ialah penyampaian pesan pengajaran dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan siswa memberikan jawaban, atau sebaliknya siswa diberi kesempatan bertanya dan guru menjawab pertanyaan.
Keunggulan metode ini adalah :
1)      Kelas akan menjadi hidup.
2)      Siswa terlatih berani mengemukakan pertanyaan atau jawaban.
3)      Dapat mengaktifkan retensi siswa terhadap perilaku yang telah lalu.
Sedangkan kelemahan metode ini adalah :
1)      Waktu yang digunakan dalam pelajaran tersita.
2)      Kemungkinan terjadi penyimpangan perhatian siswa bilamana terdapat pertanyaan atau jawaban yang tidak berkenaan dengan sasaran yang dibicarakan.
3)      Jalannya pengajaran kurang dapat terkoordinir secara baik, karena timbulnya pertanyaan-pertanyaan dari siswa yang mungkin tidak dapat dijawab secara tepat baik oleh guru maupun oleh siswa.
d.      Metode sosio-drama dan bermain peranan
Metode sosio-drama dan bermain peranan merupakan teknik mengajar yang banyak kaitannya dengan pendemonstrasian kejadian-kejadian yang bersifat sosial.
Keunggulan metode sosio-drama dan bermain peranan ini adalah :
1)      Siswa terlatih untuk mendramatisasikan sesuatu dan juga melatih keberanian mereka.
2)      Kelas akan menjadi hidup.
3)      Siswa dapat menghayati sesuatu peristiwa sehingga mudah mengambil sesuatu kesimpulan berdasarkan penghayatannya sendiri.
Adapun kelemahan metode ini adalah :
1)      Banyak menyita waktu atau jam pelajaran.
2)      Memerlukan persiapan yang teliti dan matang.
3)      Kadang-kadang siswa berkeberatan untuk melakukan peranan yang diberikan karena alasan psikologis.
e.       Metode drill
Metode drill atau disebut latihan dimaksudkan untuk memperoleh ketangkasan atau ketrampilan latihan terhadap apa yang dipelajari, karena hanya melakukannya suatu praktis suatu pengetahuan dapat disempurnakan dan disiap siagakan.
Keunggulan metode siap (drill) ini antara lain :
1)      Siswa akan memperoleh ketangkasan dan kemahiran dalam melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dipelajarinya.
2)      Dapat menimbulkan rasa percaya diri bahwa para siswa yang berhasil dalam belajarnya telah memiliki suatu ketrampilan khusus yang berguna kelak di kemudian hari.
3)      Guru lebih mudah mengontrol dan dapat membedakan mana siswa yang disiplin dalam belajarnya dan mana yang kurang.
Kelemahan metode latihan ini antara lain :
1)      Dapat menghambat inisiatif siswa, di mana inisiatif dan minat siswa yang berbeda dengan petunjuk guru dianggap suatu penyimpangan dan pelanggaran dalam pengajaran yang diberikannya.
2)      Menimbulkan penyesuaian secara statis kepada lingkungan dalam kondisi belajar ini pertimbangan inisiatif siswa selalu disorot dan tidak diberikan keleluasaan.
3)      Menimbulkan verbalisme terutama pelajaran yang bersifat menghafal.[35]
f.       Metode resitasi
Metode resitasi adalah cara menyajikan bahan pelajaran di mana guru memberikan sejumlah tugas terhadap murid-muridnya untuk mempelajari sesuatu kemudian mereka disuruh untuk mempertanggungjawabkannya. Metode ini populer dengan sebutan PR. Kelebihan metode ini adalah :
1)      Pengetahuan yang diperoleh murid banyak berhubungan dengan minat dan banyak berguna untuk hidup mereka dan akan lebih lama diingat.
2)      Apabila tugas tersebut dalam bentuk kelompok, murid dapat saling bekerja sama dan saling membantu.
3)      Murid berkesempatan memupuk perkembangan dan keberanian berkreatif, berinisiatif, bertanggung jawab dan berdiri sendiri.
Adapun kekurangan pada metode ini adalah :
1)      Tugas rumah sering dikerjakan oleh orang lain.
2)      Tugas yang sukar dapat mempengaruhi ketenangan mental murid.
3)      Sukar memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individual dan murid suka menyalin pekerjaan teman.[36]
2.      Perilaku Siswa
a.      Pengertian Perilaku
Secara literal, perilaku berarti “tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.” Perilaku dalam ilmu pendidikan sering disebut dengan behavior yang berarti “bagaimana seorang berbuat atau menata dirinya, dan dalam hubungan sosialnya bagaimana mengekspresikan dirinya terhadap orang lain.”[37] Sedangkan dalam konteks psikologis perilaku diartikan sebagai “setiap tindakan manusia atau hewan yang dapat dilihat”.[38]
Secara terminologis, perilaku didefenisikan oleh Saifuddin Azwar sebagai: “Ekspresi sikap seseorang. Sikap itu sudah terbentuk dalam dirinya karena berbagai tekanan atau hambatan dari luar atau dalam dirinya.  Artinya, potensi reaksi yang sudah terbentuk dalam dirinya akan muncul berupa perilaku actual sebagai cerminan sikapnya”.[39]
Perilaku menurut ajaran Islam adalah akhlak. Menurut Imam Al- Ghazali akhlak didefenisikan  sebagai “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan prbuatan- perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.[40]
b.      Macam- Macam Perilaku         
Para ahli psikologi membedakan dua macam tingkah laku yakni tingkah laku intelektual dan tingkah laku mekanistis. Tingkah laku inteletual adalah sejumlah perbuatan yang dikerjakan seseorang yang berhubungan dengan kehidupan jiwa dan intelektual. Ciri- ciri utamanya adalah berusaha mencapai tujuan tertentu. Sedangkan tingkah laku mekanistis atau refleks adalah respon- respon yang timbul pada manusia secara mekanistis dan tetap, seperti kedipan mata sebab terkena cahaya dan gerakan- gerakan perangsang yang kita lihat pada anak- anak, seperti menggerakan kedua tangan, dan kaki secara terus menerus tanpa aturan.[41]
Perilaku sangat berhubungan dengan karakteristik individu dan lingkungan. Karakteristik individu yang dimaksud meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai- nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain, kemudian berinteraksi pula dengan faktor- faktor lingkungan. Dalam menentukan perilaku, faktor lingkungan memiliki kekuatan lebih besar daripada karakteristik individu.[42]
Sejalan dengan pendapat di atas, Muhibbin Syah menjelaskan bahwa: Perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan hereditas. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku beragam, di antaranya pendidikan, nilai dan budaya masyaraka, politik, dan sebagainya. Sedangkan faktor hereditas merupakan faktor bawaan seseorang yang berupa karunia pencipta alam semesta yang telah ada dalam diri manusia sejak lahir, yang banyak ditemukan oleh faktor genetic. Kedua faktor secara bersama- sama mempengaruhi perilaku manusia. Jika ingin menumbuhkan sikap, maka harus memadukan faktor bawaan berupa bakat dan faktor lingkungan pendidikan dan belajar.[43]
Perilaku yang merupakan atau reaksi terhadap stimulus lingkungan sosial selalu dikaitkan dengan nilai, norma, moral, san sikap. Dalam hal ini, nilai merupakan disposisi yang lebih luas, sifatnya mendasar dan lebih dalam, karena itu nilai lebih stabil dibandingkan sikap individu. Nilai dianggap sebagai bagian dari kepribadian individu yang dapat mewarnai kepribadian kelompok. Norma termasuk bagian dari nilai yang berlaku dalam lingkungan masyarakat, dan menjadi pegangan hidup seseorang yang bersifat Ilahiyah (al- Qur’an dan al- Sunnah) dan bersifat duniawiyah (pikiran, adat istiadat, dan kenyataan alam). Moral merupakan ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan seseorang yang dapat dinilai dalam segala hal dalam pengamalan nilai- nilai hidup, moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku. Sedangkan sikap merupakan konstelesi komponen- komponen kognitif, afektif, dan konatif (kemauan) yang secara bersama- sama mengorganisasikan sikap individu dengan saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu obyek. Sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang. Jadi sikap bukan suatu tindakan atau aktivitas, tetap berupa kecenderungan tingkah laku, yang merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek di lingkungan tertentu.[44]
Dengan demikian, keterkaitan antara nilai, norma, moral, sikap, dan tingkah laku akan tampak dalam pengamalan nilai- nilai hidup. Dengan kata lain, nilai- nilai perlu dikenali terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh norma dan moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai- nilai tersebut, yang pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai- nilai yang dimaksud.
Perilaku yang baik ialah pola perilaku yang dilandaskan pada nilai- nilai agama. Setiap perbuatan yang baik terlihat pada sikap jiwa dan perilaku yang sesuai dengan aqidah dan syariah Islam. Didalam Islam pranata perilaku yang mencerminkan struktur dan pola perilaku manusia dalam segala aspek kehidupan, disebut dengan akhlak, sedangkan pranata nilai yang menentukan kepribadian seseorang, disebut dengan ihsan. Dengan demikian, akhlak yang berkualitas ihsan disebut akhlak al- karimah (akhlak mulia).[45] Seorang siswa, misalnya selalu menerapkan atau membiasakan perilaku keagamaan dalam pergaulan sehari- hari di lingkungan sekolah, dengan berakhlak baik dan berbudi pekertu yang luhur. Maka dengan nilai- nilai agama tersebut, perilaku siswa dan budi pekertinya sehari- hari akan melahirkan akhlak al karimah.
Nilai- nilai keagamaan dalam hal ini harus diperhatikan, karena agama juga menjelaskan tentang tingkah laku yang baik dan buruk seseorang. Sikap dan tingkah laku dibahas pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dalam materi pembelajaran  Aqidah Akhlak. Hal ini dikarenakan materi akhlak berhubungan erat dengan sikap dan tingkah laku anak sehari- hari, diantaranya menyangkut hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia termasuk hubungan manusia dengan dirinya maupun hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa perilaku merupakan cerminan konkret yang tampak dalam sikap, perbuatan, dan kata- kata (pernyataan) sebagai reaksi seseorang yang muncul karena adanya pengalaman proses pembelajaran dan rangsangan dari lingkungan.  Sikap, perbuatan, dan kata kata tersebut dapat bersifat positif atau negative, baik atau buruk, benar atau salah. Perilaku yang baik adalah perilaku yang sejalan dengan nilai- nilai ajaran Islam baik aqidah, syariah maupun akhlak.
c.       Dimensi Perilaku
Terdapat beberapa perilaku yang berlaku umum dan lebih mengembangkan nilai kemanusiaan dan mengembangkan kesatuan sebagai warga masyarakat yang mencakup: “perilaku terhadap Allah swt, perilaku terhadap sesama manusia, perilaku terhadap diri sendiri, dan penghargaan terhadap alam”.[46]
Dalam penelitian ini dimensi perilaku ditinjau dari dua aspek yaitu aspek hubungan manusia dengan Allah SWT yang mencakup aqidah dan syariah, aspek hubungan manusia dengan manusia yaitu akhlak, untuk lebih jelasnya berikut uraian kedua dimensi perilaku tersebut:
1)      Dimensi hubungan manusia dengan Allah SWT, perilaku yang tercakup dalam dimensi ini antara lain:
a)      Beriman dan mentauhidkan Allah SWT
            Iman adalah kepercayaan yang terhujam kedalam hati dengan penuh keyakinan, tidak ada perasaan ragu- ragu serta mempengaruhi orientasi kehidupan, sikap dan aktifitas keseharian.[47] Al Ghazali mengatakan iman adalah mengucapkan dengan lidah, mengakui benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan.
            Hal utama dari perilaku keimanan adalah adanya kesadaran akan keberadaan Allah dalam kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, dalam surat Luqman ayat 17:
 يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأمُر بِالمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ المُنكَرِ وَاصبِر عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِن عَزمِ الأُمُورِ
            Artinya: (Luqman berkata), Hai anakku, sesungguhnya jika ada sesuatu perbuatan seberat biji sawi, dan berada dalam batu tau dilangit atau didalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungghnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
            Ayat di atas mengisyaratkan tentang apa yang seharusnya menjadi landasan perilaku manusia, yaitu kesadaran akan adanya Allah SWT yang Maha Mengetahui dan Mengawasi segala gerak- gerik dan perbuatan manusia dimana pun mereka berada. Kesadaran ini jika tertanam dalam diri individu muslim, niscaya perilaku yang terbentuk adalah perilaku robbaniyah, perilaku dalam pengawasan Allah SWT.
b)      Beribadah kepada Allah SWT
            Ibadah merupakan “kepatuhan dan sampai batas penghabisan, yang bergerak dari perasaan hati untuk mengagungkan kepada yang disembah”.[48] Kepatuhan yang dimaksud adalah seorang hamba yang mengabdikan diri pada Allah SWT. Ibadah merupakan bukti nyata bagi seorang muslim dalam meyakini dan mempedomani aqidah islamiyah.
            Nilai ibadah akan menambah keyakinan kebenaran ajaran Allah SWT. Semakin tinggi nilai ibadah yang ia miliki maka akan semakin tinggi nilai keimanannya.[49] Ibadah merupakan penyerahan diri seorang hamba pada Allah SWT, ibadah yang dilakukan secara benar sesuai dengan syari’at Islam merupakan implementasi secara langsung dari sebuah penghambaan diri pada Allah SWT. Manusia merasa bahwa ia diciptakan di dunia ini haya untung menghamba kepada- Nya.
            Di antara firman Allah SWT yang memerintahkan setiap muslim untuk beribadah adalah:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
            Artinya: “Sesungguhnya  orang- orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Al- Baqoroh/2: 277)[50]
2)      Dimensi hubungan manusia dengan manusia, perilaku yang terckup dalam dimensi ini antara lain:
a)      Perilaku anak terhadap orang tua
            Dalam keluarga seorang bapak dan ibu merupakan pangkal pokok keluarga, sedangkan anak sebagai buah keluarga. Karena itu, hak bapak dan ibu dipenuhi oleh anak begitu besar. Al- Qur’an telah menerangkan engan jelas bagaimana seharusnya sikap anak terhadap orang tuanya, disebutkan dalam surat Al- Isra’ ayat 23- 24:
ﻭَﻗَﻀَﻰ ﺭَﺑُّﻚَ ﺃَﻟَّﺎ ﺗَﻌْﺒُﺪُﻭﺍ ﺇِﻟَّﺎ ﺇِﻳَّﺎﻩُ ﻭَﺑِﺎﻟْﻮَﺍﻟِﺪَﻳْﻦِ ﺇِﺣْﺴَﺎﻧًﺎ ﺇِﻣَّﺎ ﻳَﺒْﻠُﻐَﻦَّ ﻋِﻨْﺪَﻙَ ﺍﻟْﻜِﺒَﺮَ ﺃَﺣَﺪُﻫُﻤَﺎ ﺃَﻭْ ﻛِﻠَﺎﻫُﻤَﺎ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﻘُﻞْ ﻟَﻬُﻤَﺎ ﺃُﻑٍّ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻨْﻬَﺮْﻫُﻤَﺎ ﻭَﻗُﻞْ ﻟَﻬُﻤَﺎ ﻗَﻮْﻟًﺎ ﻛَﺮِﻳﻤًﺎ (23) ﻭَﺍﺧْﻔِﺾْ ﻟَﻬُﻤَﺎ ﺟَﻨَﺎﺡَ ﺍﻟﺬُّﻝِّ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﺔِ ﻭَﻗُﻞْ ﺭَﺏِّ ﺍﺭْﺣَﻤْﻬُﻤَﺎ ﻛَﻤَﺎ ﺭَﺑَّﻴَﺎﻧِﻲ ﺻَﻐِﻴﺮًﺍ(24)
            Artinya: Dan Tuhannya telah memerintahkan supaya jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik- baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua- duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali- kali janganlah kamu mengatakan kepadakeduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilahmereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.[51]
            M. Alaika Salamullah menjelaskan tentang etika anak terhadap orang tua sebagai berikut:
1.      Anak wajib memberi makanan kepada orang tuanya apabila diperlukan,
2.      Anak harus melayani orang tua apabila memerlukan pelayaan,
3.      Anak wajib memeuhi panggilan orang tua bila mereka memanggilnya,
4.      Anak wajib patuh dan menjalankan perintah orang tua sepanjang perintah tersebut tidak mengarah pada kemaksiatan,
5.      Anak wajib berbicara dengan orang tua dengan bahasa yang lemah lembut,
6.      Apabila orang tua memerlukan pakaian, maka anak harus memberikannya bila mampu,
7.      Ketika berjalan, anak harus berjalan dibelakangnya dengan sikap takzim (rendah hati) dan hormat,
8.      Anak rela atau ridha pada sesuatu orang tua sendiri meridhainya,
9.      Anak tidak suka sesuatu yang orang tua sendiri tidak menyukainya,
10.  Anak juga wajib berdoa agar orang tua mendapatkan ampunan, baik ketika sudah meninggal maupun masih hidup.[52]

b)      Perilaku anak terhadap guru
            Guru adalah pendidik orang yang memberikan ilmu yang berguna, mengembangkan daya berpikir dan memberikan adab. Guru tidak jauh beda dengan orang tua, dalam arti bahwa guru merupakan pengganti orang tua waktu di sekolah. Keharusan murid bersikap dan berperilaku sopan santun terhadap guru adalah karena guru telah berjasa besar dengan ikut serta mengantarkan anak menuju masa kedewasaan yang matang. Oleh karenanya tidak beradab seorang murid jika memanggil guru dengan namanya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚقَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚفَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
            Artinya: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian (yang lain)”. (Q.S. An-Nur : 63)[53]
            Dengan demikian seorang murid yang berakhlak baik kepada guru adalah yang memanggil gurunya dengan sebutan yang sopan, seperti “pak guru”, “ustadz”, dan lain sebagainya. Termasuk dalam akhlak ini adalah kepatuhan siswa melaksanakan tugas yang diberikan oleh guru.


c)      Perilaku terhadap teman
            Etika Islam membicarakan tentang tata cara pertemanan baik dengan sesama muslim maupun non Islam, sebagai berikut:
1.      Mengasihi teman dan berbuat baik kepadanya, Allah berfirman dalam al- Qur’an surat an- Nisa ayat 36:
وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا وَبِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْجَارِ ٱلْجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلْجَنۢبِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
            Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan- Nya dengan sesuatupun, dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak- anak yatim, orang- orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu Sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang sombong dan membangga- banggakan diri.[54]

2.      Saling menasehati dan mengingatkan
            Kewajiban utama kepada teman adalah menanamkan pengaruh akhlak yang mulia, agar teman bisa memperbaiki akhlaknya dan mempertebal imannya. Apabila teman melakukan kesalahan dan penyimpangan, kewajibannya adalah mengingatkan dan mengarahkannyapada jalan yang lurus agar tidak berlarut- larut dalam kesalahannya. Teguran atau nasehat yang diberikan kepada teman haruslah dengan cara lemah lembut dan tidak menyakiti hati. Walaupun nasihat itu mengandung unsur kebenaran, namun disampaikan dengan cara yang salah, maka teman tidak dapat menerimanya karena tersinggung dan jengkel.
3.      Mendamaikan teman yang berselisihs
                        Sebagaimana firman Allah dalam al- Qur’an surat al- Hujarat ayat 10:
إنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
            Artinya: “Orang- orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamumendapat rahmat”.[55]
4.      Toleransi pada teman
            Islam menggariskan etika berinteraksi dan toleransi kepada teman sesama muslim. Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a:
            Artinya: Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam: kalau bertamu mengucapkan salam, kalau diundang memenuhi undangan, dan kalau dimintai nasihat memeberikan nasihat, kalau bersin mengucapkan Alhamdulillah dan dijawab dengan panjatan doa, kalau sakit ditengok, dan kalau meninggal diantar jenazahnya.
            Keenam hal ini adalah etika pokok yang harus dijalankan oleh seorang muslim ketika berinteraksi dengan muslim lainnya dalam kehidupan sehari- hari. Tujuannya agar hubungan mereka terjalin dengan baik dan kokoh, sehingga tercipta kasih sayang, kedekatan, dan cinta kasih yang mendalam di antara mereka.
            Dari uraian di atas, dapatlah ditarik sintesis bahwa yang dimaksud dengan perilaku adalah cerminan konkret yang tampak dalam sikap, perbuatan, dan kata- kata (pernyataan) sebagai reaksi seseorang yang muncul karena adanya pengalaman proses pembelajaran dan rangsangan dari lingkungan. Sikap, perbuatan, dan kata- kata tersebut dapat bersifat positif atau negative, baik atau buruk, benar atau salah.

B.     Kerangka Berfikir

Akhlak merupakan cerminan konkret yang tampak dalam sikap, perbuatan, dan kata- kata ( pernyataan ) sebagai reaksi seseorang yang muncul karena adanya pengalaman proses pembelajaran dan rangsangan dari lingkungan. Akhlak siswa dapat dilihat dari perilakunya dalam hubungan dengan Allah, perilakunya terhadap sesame manusia, serta perilakunya terhadap lingkungan sekitar.
Pendidikan aqidah akhlak adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan siswa untuk mengenal, memahami, menghayati, dan mengimani Allah SWT dan merealisasikan dalam perilaku akhlak mulia dalam kehidupan sehari- hari berdasarkan Al- Qur’an dan Hadits melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Dibarengi tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dan hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Alur berfikir yang telah dijelaskan di aras, dapat diasumsikan bahwa terdapat pengaruh penguasaan materi aqidah akhlak terhadap perilaku siswa. Agar lebih jelas uraian kerangka berfikir tersebut, dapat disajikan pada skema berikut ini :
Pengaruh antara Variabel X ( Pendidikan Aqidah Akhlak )
terhadap Variabel Y ( Perilaku Siswa )



  


C.    Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, yang kebenarannya harus diuji secara empiris.  Hipotesis dapat diturunkan dari teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.[56]
Dari kajian teoridan kerangka pikir di atas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : Terdapat Pengaruh Pendidikan Aqidah Akhlak Terhadap Perilaku Siswa di MTs Al-Khairiyah.  



[1] Dr. Oemar Hamalik, Kurikulum Dan Pembelajaran, (Jakarta PT Bumi Aksara,2008),h. 70.
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidayat Karya Agung, 1973), h.275
[3] Moh.Rifa’il,dkk,Aqidah Akhlak,(Semarang:CV.Wicaksana,1994),h:14
[4] Al-Ghazali,Khulul Al Islam,(Kwait:Dar Al-Bayan,1970),h.117
[5] H.A Mustofa, Akhlak Tasawuf,  (Jakarta: Pustaka Setia, 1995), h.11.
[6] A. Toto Suryana Af, dkk, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Tiga Mutiara, 1997), h.188.
[7] Soegarda, Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), h.9.
[8] Chabib Thoha, Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta: ), Cet-1, h.88.
[9] Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT Fokusmedia, 2010), h.564.
[10] Ismail Thalib, Risalah Akhlak, (Yogyakarta: CV Bina Usaha, 1986), h.1.
[11] Muhaidi Tatapangarsa, Pengantar Kuliah Akhlak, (Jakarta: Bina Ilmu, 1990), cet Ke-15, h.15.
[12] Humaidi Tatapangarsa, Akhlak Mulia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), h.147.
[13] Moh Ardani, Akhlak Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam ibadat dan tasawuf, (Jakarta: Karya Mulia, 2005), Cet-2, h.29.
[14] Moh Chadisq Charisma, Tiga Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1991),
h.102.
[15] Ibid, h.53.
[16] Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung: Mizan, 1997), h.54.
[17] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz III, (Beirut: Darul Kutubil Ilmiah, t.th), h.58.
[18] . Sholihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), Cet
ke-1, h.114.
[19] Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT Fokusmedia, 2010), h.285.
[20] Barmawie Umary, Materia Akhlak, (Yogyakarta: CV Ramadhani, 1988), cet ke-6, h.57.
[21] Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT Fokusmedia, 2010), h.96.
[22] Sholihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), Cet
ke-1, h.114.
[23] Kementerian Agama RI, Loc. Cit., h.595.
[24] Barmawie Umary, op. cit,. h.66.
[25] Kementerian Agama RI, op. cit,. h.44.
[26] Sholihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), Cet
ke-1, h.115.
[27] Kementerian Agama RI, op. cit,. h.604.
[28] Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, (Jakarta: Akbar Media, 2015), cet ke-11, h.511.
[29] Achmad Mubarok, Mengaji Islam dari Rasional hingga Spiritual, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 2004), h.28.
[30] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Dirjen Bimbaga, 1984/1985, hlm 134.
[31] Depag RI, GBPPI, Mata Pelajaran Aqidah Akhlak, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1994, hlm 1-2.

[32] Ibid, hlm 2.

[33] Depag RI, Loc. Cit.

[34] Depag RI, Loc. Cit.
[35] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm 31-58.
[36] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm 164-167.

[37] A.S. Hornby, Oxford Advance Learner’s Dictionary, (London: Oxford University Press, 1974),h. 74.
[38] Dali Gulo, Kamus Psikologi, (Bandung: Tonis, 1992),h. 9.
[39] Saifuddin Azwar, Sikap Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).h. 18.
[40] Humaidi Tatapangsara, Pengantar Ilmu Akhlak, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1992).hh. 7-8.
[41] Hasan Langgulung, Asas- asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988),h. 274.
[42] Saifuddin Azwar, Op cit,h. 11.
[43] Muhibbin Syah, Media Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2002),h. 56.
[44] Sunarto, et al, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: Rineka Cipta, 1999),h. 168.
[45] Abu Ahmadi, et al, Dasar- Dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),h. 
                [46] Mardi uana, Ilmu budi pekerti dan kewarganegaraan, (akarta
[47] Yusuf Qardawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000),h. 27
[48] Yusuf Qardawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Semarang: Central Media, 2000),h. 33.
[49] M. Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak bersama Rasulullah SAW, ter. Kuswadini, et al,(Bandung: Al- Bayan, 1997),h. 150.
[50] Departemen Agama RI, Op Cit,h. 69.
[51] Ibid,hh. 427-428
[52] M. Alaika Salamulloh, Menyempurnakan 
[53] Departemen Agama RI, Op cit,h. 556
[54] Ibid,hh. 123-124
[55] Ibid,h. 846.
[56] Dr. Idrus Alwi, Metodelogi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Saraz Publishing, 2013) h.75






[1] Dr.Purwanto,M.Pd, Evaluasi Hasil Belajar, ( Yogyakarta: Pustaka Belajar: 2009), cet ke-1, hal.19
[2] Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA dan MA, ( Jakarta: Depdiknas, 2003 ), h. 4
[3]Zakiah Drajat,dkk. Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bumi aksara 1992), cet ke 2, h. 76
[4] Prof.DR.Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, ( Jakarta: Kalam Mulia, 2005 ), cet ke- 4, h.21
[5] Undang- Undang RI Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, ( Jakarta: PB Panca Usaha, 2003 ), h. 4-5
[6] Umar Beradza, Akhlak Bagi Putra- Putri Anda, ( Surabaya: Pustaka Progresip, 1992 ), h. 1
[7] Amirullah Syarbini dan Akhmad Khusaeri, Kiat- Kiat Islam Mendidik Akhlak Remaja, ( Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012 ),h. 44

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Ilmu Hadits Riwayah Dan Dirayah

Pengalaman tes di Bank Mandiri

Pidato Bahasa Inggris dan terjemahan tentang Reading is a window to the world