Ilmu Jarh Dan Ilmu Ta’dil

Bila melihat fenomena jarh dan ta'dil saat ini, sungguh penulis sangat prihatin. Orang begitu mudah menjarh orang lain tanpa didasari ilmu. Baik alasannya, karena beda golongan, pemahaman maupun takut tersaingi. Dengan demikian pihak yang dijarh sangat dirugikan. Kenapa? Karena dengan ia dijarh, ia dijauhi sahabat-sahabatnya ataupun murid-muridnya, bahkan ta'lim pun yang biasa ia bisa bubar. Selain itu dia (yang suka menjarh) belum tentu terpenuhi syarat-syarat sebagai penjarh. Atau bahkan dalam dirinya juga terdapat perbuatan yang menjadikannya ia dijarh. Bagaimana ia akan menjarh orang lain sedang dalam dirinya terdapat perbuatan yang menjadikan ia dijarh?
Kalau memang orang yang dijarh memang melakukan perbuatan yang menyebabkan ia dijarh sudahkah ia klarifikasi? Kalau sudah, sudah kah ia menasehatinya, agar ia bertaubat? Bila hal ini dilakukan sudah barang tentu tidak akan terjadi jarh secara serampangan. Sehingga dengan makalah ini penulis ingin menjelaskan kepada siapa saja yang menginginkan pengetahuan seputar pembasan al-jarh dan at-ta'dil. Diharapkan makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Untuk memberikan sedikit gambaran perlu saya sampaikan pengertian ilmu al-jarh dan at-ta'dil. Ilmu al-jarh dan at-ta'dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penetapan adil dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil
            Secara bahasa, al-jarh merupakan masdar dari kata (جَرَحَ – يَجْرَحُ - جَرْحًا) yang berarti akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Luka yang dimaksud dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, atau berkaitan dengan non fisik misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan seseorang. Apabila kata jaraha dipakai oleh hakim pengadilan yang ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti menggugurkan keabsahan saksi.
Secara istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi atau keadaan seorang rawi yang tidak adil dan menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan. Kata al-tajrih menurut istilah berarti pengungkapan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang tercela yang menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat oleh periwayat tersebut.  Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarhu dan al-tajrih, dan sebagian ulama lagi membedakan penggunaannya dengan alasan bahwa al-jarh berkonotasi tidak mencari-cari cela seseorang, yang biasanya telah tampak pada diri seseorang. Sedang al-tajrih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang.
            Adapun kata ta’dil berasal dari kata (عَدَّلَ – يَعْدِّلُ - تَعْدِيْلاً) yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang. Menurut istilah ilmu hadits, kata ta’dil berarti mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan riwayatnya dapat diterima.
‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani mengatakan bahwa ilmu al-jarh wa ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam menilai cacat (kritik: al-jarh) dan sekaligus mengungkap dan memberi rekomendasi positif atas (kesalehan: al-ta’dil) terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut.
Pada prinsipnya, ilmu jarh wa ta’dil adalah bentuk lain dari upaya untuk meneliti kualitas hadits bisa diterima (maqbul) atau ditolak (mardud).
Adapun yang menjadi objek penelitian suatu hadits selalu mengarah pada dua hal penting, yang pertama berkaitan dengan sanad/rawi (rangkaian yang menyampaikan) hadits, dan kedua berkaitan dengan matan (redaksi) hadits. Dengan demikian keberadaan sanad dan matan menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

B.     Manfaat Al-Jarh Wa At-ta'dil
            Ilmu Al-Jarh Wa At-ta'dil berguna untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis terpenuhi. Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadis yang benar-benar dari rasulullah dan hadis yang palsu(maudhu). Dengan mengetahui ilmu ini kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis shahih, hasan, ataupun hadis dhaif, terutama dari segi kualitas rawi,bukan dari matannya[1].           Adapun keaiban seorang rawi pada umumnya yaitu:
  1. Bid’ah (melakukan tindakan tercela, di luar ketentuan syari’at),
  2. Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah),
  3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
  4. Jahalatu’l-Hal (tidak di kenal identitasnya) .
  5. Da’wa’l-inqhitha’ (di duga keras sanadnya tidak bersambung).
  6. Metode untuk Mengetahui Keadilan dan Kecacatan Rawi serta Masalah-Masalahnya
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut ini:
Pertama, dengan kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai seorang yang adil (bisy-syuhroh).
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh:
  1. Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan hadits.
  2. Setiap orang yang dapat diterima periwatannya, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang merdeka ataupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat diketahui melalui dua cara, yaitu:
  1. Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal  sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
            Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin, sedangkan menurut para fuqoha, sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.

  1. Tingkatan dan Lafadz-lafazd Jarh dan Ta’dil
            Melalui cara al- Jarh dan Ta’dil seperti yang dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama ahli hadits diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk al-Jarh maupun ta’dil. Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-jarh-kan dan men-ta’dil-kan rawi memiliki tingkatan-tingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu’s Shalah dan Imam Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al Hafidh Ad- Dzahaby dan Al ‘Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu:
a)      Jarh
    1. Menunjuk kepada keterlakuan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’a-lut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya:
a.       Awdla’unnâsi (orang yang paling dusta)
b.      Akdzabunnâsi (orang yang paling bohong)
    1. Menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk shighat muballagah. Misalnya:
a.       Kadzâbun (orang yang pembohong)
b.      Wa dlâ’un (orang yang pendusta)
c.       Dajjâlun (orang yang penipu)
    1. Menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong, atau lainnya. Misalnya:
a.       Fulânun muttahamun bilkadzibi (orang yang dituduh bohong)
b.      Awmuttahimun bilwadl’i (orang yang dituduh dusta)
c.       Fulânun fîhinnadhru (orang yang perlu diteliti)
    1. Menunjuk kepada bersangatan lemahnya. Misalnya:
a.       Muthrahulhadîtsi (orang yang dilempar haditsnya)
b.      Fulânun dla’îfun (orang yang lemah)
c.       Fulânun mardǔdulhadîtsi (orang yang ditolak haditsnya)
    1. Menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:
a.       Fulânun lâ yuhtajjubihi (orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya)
b.      Fulânun majhǔlun (orang yan gtidak dikenai identitasnya)
c.       Fulânun wâ hin (orang yang banyak menduga-duga)
    1. Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan adil. Misalnya:
a.       Dlu’ifa hadîtsuhu (orang yang didla’ifkan haditsnya)
b.      Fulânun maqâlun fîhi (orang yang diperbincangkan)
c.       Fulânun layyinun (orang yang lunak)
d.      Fulânun laysa bilhujjati (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)

b)      Ta’dil
1.      Segala hal yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya:
a.       Awtsaqunnâsi (orang yang paling tsiqah)
b.      Atsbatunnâsi hifdzan wa’adâ latan (orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya)
c.       Ilayhil muntaha fî tsabti (orang yang paling mantap keteguhan hati dan lidahnya)
2.      Memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadz (dengan mengulangnya) maupun semakna. Misalnya:
a.       Tsabtun tsabtun (orang yang teguh [lagi] teguh)
b.      Tsiqatun tsiqatun (orang yang tsiqah [lagi] tsiqah)
c.       Tsabtun tsiqatun (orang yang teguh [lagi] tsiqah)
d.      Dlâbitun mutqinun (orang yang kuat ingatan [lagi] meyakinkan ilmunya)
3.      Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya:
a.       Tsabtun (orang yang teguh [hati dan lidahnya])
b.      Mutqinun (orang yang meyakinkan [ilmunya])
c.       Tsiqatun (orang yang tsiqah)
d.      Hâfidzun (orang yang hafidz [kuat hafalannya])
4.      Menunjuk keadilan dan kedlabitannya, tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:
a.       Shadǔqun (orang yang sangat jujur)
b.      Ma’mǔnun (orang yang dapat memegang amanat)
c.       Lâ ba’sabihi (orang yang tidak cacat)
5.      Menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak dipahami adanya kedlabitan. Misalnya:
a.       Mahalluhush shiduqu (orang yang berstatus jujur)
b.      Jayyidul hadîtsi (orang yang baik haditsnya)
c.       Hasanul hadîtsi (orang yang bagus haditsnya)
6.      Menunjuk arti mendekati cacat. Misalnya:
a.       Shadǔqun insyâ Allah (orang yang jujur, insya Allah)
b.      Fulânun arjǔ bian lâba’sabihi (orang yang diharapkan tsiqah)
c.       Fulânun shuwaylihun (orang yang sedikit keshalehannya)
BAB III
PENUTUP 
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan materi di atas dapat simpulkan bahwa:
  1. ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadits yang membahas cacat atau adilnya seseorang yang meriwayatkan hadits yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi haditsnya.
  2. Ilmu al-jarh wa al-ta’dil muncul bersamaan dengan munculnya periwayatan di dalam Islam yang sudah ada sejak awal kemunculan Islam.
  3. Jarh wa ta’dil bukanlah termasuk ghibah yang dilarang, bahkan para ulama mengategorikannya sebagai nasehat dalam agama. Oleh karena itu, para ulama membolehkan jarh wa ta’dil untuk menjaga syariat/agama ini, bukan untuk mencela menusia.
  4. Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali serta untuk menyeleksi mana hadits shahih, hasan, ataupun hadits dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.
  5. Ada beberapa syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan (mu’addil) dan orang yang men-jarh-kan (jarih), yaitu: berilmu pengetahuan, takwa, wara’, jujur, menjauhi fanatic golongan dan mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil­-kan dan men-tajrih­-kan.
  6. Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan itu bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidz Ad-Dzahaby dan Al-Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan.
            Para ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Adapun hadits-hadits para rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits periwayat lain


DAFTAR PUSTAKA

            Thahan, Mahmud, Usul al-takhrij wa Dirasat al-Asanid, Riyad: Maktabah al-ma’arif                      li an-nasyr wa at-tauzi’, t.th.

Ulumul Hadis, Drs. M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Pustaka Setia,
Bandung 2009
















[1] Drs. M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis....................hal. 159

Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Ilmu Hadits Riwayah Dan Dirayah

Pengalaman tes di Bank Mandiri

Pidato Bahasa Inggris dan terjemahan tentang Reading is a window to the world