Pembaharuan Di Indonesia (Abdurrahman Wahid)




BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Di tengah-tengah situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya, sangat dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif. K.H.Abdurrahman Wahid yang lebih akrab dipanggil gusdur termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari tradisi Ahl Al-sunnah wal jama’ah menyebabkan ia menjadi tokoh kontroversial. Perannya sebagai presiden Republik Indonesia yang keempat menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk memperjuangkan dan tercapainya gagasannya itu. Sebagai seorang ilmuwan yang jenius dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memperdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara memperbarui pesantren. Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaru pendidikan Islam.

B.      Rumusan masalah
  1. Bagaimana Biografi Gus Dur ?
2.      Bagaimana Pembaharuan Menurut Gus Dur?
3.      Apa Saja Gagasan Dan Pemikiran Gusdur?


BAB II
PEMBAHASAN
PEMIKIRAN K.H. ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)

1.      Biografi Gus Dur
Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir pada 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan nama lengkap Abdurrahman ad-dakhil putra pertama KH. Wahid Hasyim. Ayahnya adalah menteri agama pertama Indonesia yang juga merupakan putra tokoh pendiri Nahdlatl ulama, yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Waktu kecil, Gus Dur sudah mulai menghafal sebagian isi Al-Quran dan banyak puisi dalam bahasa arab. Ia memulai pendidikannya di sekolah rakyat, Jakarta. Setelah itu ia melanjutkan sekolah ke SMEP di Giwangan Yogyakarta, bersamaan dengan belajar bahasa arab di Pesantren Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta di bawah bimbingan KH. Ali Maksum, mantan Rais Am PBNU, dengan bertempat tinggal di rumah KH Junaid, ulama tarjih Muhammadiyah Yogyakarta.
Pada tahun 1964, ia melanjutkan studinya ke Al-Azhar University Kairo Mesir dengan mengambil jurusan Departement of Higher Islamic and Arabic studies. Selama tiga tahun di Mesir, ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk mengunjungi berbagai perpustakaan yang ada di Mesir. Setelah beberapa lama tinggal di Mesir, Gus Dur memutuskan untuk menghentikan studi ditengah jalan sewaktu beranggapan bahwa kairo sudah tidak kondusif lagi dengan keinginannya. Ia pindah ke Baghdad irak dan mengambil fakultas sastra. Pada saat di Baghdad ia menunjukan minat yang serius terhadap kajian Islam di Indonesia, hingga kenudian ia dipercaya untuk meneliti asal-usul keberdaan Islam di Indonesia.
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik. Oleh karena itu wajar saja jika yang menjadi kepedulian utamanya minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl-As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas; dan ketiga, berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi.
Jika dilacak, dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur mebentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Ia selalu berdialog dengan semua watak budaya tersebut. Dan inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi.
2.     Pembaharuan Menurut Gus Dur
Sebelum lebih jauh, penting mengetahui lebih dulu pengertian ‘pembaharuan’ yang selama ini dikenal dalam dunia Islam dan bagaimana pandangan Gus Dur terhadap ‘pembaharuan’ tersebut.
Pembaruan adalah topik yang telah menjadi perhatian para pengamat dan pemerhati Islam sejak awal abad ini. Dalam arti longgarnya, pembaruan dimaknai sebagai suatu upaya penyesuaian pemikiran-pemikiran keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang diakibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Segala penghalang bagi kemajuan Islam disingkirkan, sebaliknya segala yang bisa menunjang bagi kemajuan Islam, diambil dan dipungut. Pembaruan Islam sebagian besar merupakan reaksi terhadap kenyataan sosial umat Islam: sebagai bangsa terjajah, terkebelakang, miskin dan bodoh, serta terjerat dalam pikiran-pikiran penuh takhyul (superstition), bid’ah (heretic), dan khurafat.
Pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam muncul silih berganti dalam rentang abad ke-7 M hingga abad ke-20. Seperti banyaknya istilah yang merujuknya, ada banyak juga pola dan jenisnya. Namun dalam pembacaan dan evaluasi menyeluruh terhadap gerakan pembaruan ini, maka karakternya meliputi sejumlah kecenderungan berikut; seruan untuk kembali ke dasar Islam: Qur’an dan Hadits. Sebagai bagian dari usulan ini, dilakukan  permurnian dan pembersihan pemikiran dan ajaran Islam dari unsur-unsur yang dianggap non-Islam. Seruan penting lainnya adalah pembukaan pintu ijtihad, yang memungkinkan perumusan pemikiran baru dan tidak lagi taqlid, memungut semata pemikiran usang tanpa reserve. Tetapi ketika pintu ijtihad ini dibuka serentak itu juga ia sebenarnya ditutup, karena upaya merumuskan pemikiran baru itu kehilangan energi dan instrumennya ketika mereka menyingkirkan warisan intelektual Islam abad pertengahan yang mereka tuding biang taqlid dan pengaburan ajaran murni Quran.
Pembacaan Quran dan Hadits secara langsung, tanpa didukung instrumen pengetahuan dan metodologi yang diwariskan dari generasi ke generasi itu, menjadi terbatas, harfiah, dan kering. Ijtihad hanya ditegaskan pentingnya, tapi tak pernah sungguh-sungguh bisa dilakukan. Ia hanya menjadi slogan. Watak antiintelektualisme dari gerakan pembaruan keagamaan ini membuat tubuh Islam menjadi kurus kering, dengan sikap yang kaku dan angkuh.
Kalangan modernis –sebagai bagian dari gerakan pembaruan ini—  yang awalnya bertumbuh di permulaan abad lalu, memungut seluruh semangat pembaruan di atas, terutama usulan dibukanya pintu ijtihad itu, dan melengkapinya dengan mengadopsi gagasan-gagasan dan sistem barat dalam berbagai bidang, terutama bidang pendidikan. Bagi mereka, Islam menyentuh dan mengajarkan seluruh aspek kehidupan. Lalu kita kenal gagasan politik Islam, pendidikan Islam, ekonomi Islam, dan seterusnya. Tapi dengan tetap mengabaikan warisan intelektual Islam Abad Pertengahan, gerakan ini menjadi ahistoris dan tak memiliki akar yang kuat, dan dalam banyak hal dianggap ‘(terpengaruh) barat.’
Sesuai dengan gambaran itu, pemikiran dan gerakan pembaruan (di Indonesia) selama ini sering dialamatkan sebagai misi dan visi utama organisasi-organisasi Islam yang dianggap ‘modern’ saja seperti Persis (Persatuan Islam) dan Muhammadiyah. Di lain pihak, seluruh kalangan organisasi yang dianggap ‘tradisional’ sama sekali tidak dan menolak melakukan pembaruan.
Sesungguhnya, menurut pandangan Gus Dur, tidak ada satu kelompok keagamaan pun (di Indonesia) yang tidak melakukan pembaruan (tajdid), hanya lingkup tajdid mereka tidak bersifat menyeluruh dan sebagian saja. Kenyataan bahwa organisasi-organisasi kecil seperti Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah, berdiri 1926) yang dianggap tradisional dan anti-tajdid, sebagai misal, bisa bertahan hingga saat ini menunjukkan bahwa ada daya adaptif, keinginan untuk berubah dan menyesuaikan diri pada perubahan, seminim apapun derajatnya, yang menunjukkan ada usaha-usaha tajdid di dalamnya. Kelompok-kelompok yang dianggap tradisional ini, diakui atau tidak, sadar atau tidak sadar, dan cepat maupun lambat, telah melakukan gerak pembaruan sendiri, yang bisa disebut sebagai ‘pembaruan terbatas.’ Istilah ini dipakai Gus Dur untuk menyebut adanya upaya pelestarian pemikiran keagamaan dengan melakukan pembaruan secara terbatas.
Pembaruan dengan demikian bukanlah pemikiran dan gerakan yang bisa dimonopoli satu dua orang pemikir saja. Juga tidak oleh satu dua organisasi keagamaan saja. Pembaruan juga bukan merupakan suatu proyek yang sekali jadi, tapi proses yang tak pernah mengenal berhenti. Pembaruan ada selama kehidupan dan perubahan itu diakui ada. Pembaruan adalah respon untuk ada dan bertahan.
Menarik bahwa jika selama ini Gus Dur dikenal dengan lontaran-lontarannya yang sering mengundang kontroversi, dalam hal ‘pembaruan,’ pandangannya justru bisa dikatakan lunak. Pembaruan, bagi Gus Dur, adalah suatu gerakan yang mesti dilakukan secara bertahap dan menggunakan pendekatan yang persuasif. Dalam parafrase yang sangat dikenal di dunia Islam, ia mestilah menggunakan ‘bahasa’ yang dimengerti oleh kaum itu sendiri.
Karena itu, meski dikenal sebagai salah seorang ‘pembaharu,’ tapi numeklatur ‘pembaharuan’ ini dengan segala bentukannya, jarang sekali digunakan Gus Dur sebagai nama proyek pemikirannya. Greg Barton menemukan kalimat yang sering digunakan Gus Dur, yaitu ‘dinamisasi’ atau ‘dinamisme’ yang menurut interpretasinya, tidak lain dan tidak bukan, adalah kata ganti dari pembaruan. Dinamisme diartikan bukan saja sebagai kualitas yang enerjetik dan hidup, melainkan juga sebagai kemampuan mengadaptasi dan merespon persoalan-persoalan masyarakat secara kreatif. Dalam bahasa Gus Dur sendiri:
“…Dinamisasi, pada dasarnya mencakup dua buah proses, yaitu penggalakan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada, di samping mencakup pula pergantian nilai-nilai lama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses penggantian nilai itu dinamai modernisasi. Jelaslah dari keterangan ini, bahwa pengertian modernisasi sebenarnya telah terkandung dalam kata dinamisasi.
Sedangkan kata dinamisasi itu sendiri, dalam penggunaannya di sini, akan memiliki konotasi/mafhum “perubahan ke arah penyempurnaan keadaan,” dengan menggunakan sikap hidup dan peralatan yang telah ada sebagai dasar. Dikemukakan prinsip itu di sini, karena ada keyakinan, konsep-konsep yang dirasa asing oleh pesantren, akan menghadapi hambatan luar biasa nantinya. Kita percaya, pendekatan untuk memperoleh penerimaan dari pesantren sendiri, dalam jangka panjang akan memberikan hal yang lebih baik…”
Tampaknya Gus Dur sadar dengan reaksi kalangan konservatif di lingkungan internal umat Islam sendiri yang kadang tidak produktif bagi program ‘pembaruan’ itu sendiri. Ia, karena itu, menggunakan bahasa yang lebih lunak dan halus, namun dengan bobot pengertian yang sama dan sebangun dengan ‘pembaharuan’ itu sendiri.
Di sini jelas sekali bahwa Gus Dur sangat memperhitungkan ‘pendekatan’ di dalam melakukan pembaharuan dan penyegaran pemikiran Islam. Ia yakin Islam dapat menerima kebutuhan akan perubahan besar, termasuk dalam norma-norma hukum agamanya, suatu aspek  yang selama ini ‘riskan’ disentuh perubahan, sejauh penerimaan atas kebutuhan akan perubahan itu senantiasa dikendalikan oleh batasan-batasan yang telah ditentukan bagi pengambilan keputusan hukum. Yang penting juga, perubahan norma-norma hukum agama itu dilakukan tanpa menggoyahkan batasan-batasan yang telah digariskan. Dalam istilahnya, bagaimana ‘memperoleh telur emas dengan tidak mengganggu ayamnya.’
Dalam hal pendekatan ini, ada siasat lain yang ditawarkan Gus Dur, yaitu melakukan apa yang disebutnya sebagai “membudayakan terobosan.” Mereka yang ingin melakukan perubahan, harus memulainya di lingkungan sendiri, tentu dengan resiko juga harus ditanggung sendiri. Jika nanti terbukti hasil positif dari upaya rintisan itu, barulah akan ada pengakuan dan peniruan dari umat. Gus Dur memberi contoh hal ini dengan gagasan madrasah nizamiyah dari ayahnya, Wahid Hasjim, semasa masih hidup di Pesantren Tebuireng, yakni berupa pendidikan agama dengan sistem kurikulum campuran. Ternyata tidak sampai satu dekade, madrasah ini ditiru dan menjadi model bagi banyak madrasah di sekitarnya, setelah menyaksikan kualitas tinggi dari para alumninya. Dengan “budaya terobosan” itu, tambah Gus Dur, derajat toleransi umat terhadap inovasi jadi cukup besar.
Bagi Gus Dur, pembaruan, akhirnya, bukan sekadar gagasan yang tinggi mengawang di atas langit, tapi juga sebuah tindakan. Sebuah praksis. Gagasan hanya akan membumi jika disertai dengan penerapannya. Barangkali karena itulah Gus Dur sangat memperhitungkan reaksi apa yang akan diberikan masyarakat dan menawarkan pentingnya sebuah strategi pendekatan. Pada bagian berikut, kita akan memeriksa dua proyek ‘pembaharuan’ Gus Dur, yaitu pribumisasi Islam dan penuntasan hubungan agama dan negara, dua yang sangat penting dan hingga kini masih relevan.
4.     Gagasan Dan Pemikiran Gusdur  
Gagasan dan pemikiran seorang tokoh biasanya terlihat pada sejumlah pidato dan karya tulisnya. Untuk itu pada bagian ini akan dikemukakan sejumlah gagasan dan pemikiran Gusdur yang dapat dijumpai dalam sejumlah karya tulisnya.
    

Diantara karya tulisnya adalah sebagai berikut :
     Pertama, buku Bunga Rampai Pesantren. Di dalam buku ini terdapat 12 artikel yang secara umum bertemakan tentang pesantren. Di dalam buku ini Gus Dur menunjukkan sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri-ciri dasarnya mempunyai potensi yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama pada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibelitasnya, pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting sosial budaya, bahkan politik dan ideologi Negara, sekalipun.

     Selanjutnya Gus Dur menjelaskan bahwa dalam melakukan modernisasi dan dinamisasi pesantren perlu adanya langkah-langkah sebagai berikut. Pertama , perlu adanya perbaikan keadaan dipesantren yang didasarkan pada proses regenerasi kepemimpinan yang sehat dan kuat. Kedua, perlu adanya persyaratan yang melandasi terjadinya proses dinamisasi tersebut. Persyaratan yang dimaksud meliputi rekonstruksi bahan-bahan pelajaran ilmu-ilmu agama dalam skala besar-besaran. Dalam hubungan ini ia mengatakan bahwa kitab-kitab kuno dan kitab-kitab pengajaran modern seperti yang dikarang Mahmud Yunusdan Hasbi Ash-Shiddiqi telah kehabisan daya dorongnya untuk mengembangkan rasa kepemilikan terhadap ajaran agama.

     Sejalan dengan perubahan visi, misi dan tujuan pendidikan pesantren sebagaiman tersebut di atas, Gus Dur juga berbicara tentang kurikulum pendidikan pesantren. Menurutnya kurikulum yang berkembang di dunia pesantren selama ini dapat diringkas menjadi tiga hal. Pertama, kurikulum yang bertujuan untuk mencetak para ulama di kemudian hari. Kedua, struktur dasar kurikulumnya adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatan dan pemberian bimbingan kepada para santri secara pribadi yang dilakukan oleh guru atai kiai. Ketiga,     secara kesel;uruhan kurikulum yang ada di pesantren bersifat fleksibel, yaitu dalam setiap kesempatan para santri memiliki kesempatan untuk menyusun kurikulumnya sendiri, baik secara seluruhnya maupun  sebagian saja.

     Selanjutnya Gus Dur juga menginginkan agar kurikulum pesantren memiliki keterkaitan dengan kebutuhan lapangan kerja, Untuk kalangan dunia kerja, baik dalam jasa maupun dalam bidang perdagangan dan keahliannya, pesantren harus memberikan masukan bagi kalangan pendidikan, tentang keahlian apa yang yang sesungguhnya dibutuhkan oleh lapangan kerja yang di era Globalisasi  seperti sekarang ini demikian cepat dan beragam.
     Gagasan Gus Dur dalam bidang pendidikan Islam dapat dilihat pada karyangya yang berjudul Muslim ditengah pengumulan, dalam buku yang menampung 17 artikel ini, Gus dur mencoba menjelaskan berbagai masalahyang timbul dalam rangka merespon modernisasi sebagaimana tersebut di atas, Selanjutnya dalam buku yang berjudul Kiai nyentrik membela pemerintah, Gusdur mengajak pembaca untuk memikirkan kembali persoalan-persoalan kenegaraan, kebudayaan dan keislaman.

     Selain itu, terdapat pula berbagai buku yang membahas tentang pemikiran dan gagasan Gus Dur, yaitu: buku yang berjudul Kiai menggugat, Gus Dur menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan transformasi; Tabayun Gus Dur Islam, Negara dan demokrasi: Himpunan perenungan percikan Gus Dur, Gus Dur menjawab Tantangan Perubahan; Membangun Demokrasi serta melawan Lelucon.

     Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui, bahwa selain sebagai tokoh politik,negarawan,budayawan,kiai, Gus Dur juga sebagai seorang akademisi yang memberikan perhatian yang cukup besar terhadap maju mundurnya pendidikan Islam, dengan titik tekan pada permasalahan pendidikan pesantren, sebuah lembaga pendidikan tradisional, tempat pertama kali Gus Dur mengenal Islam.

     Penerapan pemikiran Abdurrahman Wahid belum bisa dikatakan berhasil. Pemikirannya masih banyak mengundang pertentanga, baik itu dalam masyarakat muslim sendiri, para tokoh politik dan cendikiawan muslim. Namun yang menjadi permasalahan sekarang ini adalah apakah semua orang dapat berlapang dada melihat apa yang telah terjadi setelah ia menjadi orang nomor satu di Negara ini? Kenyataannya tidaklah demikian. Pertentangan demi pertentangan, hujatan demi hujatan banyak sekali ditujukan kepadanya yang dating dari berbagai kalangan politikus dan pemikir-pemikir intelektual Indonesia.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat ditarik beberapa kesimpilan sebagai berikut .
Pertama, Dilihat dari segi latar belakang pendidikan, Gus Dur adalah seorang tokoh yang memiliki pengalaman pendidikan yang lengkap antara pendidikan agama dan umum.
Kedua, dilihat dari pengabdiannya, Gus Dur bukan hanya mengabdikan dirinya untuk kepentingan komunitas Islam, atau kepentingan Indonesia saja melainkankemanusiaan di seluruh dunia.
Ketiga, dilihat dari segi corak gagasaan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur dapat dikatagorikan sebagai pemikir yang bercorak multi warna.
Keempat, gagasan dan pemikiran Gus Dur dalam bidang pendidikan secara signifikan berkisar pada modernisasi pendidikan pesantren
Gus Dur selalu menampilkan wajah baru dari pemikirannya meski isinya hanyalah penegasan kembali apa yang telah pernah dikemukakan orang lain. Ia mencoba melihat sesuatu dengan kaca mata berbeda; dengan cara seperti itulah ia berupaya menunjukkan kepada orang lain bahwa kebenaran dapat disentuh lewat pendekatan yang tidak sama, dan kebenaran tidak perlu diklaim sebagai milik siapa pun. Dalam analisa terakhir, Gus Dur telah banyak berperan dalam menghiasi dinamika perkembangan pemikiran Keislaman di negeri ini sebagai upaya meresponi tantangan modernitas yang sedang dihadapi masyarakat Muslim Indonesia. 
.


Comments

Popular posts from this blog

Perbedaan Ilmu Hadits Riwayah Dan Dirayah

Pengalaman tes di Bank Mandiri

Pidato Bahasa Inggris dan terjemahan tentang Reading is a window to the world