Syarat-syarat Seorang Perawi dan Proses Transformasinya
A. Pengertian perawi
Raawi menurut bahasa berasal dari
kata riwaayah yang merupakan bentuk
mashdar dari kata kerja rawaa-yarwii, yang berarti ”memindahkan atau
meriwayatkan”. Bentuk plural dari kata raawii adalah ruwaat. Jadi raawii adalah
orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah
didengarnya dan diterimanya dari seseorang (gurunya). Bentuk jamaknya ruwah
dan perbuatannya menyampaikan hadist tersebut dinamakan me-rawi
(meriwayat)-kan hadist.
Syarat-syarat perawi
Adapun beberapa persyaratan
tertentu bagi seorang perawi dalam upaya meriwayatkan hadits,yaitu diantaranya:
- Baligh, artinya cukup umur ketika ia meriwayatkan hadits,meskipun ia masih kecil waktu menerima hadits itu.
- Muslim, yaitu beragama islam waktu menyampaikan hadits.
- Adaalah, yaitu seorang muslim baligh daan berakal yang tidak mengerjakan dosa besar dan dosa kecil .
- Dabith, artinya tepat mengungkap apa yang didengarnya dan dihafalnya dengan baik,sehingga ketika dibutuhkan,ia dapat mengeluarkan atau menyebutkan kembali
- Tidak syadz, artinya hadits yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadits yang lebih kuat atau dengan al Qur’an.
B. Proses Transformasinya
Tahamul wa al-Ada’
(Menerima dan menyampaikan al-hadits) Yang dimaksud dengan tahaammul adalah
menerima hadits dari seorang yang meriwayatkan hadits. Sedangkan adaa’ adalah
kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.
Cara menerima hadits ada delapan cara :
•
Al-sima’ (mendengarkan).
•
Al-Qira’ah ‘ala-Shaykh (Membaca di depan
guru).
•
Al-Ijazah, yaitu pemberian izin untuk
meriwayatkan, baik perkataan guru maupun kitab-kitabnya.
•
Al-Munawalah, yakni seorang guru
memberikan kitabnya kepada muridnya yang disertai ijazah atau kitab yang sudah
dikoreksinya.
•
Al-Kitabah, yaitu seorang guru menulis
sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadits kepada orang lain di
tempat lain atau yang ada di hadapannya.
•
Al-I’lam, yaitu pemberitahuan guru kepada
muridnya bahwa hadits atau kitab tersebut ia dengarkan sendiri.
•
Al-Wasiyah, yaitu wasiat atau pesan
seorang guru ketika akan meninggal dunia atau bepergian kepada muridnya dengan
sebuah kitab supaya diriwayatkan.
•
l-Wijadah, yaitu seorang murid menemukan
beberapa hadits dengan tulisan guru yang meriwayatkan hadits tersebut, tetapi
si murid itu tidak mendengarkan atau mendapatkan ijin untuk meriwayatkan hadits
tersebut.
Adapun
shighat-shighat lambang suatu hadits adalah sebagai berikut:
- حدَثنا\حدَثني\سمعت adalah suatu shighat atau lambang periwayatan suatu hadits yang dipergunakan dalam metode As-Sama’((السَماع
- اخبرني\اخبرنا adalah suatu shighat atau lambang periwayatan yang dipergunakan dalam metode qira’ah atau al-’ardh((القراءة اوالعرض
- انباني\انبانا adalah suatu shighat atau lambang periwayatan yang dipergunakan dalam metode ijazah ((الاجازة
- قال لي\ذكرلي adalah suatu shighat atau lambang periwayatan yang dipergunakan dalam metode Sama’ al-mudzakarah ((سماع المذاكرة
Contoh
shighat-shighat
- Al-Sima : Haddathana (seorang telah menceritakan kepada kami), Akhbarona (seseorang telah mengabarkan kepada kami), Ambaana (seorang telah memberitakan kepada kami), sami’tu (saya telah mendengar).
- Al-Ijazah : Aku mengijazahkan kepadamu untuk meiwayatkan si fulan dari saya.
- Al-Munaawalah : Ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah.
- Al-Mukatabah : Saya izinkan apa-apa yang telah saya tulis kepadamu.
- Al-Wijadah : Saya dapatkan khot (tulisan) seseorang, bercerita kepadaku si fulan.
- Al-I’lam : Seseorang telah memberitahukan padaku; ujarnya, telah berkata kepadaku.
- Al-wasiyah : (seseorang telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang dia berkarya dalam kitab itu: “Telah bercerita kepadaku fulan..........”)
- Al-Kitabah : Kuizinkan apa-apa yang telah kutulis padamu.
Penutup
Kesimpulan
Kualitas
hadits yang bisa diterima dan dijadikan sumber hukum islam menurut para jumhur
ulama’ hadits dan fiqh harus memenuhi dua syarat utama yaitu: al-‘adalah
(keadilan) dan al-dabt (kedhabitan). Yang termasuk bagian al-‘adalah yaitu
islam, baligh dan adil (‘adalah). Sedangkan yang termasuk dalam bagian al-dabt
yaitu: perowi tidak bertentangan dengan (periwayatan) perowi lain yang thiqah
atau yang lebih thiqah, tidak jelek hafalannya, tidak terlalu salahnya, tidak
pelupa dan tidak terlalu berburuk sangka. Dan Jalan mengetahui kedhabitan
perowi adalah dengan jalan i’tibar (menyelidiki) terhadap berita-beritanya
dengan berita-berita yang tsiqat (bisa dipercaya) dan memberikan kebenaran.
Sedangkan
cara-cara menerima hadits ada 8 macam, yaitu: al-sima’, al-qira’ah ‘ala
al-shaykh, al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-i’lam, al-wasiyah dan
al-wijadah. Dan dri berbagai cara periwayatan dan lafadh-lafadh yang digunakan,
cara yang paling tinggi tingkatannya adalah al-sima’. Hal ini karena cara ini
adalah cara awal yang digunakan oleh para sahabat dalam memperoleh hadits dari
Rasulullah saw dan kemungkinan untuk bertatap muka secara langsung juga sangat
besar. Selain itu itu juga mendengar adalah cara pembelajaran yang pertama.
Sedangkan
untuk meriwayatkan hadits para ulama sepakat bahwa setelah masa kodifikasi
hadits, periwayatan hadits harus dilakukan secara lafzhi, tapi ketika sebelum
kodifikasi hadits para ulama masih memperbolehkan periwayatan hadits secara
makna namun dengan beberapa ketentuan yang telah disepakati oleh para ulama
hadits.
Comments
Post a Comment
Jangan lupa komentar yaaa !!!